Berita  

Prabu Jayanegara Raja Ke Dua Majapahit yang Gagal Menjalankan Falsafah Astabrata

prabu-jayanegara-raja-ke-dua-majapahit-yang-gagal-menjalankan-falsafah-astabrata

 Prabu Jayanegara Raja Ke Dua Majapahit yang Gagal Menjalankan Falsafah Astabrata
#Part6
—————————————————————-
Oleh : Sofyan Mohammad**

—————————————————————-


LIPUTAN$.COM, Tuban – Raja kedua Majapahit adalah Jayanagara yang bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara (1309-1328). Jayanagara dikenang sebagai seorang Raja yang cukup kontroversi sebab dimasa pemerintahanya tercatat sebagai masa yang penuh kemelut dalam catatan sejarah awal Kerajaan Majapahit.

Raja pertama Majapahit adalah Raden Wijaya atau Sri Kertarajasa yang naik tahta pada tahun 1294. Dalam berbagai catatan sejarah Raden Wijaya memperistri sekaligus empat putri Sri Kertanegara yaitu Tri Bhuwana, Sri Mahadewi, Sri Paduka Jayendradewi dan Sri Paduka Dyah Gayatri bergelar Rajapadmi.

Selain empat istri dari Singhosari tersebut Raden Wijaya juga memperistri seorang perempuan persembahan dari tanah Melayu bernama Dara Petak. Putri ini sebelumnya dibawa oleh rombongan Kebo Anabrang yang pulang dari Melayu yang akan dipersembahkan kepada Prabu Kertanegara. Namun setelah sampai di tanah Jawa didapati Singhosari sudah runtuh dan Prabu Kertanegara sudah gugur.

Kerajaan Singhosari sudah berakhir demikian Kerajaan Kediri juga sudah runtuh akibat serbuan gabungan tentara tar tar dan prajurit Raden Wijaya. Kebo Anabrang setelah berhasil menjalankan misi ekspedisi pamalayu selanjutnya pulang kepulau Jawa.

Kebo Anabrang membawa dua putri melayu kakak beradik yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Dalam catatan kronik Cina dari dinasti Yuan, pasukan tar tar yang dipimpin oleh Ike Mese meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293. Demikian dalam naskah Nagarakretagama menyebut angka tahun 1293.

Kedua sumber sejarah tersebut diatas apabila dipadukan, maka kedatangan Kebo Anabrang dengan membawa Dara Petak dan Dara Jingga diperkirakan terjadi pada tanggal 4 Mei 1293, sebab diketahui kelahiran Jayanagara terjadi dalam tahun 1294.

Ketika Kebo Anabrang sampai di tanah Jawa dirinya mendapati Kerajaan Majapahit sudah berdiri sebagai penerus Singhosari. Mendapati Raden Wijaya telah menjadi Raja Majapahit selanjutnya dua putri tersebut dipersembahkan pada Prabu Sri Kertarajasa namun yang dipilih hanya satu yaitu Dara Petak yang setelahnya bergelar Indreswari.

Sedangkan Dara Jingga selanjutnya diperistri oleh Kebo Anabrang sendiri yang kelak melahirkan anak Maheso Taruno.

Pernikahan Sri Kertarajasa dengan Indreswari melahirkan seorang putra yaitu Jayanegara. Sedangkan pernikahannya dengan ke empat putri Sri Kertanegara hanya Dyah Gayatri yang melahirkan dua orang putri yaitu Tribhuwanatunggadewi dan Dyah Wiyat Sri Rajadewi. Sehingga keduanya ini berstatus sebagai adik beda ibu dengan Jayanegara.

Dara Petak didalam lingkungan Kraton Majapahit disebut dengan Istri Tinuheng atau Istri yan dituakan. Sebagai istri Raja hanya Dara Petak yang melahirkan anak laki laki satu tahun setelah dinikahi Sri Rajasa. Pada saat lahir Jayanegara kecil diberi nama Garbhopati sebuah nama yang bukan merupakan nama gelar atau abhiseka.

Jayanegara menduduki tahta Raja Majapahit

Dikisahkan setalah melawan penyakit yang dideritanya pada tahun 1309 Prabu Sri Kertarajasa meninggal dunia. Menurut Nagarakretagama, jasadnya dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping, Blitar, sebagai Harihara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa.

