Selain radio dan televisi, ada dua sumber utama yang berjasa memberikan asupan lagu-lagu populer kepada anak pinggiran kota macam saya semasa remaja.
Cara pertama bernama “Yang Mulia Ultra MP3 Symbian”. Astaga, saya masih enggak bisa menyebut nama aplikasi ini tanpa muncul getaran di dada. Semasa hidupnya, Ultra MP3 sukses bertahan sebagai pemegang tampuk singgasana pemutar file lagu-lagu bajakan paling paripurna. Siapapun penciptanya, semoga ia kini bahagia. Press F to pay respect.
Buat mengisi lagu di aplikasi, saya biasanya cukup datang ke konter pulsa pinggir jalan dan membayar Rp10 ribu. Penjaga konter akan langsung memasukkan sekitar 50-100 lagu “baru” ke memory card yang saya serahkan. Anehnya, saya enggak bisa milih lagu apa yang bakal dikasih dia dengan alasan yang sampai hari ini saya enggak tahu, mungkin Rp10 ribu terlampau kecil untuk mendapat akses melihat stok komputer konter. Yang jelas, ini adalah kebijakan perusahaan dan sebagai konsumen teladan, saya harus menghormatinya.
“Pokoknya ini lagu-lagu paling baru, boi,” kata si penjaga pas suatu kali saya tanya. Siap, saya percaya.
Sistem transaksi berbasis keberuntungan yang persis beli set pack Kartu Digimon ini membuat saya kadang dapat lagu bagus, kadang dapat lagu aneh yang kualitasnya alamak, macam direkam sebelum masa kemerdekaan. Proses ini untungnya dilengkapi dengan aktivitas saling tukeran lagu di sekolah pakai bluetooth, membuat kami bisa menyusun playlist sempurna milik masing-masing. Mulai dari Fort Minor, Kerispatih, Story of the Year, dan Sastro Moeni campur jadi satu, saling melengkapi di bawah naungan pemutar file bajakan Yang Mulia Ultra MP3 Symbian. Press F to pay respect.
Saya masih ingat betul, satu hari sahabat saya mampir ke rumah. Dengan muka penuh kesombongan, doi pamer habis nemu lagu bagus pasca transaksi di konter: judulnya “Bertahan”, milik band bernama Rama.
Pertama dengar, saya terperanjat. Anjir, ini lagu apa partai politik selain Golkar semasa Orde Baru? Kok nelangsa banget hidupnya. Bait demi bait syair lagu sukses bikin kami termenung sore-sore, relatable banget mengingat momen remaja saat itu yang rutin kami bahas emang cuma dua hal: bagaimana mendekati perempuan dan bagaimana menyembuhkan diri apabila perempuan yang kita dekati menjauh.
Lagu ini langsung jadi bagian penting tumbuh kembang saya.
Cara kedua, adalah lagu-lagu yang diputar oleh pengemudi angkutan kota (angkot). Mungkin sebagian pembaca mengetahui ada masa di mana angkot Provinsi Lampung (tempat saya hidup hingga dewasa) terkenal dengan gengsinya pamer perangkat sound system. Sangat lazim bila kalian melihat sopir angkot di Lampung mengorbankan tempat duduk bagian paling belakang, yang seharusnya bisa dipakainya untuk setidaknya dua penumpang, malah diubah jadi dudukan takhta sound system segede gaban. Uang bisa dicari, lebih penting kepuasan hati.
Tren ini membuat angkot jadi salah satu wahana paling efektif untuk diseminasi lagu-lagu. Sebagai pengguna angkot harian sejak 5 SD sampai 1 SMA, kendaraan umum ini berjasa besar membuat saya hafal beberapa album Kangen Band, Radja, dan ST12 tanpa niatan sama sekali untuk menghafal.
Meski begitu, cerita angkot paling memorable justru saya sematkan kepada lagu “Aku Bisa” dari Flanella.
Suatu hari, sepulang sekolah, saya mendapati empat orang, tiga lelaki dan satu perempuan, menaiki angkot yang saya tumpangi. Kuota penuh, angkot yang sudah ngetem 30 menit itu akhirnya jalan. Sound system baru dihidupkan, lagu band asal Kota Malang itu diputar. Nuansa ruangan mendadak berubah sendu, empat orang yang baru naik tadi sigap menyanyikan setiap baris lirik lagu dengan penghayatan macam penyair termahsyur. Puncaknya, selesai reff pertama, satu pria menitikkan air mata. Ketiga kawannya langsung mengelus tangan dan punggung penyintas patah hati ini. Penumpang lain panik.
“Maaf, dia keinget masa lalunya,” kata perempuan anggota rombongan bertindak sebagai juru bicara, menjelaskan apa yang sedang terjadi kepada penumpang lain. Pengalaman yang surreal.
