Pengadilan Negeri Kota Surabaya, Jawa Timur, mengesahkan pernikahan beda agama, melalui amar putusan yang diunggah ke situs resminya pada 20 Juni 2022. Putusan hakim sebetulnya sudah muncul pada 26 April lalu, namun baru sekarang diunggah ke situs. Pernikahan beda agama bukan hal yang melanggar hukum di Indonesia, tapi memperjuangkan pengesahannya melalui putusan pengadilan dalam negeri merupakan hal yang masih jarang diupayakan masyarakat.
Merujuk laporan Detik.com, pasangan berinisial RA dan EDS diizinkan menikah oleh hakim tunggal Imam Supriyadi. RA, yang beragama Islam, telah menikahi kekasihnya EDS yang beragama Kristen pada Maret tahun ini, melalui tata peribadatan masing-masing agama pada Maret 2022. Namun pernikahan mereka sempat tidak bisa didaftarkan resmi di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya. Tidak puas pada sikap Disdukcapil, keduanya menggugat ke pengadilan.
Hakim Supriyadi menilai penolakan Dispendukcapil tidak berdasar. “Perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan dan merujuk pada ketentuan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,” demikian kutipan putusan hakim seperti tertuang dalam dokumen PN Surabaya.
Saat dikofirmasi terpisah oleh CNN Indonesia, humas PN Surabaya Suparno menyatakan menghindari status pernikahan pasangan tersebut tidak sah di mata hukum jadi pertimbangan lain hakim. “Untuk menghindari kumpul kebo dan demi status anak biar jelas bapaknya,” ujarnya.
Humas PN Surabaya menambakan, bahwa pasangan beda agama di negara ini sebetulnya bisa menempuh cara seperti RA dan EDS, yakni ke pengadilan, bila ingin menikah secara sah tapi ditolak dukcapil. Meski demikian, hakim lazimnya tetap mempertimbangkan faktor-faktor lain, terutama dukungan keluarga kedua mempelai.
“Ada kesepakatan untuk dicatat di Disdukcapil, termasuk restu orang tua atau keluarga. Secara pokok seperti itu.”
Selain UU Perkawinan, dasar hukum soal perkawinan beda agama juga mengacu pada UU Hak Asasi Manusia No 39 tahun 1999. Di sana disebutkan paling tidak ada 60 hak sipil warga negara yang tidak boleh diintervensi atau dikurangi oleh siapapun. Di antaranya adalah soal memilih pasangan, menikah, berkeluarga, dan memiliki keturunan.
Secara konstitusional artinya tidak ada halangan bagi pasangan beda agama menikah di Indonesia. Tapi praktik di lapangan lah yang yang membuatnya jadi sesuatu yang sulit. Petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil seringkali ogah mencatat pernikahan pasangan beda agama, merujuk keterangan aktivis LSM Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholish. Kebanyakan petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil hanya paham bahwa pernikahan beda agama dilarang. Hal tersebut bisa jadi datang dari ketidaktahuan atau bias ideologi keagamaan yang dianut oleh petugas.
“Ini persoalan ketidaktahuan aparat hukum. Mereka sebagai penyelenggara negara tidak memahami konstitusinya sendiri. Sehingga mereka tidak mengakomodasi pernikahan beda agama,” ujar Ahmad ketika dihubungi VICE Indonesia.
Karena hambatan seringkali datang dari catatan sipil, sampai terjadi upaya uji materi di Mahkamah Konstitusi. Pada Februari 2022, Ramos Petege, warga Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, mengajukan judicial review UU 1/1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 1.
Ramos mengatakan ketidakjelasan hukum dalam pasal tersebut membuatnya gagal menikahi sang kekasih yang beragama Islam. Sebelum Ramos, pasal yang sama di UU Perkawinan juga pernah diajukan judicial review-nya oleh 5 mahasiswa dan alumni FH UI pada 2014. Gugatan ini bermaksud meminta hakim memberi tafsir atas legalitas pernikahan beda agama di Indonesia. Namun, hakim MK menolaknya.