Sebelum Prabu Kertarajasa wafat sang istri dari melayu tersebut yaitu Dara Petak terus membujuk Raden Wijaya agar menjadikan Jayanegara sebagai putra mahkota. Rayuan maut Dara Petak berhasil. Raden Wijaya Jayanegara sebagai putra mahkota (Yuwaraja).

Penunjukan Jayanegara sebagai Yuwaraja kala itu cukup menuai kontroversi sebab jika merujuk pada kebiasaan raja-raja di Jawa, yang berhak menggantikan takhta kerajaan adalah anak yang lahir dari permaisuri, entah itu anak laki-laki maupun anak perempuan.

Dikisahkan Dara Petak sedemikian kuat mempengaruhi Sri Kertarajasa hingga mampu mengabaikan 4 istri lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadi salah faktor menculnya banyak pergolakan di Majapahit sepeninggal Raden Wijaya.

Dalam kitab Nagarakretagama disebutkan Jayanegara diangkat menjadi Putra Mahkota pada usia yang masih belia sekitar 14 tahun. Jayanegara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda yang ditempatkan di Kadiri.

Pada waktu itu pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai Rakryan ri patih Daha.

Selama menjadi raja muda Jayanegara dibimbing dan didik langsung oleh Lembu Sora. Jayanegara diajari berbagai ilmu Pemerintahan hingga ilmu kanuragan. Sebagai putra mahkota Jayanegara diharapkan menjadi pemimpin Majapahit yang dapat memiliki kebijaksanaan dan kewibawaan sebagai seorang raja.

Jayanegara sebagai calon Raja Majapahit diharapkan dapat memiliki sifat Sabdo Pandito Ratu tan keno wola wali” artinya “Perkataan Raja/Penguasa menjadi dasar hukum yang wajib dipatuhi dan dilarang mencla-mencle kalau ingin dihormati.

Untuk dapat menjadi Raja yang dapat memberikan kesejahteraan rakyatnya Lembu Sora telah membimbing Jayanegara untuk terjun langsung dalam kehidupan rakyatnya.

Dikisahkan sewaktu masih sebagai Putra Mahkota Jayanegara atas bimbingan Lembu Sora telah diperkenalkan untuk mengetahui kehidupan masyarakat kecil.

Dengan cara menyamar sebagai rakyat biasa. Selama masa penyamaran tersebut Jayanegara menggunakan nama samaran Panjilaras yang ditemani oleh seekor ayam jantan kesayangan diberi nama Cindelaras.

Jejak penyamaran Jayanegara hingga kini dapat ditemui berupa situs peninggalan Jayanegara berupa yang makam Cindelaras yang terletak di Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto.

Masa Pemerintahan Jayanegara sebagai Raja Majapahit

Pada tahun 1309 Sri Kertarajasa meninggal dunia. Sehingga Jayanegara menggantikan posisi sebagai Raja Majapahit yang kedua. Pada saat itu usia Jaya Negara sekitar 15 tahun sebab lahir pada tahun 1294 dan naik tahta pada tahun 1309.

Sebagai Raja Majapahit menggunakan gelar Sri Sundarapandya Dewadhiswara Wikramottungadewa. Sebagai raja muda yang belum memiliki istri dikisahkan Jayanegara memiliki kebiasaan yang kurang baik yaitu sering menggangu istri orang lain.

Pergolakan yang silih berganti muncul dilatarbelakangi perilaku buruk Raja Muda ini. Hingga tercatat dalam berbagai sumber sejarah dan menyisakan aib yang tak bisa dihapuskan. Salah satu perilaku buruk lain yang tercatat dalam sejarah adalah Jayanegara bermaksud untuk mempersunying kedua adik tirinya yaitu Tribhuwana Tunggal Dewi dan Dyah Wiyat Rajadewi. Kedua adiknya tersebut tidak diperbolehkan untuk menikah dengan orang lain.

Dikisahkan agar kedua adiknya tidak tertarik kepada pemuda lain. Jayanegara sengaja melarang para Kstaria Muda Majapahit untuk masuk kedalam kawasan Istana kaputren yang menjadi tempat tinggal kedua adiknya. Jika ada pada pemuda yang melanggar maka akan dibunuh. Demikian kedua adiknyapun juga sangat ketat diawasi kehidupan sehari harinya.