Momen-momen penting selama saya remaja ini lah yang menjadikan band-band pop mainstream 2000-an, khususnya pop melayu, punya tempat tersendiri di hati saya. Masalahnya, sebagai remaja yang ingin kelihatan keren, saya tak leluasa mengungkapkan karena takut dianggap norak. Semasa SMP, band yang saya ikuti rutin latihan lagu-lagu Muse dan My Chemical Romance. Enggak kebayang ekspresi muka mereka kalau saya tiba-tiba request latihan “Tentang Aku, Kau, dan Dia” dari Kangen Band. Ya udah, demi menjaga diri dari sanksi sosial, perasaan ini saya pendam saja.
Sudah lama lupa, perasaan itu tiba-tiba membuncah ketika internet mulai menguasai cara orang menikmati musik. Mendadak, saya menemukan lagi banyak lagu-lagu pop awal 2000-an mulai dirayakan kembali secara terbuka.
Coba lah lihat di YouTube, Anda akan menemukan banyak musisi muda meng-cover lagu pop 2000-an selama 2-3 tahun terakhir dengan views yang fantastis. Misalnya, cover “Aku Bisa” oleh Felix Irwan ini. Diunggah pada Juli 2019, lagu sudah didengar sampai 7 juta kali. Lantas, lihatlah komentar videonya. Isinya udah kayak alumni penyintas patah hati yang lagi reunian, menceritakan pedihnya kisah cinta masing-masing.
Contoh lain, di pagelaran musik tahunan Synchronize Festival. Band-band mainstream 2000-an macam Kangen Band dan Radja mendapat sambutan super hangat dari para penonton yang kebanyakan anak muda urban. Fenomena ini bikin saya merinding, apakah ini tanda-tanda kebangkitan kembali pop 2000-an?
Secara khusus, saya senang sekali melihat tren meme “Flanella Time” yang dimulai akun Twitter @trendingtopic. Menyaksikan video demi video bertema patah hati diunggah dengan latar musik “Aku Bisa”, saya merasakan nostalgia. Ingatan saya terbang membayangkan momen lelaki yang tak kuasa menahan tangisnya di angkot jurusan Tanjungkarang—Kemiling itu.
Apa kabarnya ya dia sekarang?
Saya berujung ngobrol dengan Hasief Ardiasyah, jurnalis musik yang pernah berkarir di Rolling Stone Indonesia sejak 2005 hingga 2017. Saya mengaku bingung mengapa dulu pop mainstream kerap dapat stigma negatif dari anak muda sampai membuat saya suka malu mengekspresikannya. Saya minta Hasief menilai, apakah saat ini ada indikasi genre pop melayu bangkit lagi menguasai nusantara dan anak muda (yang kemungkinan masih terlalu muda saat musik tersebut populer) memang gembira merayakannya.
“Sebenarnya bukan spesifik ke pop melayu, tapi lebih ke [sikap] anti-mainstream. Kalau ditarik lagi beberapa tahun sebelum pop melayu, kan ada Sheila on 7 dan Peterpan yang meledak banget karena media saat itu cuma tivi dan radio. Mau enggak mau semua orang dengernya itu [musik yang diputar di tivi dan radio]. Jadi, ya wajar kalau pada akhirnya muncul orang-orang yang secara terang-terangan bilang ‘anti’ dengan musik populer,” cerita Hasief.
Hasief menilai “kebencian” pada Sheila on 7 dan Peterpan perlahan pudar ketika pendengarnya sudah dewasa. “Ini aku merasakan banget pas masa-masanya Sheila on 7 turun lalu pelan-pelan naik lagi. Melihat teman-teman yang bisa dibilang cukup gaul di Jakarta kok ternyata suka,” tambah Hasief.
Kondisi ini dipakainya untuk menjelaskan fenomena dirayakannya pop melayu, “Ini sepertinya yang terjadi dengan pop melayu. Dulu [musik pop melayu] tak bisa dihindari sehingga orang jadi eneg karena lagunya di mana-mana, apalagi ditambah gaya yang bisa dibilang kurang menarik secara visual. Jadi, kalau enggak terang-terangan membenci, ya diam-diam suka.”
Kata Hasief, siklus ini wajar dalam industri musik. Apabila ada sesuatu hal yang fenomenal, pasti juga muncul “musuh” yang menolak kehadirannya. Ketika tren pop melayu telah meredup lalu kini muncul kembali, “dosa-dosa” terdahulunya seakan terlupakan. “Orang sekarang udah siap untuk menerima,” ujar Hasief.
Peran festival musik juga penting dalam merangkul kembali penggemar pop mainstream 2000-an ke permukaan. Synchronize Festival, misalnya. Pagelaran musik tahunan ini berhasil membawa musik-musik tersebut kepada orang-orang yang selama ini suka, namun enggak segitunya untuk dateng nonton gig. “Enggak cuma melayu, Rhoma Irama juga kan [kena dampaknya]. Mana ada anak-anak urban Jakarta ngajak temen-temennya nonton Rhoma Irama di antah berantah. Pas ada sebuah festival besar dan bergengsi, baru hilang gengsinya,” tutur Hasief.
