Berita  

Potensi ‘Kiamat’ Internet Indonesia Karena Pemblokiran Google Dkk Tertunda Tiga Hari

potensi-‘kiamat’-internet-indonesia-karena-pemblokiran-google-dkk-tertunda-tiga-hari

Aktivis hak asasi manusia serta pegiat teknologi mengkhawatirkan problem ‘kiamat’ internet di Indonesia, selepas program pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat mencapai tenggat akhir pada Rabu 20 Juli 2022. Karena masih ada aplikasi serta situs populer belum juga mendaftar, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) rupanya tak langsung menjalankan blokir konten, melainkan memberi perpanjangan waktu pendaftaran tiga hari.

Bagian dari grup Meta, misalnya–WhatsApp, Facebook, Instagram–berhasil terdaftar dalam dua hari terakhir. Namun, dua induk layanan superpopuler lainnya, Microsoft dan Google, hingga pukul 18.00 WIB di akhir tenggat, belum tampak terdaftar di daftar PSE Asing Kominfo. Game mobile yang banyak dimainkan anak muda Indonesia, seperti Mobile Legends: Bang Bang dan PUBG Mobile, terpantau turut masuk daftar PSE Kominfo. Andai tak taat mendaftar PSE, pemerintah RI mengklaim tak segan melakukan blokir terhadap berbagai aplikasi dan situs krusial bagi pengguna internet tersebut, sekaligus menggantinya dengan aplikasi sejenis “karya anak bangsa.”


Dengan banyaknya aplikasi mendaftar di detik-detik akhir, risiko kiamat internet di Tanah Air bukan berarti sepenuhnya terhindarkan. Selain Google dan Microsoft, beberapa nama besar lain belum juga mendaftarkan diri hingga 20 Juli, contohnya aplikasi rapat Zoom, aplikasi streaming YouTube, serta Disney+. Google sehari sebelumnya baru mendaftarkan layanan komputasi awan Google Cloud ke program PSE, belum mencakup lini bisnis lainnya.

Kominfo saat dihubungi media di hari akhir pendaftaran PSE privat, berusaha melunak dan tidak akan langsung menjalankan blokir seperti yang sempat mereka ancamkan. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika) Kominfo, Semuel Abrijani Pangarepan, saat dikonfirmasi Tirto.id, mengaku langkah yang akan mereka ambil adalah mengirim surat teguran terlebih dulu. Meski begitu, Semuel mengklaim ancaman pemblokiran dari pemerintah sangat serius, dan bukan sekadar gertak sambal.

“Kami kirim surat peringatan, beri batas waktu tiga hari kerja. Kalau tetap tidak mau mendaftar, berarti mereka tidak mau lagi beroperasi di Indonesia, kami blokir,” ujar Semuel.

Di luar ancaman itu, Semuel mengakui ada masalah yang masih menghiasi proses pendataan PSE privat di lingkup domestik.

Seperti dilansir Suara.com, ada beberapa individu yang mendaftarkan PSE palsu, yang menurut Kominfo sangat mungkin dilaporkan ke polisi. Muncul akun-akun yang mendaftarkan platform bukan milik mereka ke situs PSE Kominfo. Sejumlah pihak terpantau mendaftarkan platform Google. Salah satu akun Twitter bahkan menemukan seseorang bernama Heru Widodo mendaftarkan sistem operasi Android atas namanya.

”Memberikan data palsu adalah kejahatan. Nanti kita lihat kalau itu ada niatan mengacaukan, kita cari dan kemudian laporkan ke polisi,” ujar Semuel.

Protes di medsos cukup keras terhadap kebijakan ini, bahkan sebagian organisasi swadaya melakukan kampanye massif menolak kebijakan PSE yang melanggar privasi serta mengancam nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Pasalnya, menurut analisis lembaga swadaya, Peraturan Menkominfo Nomor 10/2021 yang menjadi dasar program pendaftaran PSE mengancam kebebasan berekspresi dan privasi. Di Pasal 3 ayat 4 beleid itu, pemerintah mensyaratkan kewenangan meminta PSE menurunkan konten yang “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum”. Pasal 36 bahkan menyebutkan PSE wajib menyerahkan akses data lalu lintas dan data pengguna kepada aparat penegak hukum apabila diminta.

“Kalau dilakukan sesuai Permenkominfo ini, tidak ada jaminan bahwa ini [data pengguna] nantinya tidak akan disalahgunakan. Intinya, Permen [tersebut] menjadikan PSE sebagai alat untuk kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan masyarakat,” ujar pakar keamanan siber Teguh Aprianto saat dihubungi VICE. Teguh, selaku pendiri Ethical Hacker Indonesia, turut terlibat kampanye bersama SAFEnet menolak esensi pendaftaran PSE privat.

Teguh sendiri tertarik untuk memantau perkembangan pendaftaran PSE ini. Apabila perusahaan internet skala global itu bersedia mendaftar dan memberikan kekuatan kepada pemerintah Indonesia untuk memoderasi konten di platformnya dan mengakses data pengguna, artinya perusahaan macam Meta melanggar kebijakan privasi yang telah mereka buat sendiri.

“Jadi, kita bisa lihat platform tersebut patuh ke perjanjian mereka dengan penggunanya atau tunduk ke aturan yang berlawanan dengan perjanjian mereka… Apa gunanya mereka punya tim public policy kalau tunduk dengan aturan aneh seperti ini?” imbuh Teguh.