Prabu Jayanegara Raja Ke Dua Majapahit yang Gagal Menjalankan Falsafah Astabrata

Sebagai Raja muda didalam memerintah Majapahit Jayanegara dibantu oleh para Punggawa dan Menteri Kerajaan. Dalam Piagam Sidateka yang bertarikh 1323, Jayanagara menetapkan susunan mahamantri katrini dalam membantu pemerintahannya, yaitu Rakryan Mahamantri Hino dijabat oleh Dyah Sri Rangganata, Rakryan Mahamantri Sirikan dijabat oleh Dyah Kameswara dan
Rakryan Mahamantri Halu dijabat oleh Dyah Wiswanata.

Meski dahulu pada saat masih sebagai Rajamuda sudah didik oleh Lembu Sora secara baik. Nampaknya memang Jayanegara memiliki sikap dan tabiat yang tidak baik sebagai seorang pemimpin. Selain menyangkut skandal asmaranya dengan bebarapa perempuan bahkan berniat menikahi sendiri kedua adiknya.

Jayanegara juga disebut sebut sebagai seorang yang lemah sebagai seorang pemimpin. Jayanegara sebagai raja yang hanya sibuk dengan segala kepentinganya sendiri.

Tercatat dalam naskah Pararaton menyebutkan nama lain Jayanegara adalah Kologemet. Nama tersebut adalah nama yang bernada ejekan, karena nama tersebut bermakna “jahat” dan “lemah”. Hal itu dikarenakan kepribadian Jayanagara yang dipenuhi prilaku amoral dan sosok yang lemah sebagai seorang Raja sehingga banyak pemberontakan yang timbul dalam masa pemerintahannya.

Nama Kolo Gemet adalah nama untuk pasemon atau sindiran bagi sosok Jayanegara. Kolo Gemet dimaknai menyangkut tingkah polah yaitu kolo artinya jaring atau perangkap. Gemet, artinya habis (tak tersisa). Sehingga nama ini mengandung makna suka menebar jaring menjebak para wanita untuk dihabisi kehormatannya.

Salah seorang pembesar kerajaan Majapahit yang istrinya diganggu ialah Ra Tanca seorang tabib kerajaan. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi titik balik atas tewasnya Jayanegara.

Setelah sekitar 4 tahun menjadi Raja dan memasuki usia 19 tahun, kekuasaanya Jayanegara terus dirongrong, pemberotakan demi pemberontakan silih berganti.

Dimulai dari pemberontakan Gajah Biru dan Juru Demung. Setahun kembali menghadapi upaya makar dari Maudama dan Wagol.

Pada saat Jayanegara berusia 22 tahun, atau 7 tahun masa pemerintahannya harus menghadapi pergolakanya dengan Patih Nambi di Lumajang.

Mencermati dengan seksama maka pemberontakan justru berasal dari orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai pemberontak.

Menurut Paraton salah satu sebab adanya pemberontakan adalah karena Jayanagara merupakan raja yang berdarah campuran, bukan keturunan Kertanagara murni. Selain faktor tabiatnya yang buruk.

Pergolakan yang sering terjadi pada pemerintahan Jayanegara juga disebabkan dengan adanya intervensi dan campur tangan politisi busuk semacam Mahapati Dyah Halayudha.

Pemberontakan terbesar pada masa Jayanegara adalah pemberontakan Ra Kuti. Pemberontakan inilah yang paling berbahaya karena Ra Kuti berhasil menduduki ibu kota Kerajaan Majapahit.

Pemberontakan Nambi terjadi ketika pada tahun 1316. Nambi sendiri adalah patih pertama Majapahit yang berperan besar dalam merintis kerajaan bersama Raden Wijaya.

Seperti serangkaian pemberontakan di Majapahit sebelumnya juga disebabkan manuver politisi busuk semacam Mahapati Dyah Halayudha yang menebar fitnah dan adu domba.

Mahapati Dyah Halayudh disebut sebut sangat menginginkan jabatan patih, sehingga kemudian bermanuver dengan cara mengadu domba antara Nambi dengan Raja Jayanegara. Karena hal tersebut mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah yang menyebabkan tewasnya Patih Nambi.