Kembalinya antusiasme terhadap musik pop mainstream 2000-an turut dirasakan Nur Allvy Sahrin, gitaris band Rama. Belum sampai setahun ia kembali mengunggah ulang lagu “Bertahan” yang diciptakannya itu ke YouTube, karya itu sudah didengar lebih dari sejuta kali. Selain berisi nostalgia para milenial tua, Alvy mendapati banyak generasi lebih muda yang mendengarkan lagu itu. Kepada VICE, doi mengaku tak menyangka lagu curhatnya yang diciptakan pada 2002 itu masih diasup begitu banyak orang.
“Terus terang, lagunya aja yang dikenal. Orang-orangnya [yang menyanyikan] enggak ada yang tahu,” cerita Alvy terkekeh. “Label sampai minta saya untuk bikin lagu [sesukses] ‘Bertahan’ untuk album kedua. Saya udah coba bikin beberapa kali, [tapi] sampai sekarang enggak bisa bikin tandingan lagu itu karena saya udah enggak ngerasain itu lagi,” cerita Alvy. “Bikin lagu enggak segampang nyeduh mi instan.”
Alvy menilai kembali maraknya lagu band-band pop melayu disebabkan nilai sentimentil yang dirasa kala mendengar lagu. “Yang dulu dengerin ‘Bertahan’ kan umurnya udah empat puluhan, mungkin mereka jenuh sama lagu-lagu sekarang dan memutuskan dengerin lagu yang dulu lagi. Gara-gara banyak yang dengerin akhirnya viral lagi. Karena emang kita tumbuh besar dengan lagu itu kali ya, jadi kita nyaman dengarnya,” cerita Alvy.
Sementara Kidnep, vokalis band Flanella, mengaku asing sama tren “Flanella Time” karena emang enggak pernah buka Twitter. Kepada VICE, doi merespons informasi ini dengan sukacita, mengapresiasi fakta bahwa lagu “Aku Bisa” terus didengar hingga saat ini.
“Sebenarnya, itu bukan lagu patah hati. Itu lagu penyemangat buat yang lagi patah hati. Gimana caranya bisa lepas dari dia [mantan kekasih]. Gimana caranya kita bisa kuat. Mungkin, nadanya yang mellow membawa pendengarnya ke situ [ikutan mellow],” kata Kidnep. “Enggak kebayang sih lagu itu [bisa awet] sampai sekarang.”
Kidnep mengaku rutin melihat anak-anak muda yang masih menyanyikan lagu-lagunya, khususnya “Aku Bisa” dan “Bila Engkau”, dua top hits dari Flanella. Pria asal Malang itu menceritakan, penciptaan lagunya terjadi dengan campur tangan Tuhan.
“Saya senang lagu ciptaan saya bermanfaat entah gimana caranya. Misalnya dari lagu “Bila Engkau”, tiba-tiba ada orang yang bilang pernah ngungkapin [perasaan] pakai lagu ini dan sekarang udah jadi istri. Itu saya seneng banget. Aku senang juga ‘Aku Bisa” dijadiin lagu itu [tren Flanella Time], karena emang lagunya buat ngasih semangat agar bisa survive. Lirik ‘pergi saja dengan kekasihmu yang baru’ itu kan agak sombong sebenarnya, padahal tetap enggak enak [perasaannya orang sakit hati],” tutur Kidnep.
Dia menilai, kembali populernya lagu-lagu pop mainstream 2000-an saat ini disebabkan masih banyak orang yang masih saja merasa relate. Lagu-lagunya dianggap masih relevan menceritakan masalah cinta banyak orang. “Buat saya, lagu itu punya rezeki sendiri-sendiri. Kalau kita sekarang bikin lagu, kita enggak tahu kapan naiknya, enggak tahu kapan rezekinya.”
Alvy dan Kidnep mengaku lagu-lagu ciptaannya masih memberikan penghasilan pasif kepada masing-masing meski nilainya tidak terlampau besar. Keduanya juga sudah memiliki kerjaan sampingan; Alvy menjadi pengusaha dan sesekali reguleran di kafe, sementara Kidnep masih mencipta lagu untuk orang lain sembari fokus menggarap proyek lagu anak.
Kepada keduanya, saya hanya bisa haturkan terima kasih karena momen-momen magis yang saya, dan juga banyak remaja lain, rasakan semasa puber berbekal lagu ciptaan mereka tak bisa dinilai.
Pokoknya press F to pay respect!
*Ikhwan Hastanto adalah jurnalis sekaligus musisi kelahiran Lampung yang kini bermukim di Jogja. Follow dia di Twitter