Untuk pertama kalinya, Putra Mahkota Akishino berbicara panjang lebar soal pernikahan putri sulungnya dengan rakyat biasa, mengungkapkan perjuangan monarki tertua di dunia dalam mengenyahkan berita miring yang tiada henti menerpa mantan Putri Mako dan sang suami.
Dia mendukung penuh keputusan putrinya menikahi Kei Komuro, lelaki asal Jepang yang merupakan lulusan sekolah hukum di Amerika Serikat. Meskipun itu artinya Mako harus melepas gelar bangsawan setelah resmi menjadi istri Kei. Hal ini menegaskan hak anggota keluarga Kekaisaran Jepang untuk memilih jalan hidupnya sendiri di luar tuntutan tradisi kerajaan.
Keluarga Kekaisaran Jepang menggelar konferensi pers pada Kamis pekan lalu di kediaman Akasaka Estate, Tokyo. Video rekamannya dirilis Selasa, (30/11), untuk memperingati ulang tahun sang Putra Mahkota yang ke-56.
Ayah Mako tak tanggung-tanggung mengkritik media yang secara intens menyoroti kehidupan putrinya sejak dia bertunangan dengan Kei pada 2017.
“Kalaupun dia ingin memprioritaskan pernikahan, dia telah mengutarakan niatnya sejak empat tahun lalu,” tuturnya, menyinggung soal pertunangan Mako. “Jika mengutamakan pendapat publik, dia mungkin takkan bisa menikah sampai 10-20 tahun ke depan,” lanjut Putra Mahkota, menyoroti betapa mustahilnya bagi seorang putri raja untuk menyenangkan publik terkait siapa yang akan dia nikahi.
Akishino telah merestui hubungan mereka berdua, tapi tak ada yang tahu seperti apa perasaannya melepas sang putri merantau ke Amerika Serikat tak lama setelah menikah pada Oktober. Dukungannya semakin membuktikan tuduhan bahwa Mako menentang keinginan keluarga tidak benar.
Mako dan Kei Komuro rutin menjadi sorotan media usai mengumumkan pertunangan mereka empat tahun lalu. Kei digosipkan menjalin hubungan dengan putri raja karena ada maunya. Pasalnya, ibu Kei berutang pada mantan tunangan, yang telah dilunasi oleh Kei pada awal November. Kabar tak sedap itu memicu penolakan besar-besaran dari publik, yang memaksa keduanya menunda pernikahan selama tiga tahun. Mantan Putri bahkan dilaporkan menderita gangguan stres pascatrauma (PTSD), yang menurut ayahnya tabloid gosip Jepang dan perundungan online patut disalahkan dalam hal ini.
“Entah apa alasan seseorang menulis hal buruk di internet, tapi banyak yang tersakiti dengan fitnah tersebut—bahkan sampai ada yang ingin bunuh diri karenanya,” ujar Akishino.
“Bagi saya, fitnah sangat melukai perasaan orang—baik itu ditulis di majalah maupun secara online—dan tidak dapat diterima,” lanjutnya.
Walaupun begitu, Akishino memahami kekhawatiran media atas pernikahan putrinya. Dia cuma berharap konferensi pers yang digelar pasangan pada hari pernikahan mereka 26 Oktober lalu bersifat lebih terbuka. Saat itu, Mako hanya menjawab lima pertanyaan pers yang telah disetujui sebelumnya.
“Sebenarnya Mako ingin konferensi pers berjalan dua arah, tapi dia kesulitan melakukannya karena PTSD,” tutur sang ayah.
“Tapi untuk suaminya, saya telah memberi tahu pentingnya menjelaskan latar belakang seputar pernikahan mereka. Dia memang sudah mengungkapkannya dalam surat yang dirilis pada musim semi, tapi menurut saya akan lebih baik jika dia membicarakannya langsung dan menjawab pertanyaan,” imbuhnya.
Akishino juga menghargai keputusan mereka untuk pindah ke New York. “Karena mereka telah memutuskan untuk tinggal di AS, saya pikir itu yang terbaik bagi mereka.”
Dia bersyukur dengan adanya teknologi canggih yang bisa tetap menghubungkan mereka.
“Dia dulu berada di sisi saya. Tapi di zaman sekarang, kita bisa merasa dekat tak peduli di mana pun kita berada,” simpulnya.
Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.