Negarakertagama menyebutkan adanya pasukan khusus bernama Dharmaputra yang dibentuk pada masa Raden Wijaya.
Naskah Pararaton menyebutkan, para Dharmaputra disebut sebagai pengalasan wine suka, yang artinya pegawai istimewa yang disayangi raja.

Pasukan Dharmaputra bertugas mengawal dan mengamankan Raja. Anggotanya berjumlah tujuh orang yaitu Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa.

Dikisahkan para anggota pasukan Dharmaputra termasuk bala setia yang ikut mengawal Raden Wijaya ketika dikejar prajurit Jayakatwang yang menyerbu Singasari pada masa kekuasaan Raja Kertanegara.

Setelah Majapahit berdiri Ra Semi diangkat sebagai pemangku kekuasaan Majapahit di Lasem yang ditugaskan menjadi Dharmaputra dan mendapat gelar Rakrian (Ra) Semi

Manuver politik Mahapati Dyah Halayudha juga menciptakan gesekan antara Dharmaputra dengan Jayanegara setelah insiden terbunuhnya Patih Nambi.

Pemberontakan Ra Semi dalam naskah Pararaton disebutkan terjadi pada tahun 1318. Pararaton mengisahkan secara singkat ‘pemberontakan’ Ra Semi yang berlangsung di daerah Lasem.

Pemberontakan ini dapat ditumpas oleh pihak Majapahit di mana Ra Semi akhirnya tewas dibunuh di bawah pohon kapuk.

Terbunuhnya Ra Semi memunculkan dendam enam anggota Dharmaputra lainnnya. Puncaknya pada tahun 1319 Ra Kuti bersama anggota Dharmaputra lainnya berhasil menggalang kekuatan untuk memberontak.

Pemberontakan Ra Kuti adalah dampak dari terbunuhnya Patih Nambi dan Ra Semi. Selain juga karena keberhasilan Mahapati Dyah Halayudha melakukan manuver politik adu domba. Sehingga membuat Ra Kuti menjadi dendam dan tidak menyukai kepemimpinan Raja Jayanegara yang dianggap tidak cakap dan lemah dalam memerintah kerajaan.

Dalam beberapa tafsir seperti kitab pararaton pemberontakan Ra Kuti adalah yang paling berhasil sebab mampu menguasai istana Raja dan memproklamirkan diri sebagai Raja Majapahit.

Dalam pemberontakan ini membuat Jayanegara harus mengungsi keluar dari istana demi keselamatannya. Dikisahkan Jayanegara dalam pelarianya bersembunyi di Desa Bedander. Dibawah pengawalan ketat pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada.

Tempat persembunyian itu diyakini saat ini berada di Dusun Bedander, Desa Sumbergondang, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang. Sebab di lokasi ini terdapat situs yang diyakini sebagai tempat persembunyian Jayanegara.

Dalam sumber lain menyebutkan ada beberapa desa yang bernama Bedander diantaranya di Kabupaten Blitar dan Kabupaten Bojonegoro. Namun situs itu tidak didukung oleh bukti data historis dan arkeologis.

Di lokasi Bedander, Jombang di dukung dengan adanya sejumlah benda purbakala berupa umpak, struktur bangunan dari bata merah kuno, hingga fragmen porselen dari masa Dinasti Song hingga Dinasti Yuan di China. Hal ini sebagai bukti arkeologis seperti petilasan gunung jeladri, sumur-sumur kuno, toponimi wilayah dan sebagainya yang ditemukan di Bedander, Desa Sumbergondang, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang.

Setelah sekitar satu minggu bersembunyi dan menyamar di Desa Bedander dibawah pengawalan 15 anggota Bhayangkara. Selanjutnya secara diam diam Gajah Mada menyelinap kembali ke Kotaraja. Gajah Mada mencoba merangkai kembali jaringan politik yang tercerai berai.

Dari situ Gajah Mada tahu bahwa rakyat dan elit politik Majapahit masih siap mendukung Jayanegara dan tidak mau tunduk pada Ra Kuti. Dalam waktu yang tidak lama Gajah Mada berhasil menghancurkan Ra Kuti beserta para pengikutnya. Semua binasa, kecuali Ra Tanca.

