Organisasi yang menyorot pelaksanaan hukum atas kasus narkoba di berbagai negara, Harm Reduction International (HRI), mengkritik sistem peradilan Indonesia dan Singapura. Pengadilan di dua negara ini menjatuhkan vonis mati pada pengedar lewat sidang yang sepenuhnya berlangsung lewat streaming internet, khususnya lewat aplikasi Zoom.
Laporan tahunan perang narkoba global yang disusun oleh HRI, menyorot bahwa persidangan via streaming tidak memberi rasa keadilan bagi mereka yang terjerat kasus pidana akibat narkoba. Di Indonesia, selama kurun Maret 2020 hingga Maret 2021, ada 19 terpidana kasus narkoba dijatuhi hukuman mati. Semua vonis itu dibacakan hakim lewat Zoom, atau diberitahukan via WhatsApp kepada pengacara terpidana. Sementara di kurun yang sama, dua orang penyelundup narkoba divonis mati Pengadilan Singapura, juga melalui Zoom.
Meski alasannya untuk mematuhi protokol kesehatan, namun praktik persidangan online yang dilakukan Indonesia dan Singapura, dalam laporan HRI disebut gagal menjamin “terselenggaranya pengadilan yang adil.”
Pengacara ataupun terpidana sering kesulitan membacakan eksepsi, karena sambungan internet yang buruk di penjara. Selain itu, beberapa terpidana bahkan tidak sempat memiliki akses ke pengacara selama persidangan, serta prosesnya tidak bisa disaksikan masyarakat umum, karena pengadilan tidak mengumumkan link Zoom persidangan mereka.
Ketidakterbukaan sidang itu, menurut beberapa pengacara yang jadi informan HRI, menyulitkan pembuktian apakah pengadilan sudah menyediakan penerjemah bagi terpidana yang statusnya warga negara asing. Ada informasi beberapa dari 19 orang pengedar yang dihukum mati di Indonesia tidak didampingi penerjemah selama menjalani sidang.
“Kami juga tak bisa merekam proses sidang, atau mengambil foto jalannya persidangan karena akses Zoom tersebut sepenuhnya berada di tangan hakim,” kata salah satu pengacara yang mendampingi terpidana mati kasus narkoba tahun lalu pada HRI.
Salah satu contoh vonis mati lewat Zoom dialami tiga warga negara Malaysia Kumar Atchababoo, Rajandran Ramasamy, and Sanggat Ramasamy. Mereka menyelundupkan 28,6 kilogram methamphetamine (alias sabu-sabu) ke Batam, Indonesia, pada Januari 2020. Dalam sidang November tahun lalu, hakim menjatuhkan vonis mati lewat video call. Pengacara tiga orang Malaysia itu mengaku bahkan tidak bisa mendiskusikan upaya banding dengan para terpidana, lantaran perkara teknis dan akses Zoom yang dikuasai admin dari pengadilan.
“Pengadilan lewat platform virtual idealnya tetap harus menjamin adanya akses pendampingan yang layak terhadap pengacara. Apalagi dalam kasus-kasus yang berujung pada vonis hukuman mati,” demikian kesimpulan HRI.
Hingga Oktober 2020, ada 355 orang yang menanti momen eksekusi mati di Indonesia. Sebanyak 214 di antaranya karena kasus penyelundupan narkoba. Indonesia, Singapura, dan Vietnam, dikenal sebagai tiga negara Asia Tenggara yang punya vonis keras bagi kasus-kasus peredaran narkoba. Tak heran bila angka vonis ataupun eksekusi mati dari tiga negara itu amat tinggi selama 10 tahun terakhir.
Namun, jika melihat statistik hukuman mati secara riil, maka tiga negara yang paling rajin melakukannya adalah Tiongkok, Iran, dan Arab Saudi. Sepanjang momen pandemi, ada 30 eksekusi mati yang dilakukan di seluruh dunia, jauh menurun dibanding 116 eksekusi pada 2019. Meski begitu, angka itu belum tentu akurat, karena Tiongkok, Iran, maupun Saudi sangat tertutup soal eksekusi mati. Vietnam juga tidak pernah mau membagi data pelaksanaan hukuman mati, karena menganggapnya “data rahasia negara”.
Di seluruh dunia, tinggal 35 negara masih menjatuhkan hukuman mati bagi kriminalitas terkait narkoba. Laporan HRI lantas menyebut bahwa 3.000 orang menanti eksekusi mati karena kejahatan narkoba.
Menurut Direktur Eksekutif HRI Naomi Burke-Shyne, tingginya angka terpidana hukuman mati di seluruh dunia itu tidak mencerminkan menurunnya konsumsi narkoba. Justru, di negara-negara yang menerapkan hukuman mati bagi pengedar, kasus penyelundupan tak menurun. Artinya, taktik keras macam itu justru kontraproduktif dan hanya melanggengkan pelanggaran HAM bagi kriminal yang idealnya direhab.
“Masih banyak negara berpegang pada harapan palsu, bahwa hukuman mati akan menjadi alat tekan agar sindikat narkoba berhenti mengedarkan produknya,” ujarnya. “Masalah narkoba itu multidimensional dan sayangnya, pendekatan yang diambil beberapa negara justru mendukung terjadinya pelanggaran HAM.”