YN (29) dan EP (29) resmi jadi tahanan polisi setelah aksinya memalsukan sertifikat vaksinasi ketahuan aparat. Satreskrim Polres Klaten, Jawa Tengah, mengamankan dua warga Klaten itu pada 30 Juli lalu, diawali laporan warga yang tahu ada penawaran sertifikat vaksinasi palsu. Kedua tersangka menjajakan dagangan ilegalnya di media sosial seharga Rp70 ribu. Mereka siap melayani pembuatan sertifikat bagi klien yang belum divaksin dengan bermodalkan KTP saja.
“Banyak warga yang tergiur karena butuh kartu sertifikat vaksinasi untuk bepergian di tengah pandemi Covid-19. Para tersangka memanfaatkan kesempatan itu,” kata Kasatreskrim Polres Klaten Andriansyah Rithas Hasibuan, Kamis (12/8) kemarin, dilansir Solopos. Polisi mengaku masih mendalami kasus, namun memperkirakan sudah ada lebih dari 50 klien yang menggunakan jasa tersangka.
Kepada polisi, YN dan EP mengaku berbagi tugas dalam aksinya. YN aktif mencari klien di media sosial, sedangkan EP mengurusi desain dan cetak-mencetak sertifikat palsu. Pencetakan sertifikat sudah mereka lakukan dua kali, pada 23 dan 28 Juli. Selain 14 kartu vaksin, polisi menyita barang bukti seperangkat komputer dan alat pemotong kartu. Keduanya kini dijerat KUHP Pasal 263 tentang tindak pidana pemalsuan surat dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara.
Kasus di Klaten bukan yang pertama. Akhir Juli lalu, Satreskrim Polres Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Pusat, juga menangkap sepasang suami-istri pelaku pemalsuan sertifikat vaksin, AEP dan TS. “Pelaku AEP membuat surat sertifikat vaksin Covid-19 palsu menggunakan jenis kartu dengan memasukkan data fiktif serta memanipulasi ID number dan barcode pada sertifikat tersebut,” ungkap Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok Putu Kholis Aryana dilansir Kompas.
Aksi keduanya terungkap saat ada laporan soal warga yang memiliki sertifikat meski belum divaksinasi. Aparat lantas menyamar jadi pelanggan dan memesan layanan pembuatan sertifikat palsu seharga Rp300 ribu itu. Dari hasil kiriman, polisi menyelidiki alamat pengiriman di Bogor dan berhasil mencokok pelaku pada 21 Juli. Saat ditangkap, pasangan tersebut terungkap kerap menawarkan jasa pembuatan dokumen palsu lain, seperti KTP dan NPWP. Dari perdagangan jasa pemalsuan tersebut, pelaku meraup omzet sekitar Rp255 juta. Karena ulahnya, pelaku dijerat UU ITE dan KUHP Pasal 236 dengan ancaman penjara 12 tahun.
Pertanyaan penting yang harus dijawab, apakah laris manisnya jasa pembuatan sertifikat vaksinasi palsu ini karena penyebaran vaksin yang belum merata, tapi pemerintah keburu menjadikan sertifikat vaksin sebagai syarat bepergian? VICE menghubungi epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman demi pencerahan.
Dicky menyebut kemunculan pemalsuan surat vaksin utamanya terjadi bukan karena penyebaran vaksin yang tak merata ke masyarakat, tapi karena adanya kelompok yang tak mau divaksinasi. “Fenomena pemalsuan surat vaksin ini bahkan ada di negara seperti Amerika [Serikat]. Ditawarkan di situs online. Artinya, [pernyataan bahwa pemalsuan terjadi karena vaksin terbatas] terbantahkan dengan kasus di Amerika itu. Yang mengakses [sertifikat vaksin palsu] ini adalah orang-orang anti-vaksin, yang enggak mau divaksin,” kata Dicky kepada VICE.
Dicky menjelaskan, meski penyebaran vaksin tidak merata, selama pengendalian pandemi oleh negara bagus, enggak akan menimbulkan celah untuk pemalsuan ini. “Yang jadi masalah, [pemalsuan] ini terjadi [karena] dimanfaatkan oleh orang yang enggak mau divaksinasi. Dia beli aja supaya bisa ke mana-mana,” tambah Dicky.
“Saya imbau pemerintah memahami bahwa pembatasan-pembatasan itu sifatnya strategi penguat, strategi tambahan. Yang penting itu di 3T-nya [tracing, treatment, testing]. Kalau itu bener, kuat, yang [strategi] tambahan ini mau apa pun juga [seperti] jam malam, ganjil genap, sertifikat vaksin, itu jadi enggak perlu. Jadi ribet, terlalu banyak turunannya, tapi kita enggak menyelesaikan akar masalah.”