Jayanegara berhasil dibawa Gajah Mada masuk kembali ke Istana Raja dan kekuasaan Jayanegara bisa dikembalikan setelah berhasil menumpas Ra Kuti.

Ra Tanca tidak hanya lolos dari penumpasan. Pada akhirnya melalui peran Gajah Mada Ra Tanca yang memiliki kemampuan pengobatan karena memang seorang Tabib dapat kembali diterima untuk mengabdi pada Raja Jayanegara.

Kematian yang tragis Prabu Jayanegara

Sekitar sembilan tahun pasca pemberontakan Ra Kuti makan Ra Tanca kembali aktif mengabdi pada Jayanegara. Pada suatu ketika Ra Tanca mendapatkan pengaduan yang tidak mengenakan dari istrinya yang bernama Nyai Makacaru yang mengaku diistana telah digoda bahkan diperlakukan tidak senonoh oleh Raja Jayanegara.

Selain dari pada itu Nyai Makacaru juga menyampaikan dirinya melihat dengan mata kepalanya sendiri jika Raja Jayanegara juga telah berusaha berbuat tidak senonoh kepada kedua adiknya yaitu Tribuwanatunggadewi dan Radjadewi Maharadjasa.

Ra Tanca sangat gelisah dan mulai tersulut dendam kesumatnya. Selanjutnya Ra Tanca menyampaikan perilaku Jayanegara kepada Gajah Mada yang kala itu menjabat sebagai Rakryan ri Patih Kahuripan. Kabar tentang upaya perlakuan tidak senonoh Jayanegara kepada kedua adiknya juga sudah menjadi perbincangan dikalangan istana Majapahit.

Para elit istana dalam kasak kusuk sering membicarakan kelakuan Jayanegara yang dianggap nista. Dalam kitab Kutaramanawadharmasastra Majapahit menyatakan, bahwa hukuman bagi orang yang mengganggu perempuan yang bersuami sangatlah berat.

Pada suatu hari pada tahun Saka 1250 atau 1328 masehi Ra Tanca dipanggil oleh panganggeng Istana untuk mengobati Raja Jayanegara yang sedang sakit bisul.

Ra Tanca yang sejak awal memiliki dendam kesumat pada Jayanegara tidak mau melewatkan kesempatan itu. Dikisahkan Ra Tanca mempersiapkan segala sesuatu termasuk belati khusus untuk menuntaskan dendamnya.

Sesampai di Istana Raja Jayanegara sedang berbaring dibalik pribadinya Dikisahkan Gajah Mada juga berada di situ akan tetapi setelah Ra Tanca memulai melakukan pengobatan pada Jayanegara makan Jayanegara keluar kamar, sambil menunggu apa yang terjadi.

Setelah hanya berdua dikamar Ra Tanca mulai memeriksa kondisi Jayanegara. Dia mulai pura pura melakukan operasi pembedahan bisul tersebut. Ra Tanca dengan belati khusus yang sudah dipersiapkan justru menusuk dengan keras tubuh Jayanegara disekitar penyakit bisul. Akan tetapi tusukan tersebut seakan tidak mempan menembus kulit Jayanegara.

Ra Tanca sudah berkali kali mencoba menusuk tetapi belati khusus itu tetap saja tidak mempan menembus kulit Jayanegara. Jayanegara masih belum juga menyadari niat jahat dari pada Ra Tanca.

Ra Tanca baru menyadari bagaimanapun kelakuan Jayanegara, dia tetap seorang Raja Majapahit yang memiliki kesaktian kebal senjata tajam.

Dengan dalih untuk pengobatan Ra Tanca dengan tutur yang sopan santun meminta kepada Jayanegara agar berkenan untuk melepas segala jimat kekebalan tubuhnya.

Jayanegara tidak menyadari maksud Ra Tanca sehingga melepas jimat yang dia bawa. Setelah jimat dilepas dengan posisi terbaring Jayanegara langsung dihujani tikaman belati oleh Ra Tanca dan seketika pula Jayanegara tewas.

Mendengar teriakan Jayanegara, Gajah Mada yang diluar kamar bergegas masuk dan langsung menikam Ra Tanca hingga tewas. Sehingga didalam kamar itu Raja Jayanegara tewas bersimbah darah diatas pembaringan dan Ra Tanca yang bersimbah darah tewas tergeletak di lantai.

