Kasus penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) semakin berlarut-larut. Terbaru, Polri baru saja mengumumkan satu dari tiga polisi terduga pelaku pembunuh telah meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal sepeda motor di Tangerang Selatan, Banten.
Butuh waktu lama bagi polisi untuk mengumumkan situasi tersebut. Almarhum bernama Elwira Priyadi Zendrato mengalami kecelakaan tunggal pada 3 Januari 2021, alias hampir tiga bulan lalu. Elwira meninggal sehari kemudian pada 4 Januari. Namun informasi kematiannya baru disampaikan secara resmi oleh Polri hari ini, setelah hampir tiga bulan terlalu.
“Dan untuk diinformasikan satu terlapor atas nama EPZ itu telah meninggal dunia dikarenakan kasus kecelakaan tunggal motor Scoopy, yaitu terjadi pada 3 Januari 2021 sekitar pukul 23.45 WIB,” demikian disampaikan Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono dalam konferensi pers di Mabes Polri hari ini (26/3), dilansir Detik.
Pengumuman ini menjadi kali pertama publik mengetahui nama salah satu polisi yang terlibat penembakan. Sebelumnya, jangankan nama maupun pangkat, ketiganya bahkan belum ditetapkan sebagai tersangka—itu alasan Rusdi menyebut almarhum sebagai “terlapor” bukannya “tersangka”. Selain nama EPZ, saat ini hanya diketahui para tersangka adalah anggota Polda Metro Jaya.
Kasus penembakan mati enam laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek km 50 pada 7 Desember 2020 sejak awal memang berbelit-belit, terutama kejelasan siapa korban dan siapa tersangka. Polisi, misalnya, di awal menyebut keenam anggota laskar tersebut meninggal dalam baku tembak dengan polisi.
Pernyataan itu lalu direvisi bahwa dua korban tewas dalam baku tembak, sementara sisanya ditembak polisi dalam mobil saat hendak digelandang ke Polda Metro Jaya. Empat kematian terakhir itu belakangan dinyatakan oleh Komnas HAM sebagai unlawful killing atau pembunuhan di luar hukum, yang penyelidikan/penyidikannya berlangsung sampai sekarang.
Menurut keterangan Menko Polhukam Mahfud MD pada 9 Maret, ketiga polisi tersebut didapati sebagai pelaku berkat investigasi Komnas HAM yang laporannya disetorkan kepada Presiden dan Menko Polhukam pada 8 Januari. Namun, saat itu Mahfud enggan membuka identitas pelaku, dengan alasan akan dibuka saat pengadilan saja.
Sikap tertutup juga ditunjukkan polisi. Pada 3 Maret atau seminggu sebelum Mahfud bicara kepada media, Kepala Bareskrim Polri Komjen Agus Andrianto menyatakan sudah punya dua bukti kuat siapa pembunuh keempat anggota laskar tersebut, namun tidak menyebut rincian buktinya apa saja. Gelar perkara juga disebut sudah dilakukan, ditambah janji status perkara akan segera naik ke tahap penyidikan.
Akan tetapi yang terjadi kemudian bukan pengumuman ketiga polisi tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Yang bikin publik makin kaget, pada 4 Maret justru polisi mengumumkan keenam anggota laskar yang sudah almarhum itulah tersangka mereka. Tuduhannya: menyerang polisi yang sedang bertugas.
“Sudah, penyidikan menetapkan tersangka berdasarkan fakta-fakta materil. Masa ada kejadian pengeroyokan tidak ada tersangkanya, korbannya ada,” ujar Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian, dilansir Merdeka. Pernyataan itu disampaikan Andi pada 4 Maret, atau sehari setelah Kabareskrim bilang bukti memadai.
Berita tersebut memancing kemarahan publik, bahkan dikatai konyol oleh ahli hukum. Masih di tanggal 4 Maret itu Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono menyampaikan penetapan tersangka pada enam anggota laskar FPI itu gugur akibat tidak sesuai hukum.
Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Laskar FPI, kelompok swadaya yang didirikan Januari lalu untuk memantau investigasi pembunuhan ini, merespons kabar kematian salah satu pelaku dengan menuntut proses hukum berlangsung transparan. “Kami baru tahu dari media. Jika memang itu benar dan faktual, harus disampaikan ke publik secara komprehensif, bebas dari rekayasa, guna meyakinkan semua pihak,” ujar anggota TP3 Muhyiddin Junaidi kepada Detik.