Dikisahkan setelah insiden itu seluruh punggawa kerajaan Majapahit menjadi gempar, Raja Jayanegara telah dibunuh oleh Ra Tanca seorang tabib yang tak lain juga merupakan pengawal pribadinya.

Kasak kusuk juga menyangkut fakta sang pembunuh Raja Jayanegara langsung seketika dihabisi oleh Gajah Mada. Itulah babak akhir dari masa pemerintahan Jayanegara sebagai Raja Majapahit yang kedua.

Dalam kitab Pararaton disebutkan setelah Jayanegara mangkat, jasadnya dikremasi dan didharmakan dalam Candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan.

Sementara menurut Kitab Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Keberadaan gapura paduraksa Bajang Ratu, diduga sisa dari kompleks Srenggapura.

Menurut penafsiran para sejarawan menyebutkan Jayanagara juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amoghasiddhi.

Semasa hidup meski dikisahkan sering menggangu istri orang, merenggut kehormatan banyak perempuan hingga bermaksud memperistri dua adiknya namun sampai akhir hayat Jayanagara belum sempat menikah.Sehingga Jayanegara meninggal dunia tanpa memiliki keturunan.

Setelah Jayanegara mangkat, tahta Majapahit dilanjutkan oleh Ibu Suri Gayatri sebagai satu-satunya istri Raden Wijaya yang masih hidup. Namun karena Gayatri telah menjadi seorang Bhiksuni, kekuasaan Majapahit jatuh pada putri sulungnya, yaitu Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi

Kegalan Jayanegara sebab tidak patrap atas ajaran kepemimpinan Jawa

Seperti telah diurai diatas Jayanegara sebagai salah seorang Raja Majapahit yang dianggap gagal memimpin kerajaan. Pemerintahannya meninggalkan kisah yang tragis mulai dari pemberontakan yang silih berganti hingga berbagai skandal asmaranya yang berakhir merenggut nyawanya sendiri secara tragis.

Kegagalan Jayanegara tercatat secara abadi dalam catatan kitab kitab hinga cerita tutur turun temurun yang menyisakan penggalan aib yang tidak bisa ditutu tutupi lagi.

Bertolak dari kisah hidup Jayanegara dalam sudut pandang kepemimpinan Jawa maka Jayanegara sebagai seorang pemimpin yang tidak bisa mengamalkan falsafah Hastabratha.

Setiap orang pada hakikatnya adalah pemimpin, minimal memimpin diri sendiri. Dalam budaya Jawa telah diwariskan konsep kepemimpinan ”hasthabrata” oleh para raja dan pujangga untuk dapat dijadikan pedoman dan diterapkan dalam melaksanakan tugasnya, mengatur bangsa dan negara.

Ajaran “hasthabrata” tersebut ditemukan dalam buku Kakawin Ramayana, Serat Rama Jarwa (Yasadipura), Serat Ajipamasa (Ranggawarsita), Cerita wayang “Wahyu Makutharama”.

Ajaran tersebut diberikan Prabu Rama (inkarnasi Dewa Wisnu) kepada Barata (adik) dan Gunawan Wibisana yang diberikan Prabu Ajipamasa (Kusumawicitra) kepada Gandakusuma dan Jayasusena selanjutnya juga diberikan Prabu Kresna (inkarnasi Dewa Wisnu, Begawan Kesawasidi) kepada Arjuna.

Ajaran hasthabrata berisi 8 (delapan) watak dan perbuatan delapan dewa, yaitu Indra, Surya, Bayu, Kuwera, Baruna, Yama, Candra dan Brama atau kosmosentris.Delapan anasir jagad raya, yaitu matahari, bulan, bintang, awan, angin, api, laut, dan tanah.

Ajaran Hasthabrata ini bersifat universal sebab kedelapan unsur alam itu berdasarkan kenyataan selalu berada d sekitar kita dan selalu berhadapan dengan manusia.

Delapan anasir kepemimpinan Hastabratha terdapat bagian- bagian yaitu :
1. Indra Brata artinya pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Indra sebagai dewa pemberi hujan, memberi kesejahtraan kepada rakyat.
2. Yama Brata artinya pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Yama yaitu menciptakan hukum, menegakkan hukum dan memberikan hukuman secara adil kepada setiap orang yang bersalah.
3. Surya Brata artinya hendaknya seorang pemimpin mampu memberikan penerangan secara adil dan merata kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya serta selalu berbuat berhati-hati seperti matahari sangat berhati-hati dalam menyerap air.
4. Candra Brata artinya seorang pemimpin hendaknya dapat memperlihatkan wajah yang tenang dan berseri-seri sehingga masyarakat yang dipimpinnya merasa yakin akan kebesaran jiwa dari pemimpinnya.
5. Bayu Brata yaitu pemimpin hendaknya selalu dapat mengetahui dan menyelidiki keadaan serta kehendak yang sebenarnya terutama keadaan masyarakat yang hidupnya paling menderita
6. Kuwera Brata yaitu seorang emimpin hendaknya harus bijaksana mempergunakan dana atau uang serta selalu ada hasrat untuk mensejahterakan masyarakat dan tidak menjadi pemboros yang akirnya dapat merugikan Negara dan Masyarakat.
7. Baruna Brata yaitu seorang pemimpin hendaknya dapat memberantas segala bentuk penyakit yang berkembang di masyarakat seperti pengangguran, kenakalan remaja, pencurian dan pengacau keamanan Negara.
8. Agni Brata yaitu seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat selalu dapat memotivasi tumbuhnya sifat ksatria dan semangat yang berkobar dalam menundukkan musuh -musuhnya.

Dalam sudut pandang modern pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling berkaitan. Kepemimpinan (style of the leader) merupakan cerminan dari karakter/perilaku pemimpinnya (leader behavior).

Perpaduan atau sintesis antara “leader behavior dengan leader style” merupakan kunci keberhasilan pengelolaan organisasi atau dalam skala yang lebih luas adalah pengelolaan daerah atau wilayah dan bahkan Negara.

Merangkum dalam buku Ignite Milennial Leadership karya Andrew Senduk menyebutkan ada 8 (delapan) ciri mengenai kepemimpinan dari pemimpin yaitu :
(1) Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik.
(2) Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar.
(3) Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara manusia.
(4) Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri sendiri.
(5) Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi.
(6) Kemamapuan atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan dan mengembangkan bawahan.
(7) Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul.
(8) Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.

Kemudian, dalam sudut pandang Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF):
(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya.
(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi.
(3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya.
(4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana

Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam yaitu Musyawarah, Keadilan dan Kebebasan berfikir.

Para pemimpin apabila dapat bercermin dengan alam, kepemimpinannya dapat berjalan dengan baik dan sukses, sesuai dengan isi alam semesta yang secara sistematis telah diatur oleh Tuhan Yang Mahakuasa.

Prabu Jayanegata adalah Ayat – Nya.

Semoga bermanfaat
Lahul Fatihah

Wallahu a’lam bish-shawabi (والله أعلمُ بالـصـواب)
Dan Allah Mahatahu yang benar atau yang sebenarnya”

———————————————————————————-
Tulisan ini diramu dari telaah dengan buku pustaka sebagai sumber bacaan yaitu :

1. Agung Kriswanto. Pararaton. Alih Aksara dan Terjemahan. WWS, 2009
2. Andrew Senduk. Ignite Millennial Leadership. 6 Langkah Untuk Memaksimalkan Potensi Pemimpin Generasi Berikutnya. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2018
3. Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). LKIS Yogyakarta: 2005.
4. Slamet Muljana. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Bhratara. Jakarta. 1979.
5. Poesponegoro & Notosusanto (ed.). Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Balai Pustaka. Jakarta. 1990
6. Prof. Dr. Abdullah Ad-Dumaiji. Buku Konsep Kepemimpinan Dalam Islam. Ummul Qura. Jakarta. 2019
7. Wawan Susetya, Kepemimpinan Jawa. Narasi. Jakarta. 2007
8. Wikipedia

———————————————————————————-
Penulis adalah pemerhati kisah kemanusiaan masa lalu sehari hari belajar berternak dengan 3 ekor kambing di desa

Berita dengan Judul: Prabu Jayanegara Raja Ke Dua Majapahit yang Gagal Menjalankan Falsafah Astabrata pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. oleh Reporter : Jarkoni