Sehari setelah Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo melarang humas kepolisian seluruh Indonesia menyiarkan arogansi dan kekerasan yang dilakukan aparat, Komnas HAM melansir Polri jadi lembaga paling banyak dilaporkan ke lembaga mereka dalam lima tahun terakhir. Peristiwa berurutan yang isunya sekilas nyambung ini bisa jadi pertanda bahwa istilah “semesta bekerja” benar adanya. (N.b. telegram kapolri yang kontroversial itu sudah dicabut, membuatnya berlaku tak sampai 24 jam.)
Laporan tak mengejutkan tersebut disampaikan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI, kemarin (6/4). Sedianya, Komisi III sedang mengevaluasi kinerja Komnas HAM dalam lima tahun belakangan. Namun informasi tentang “prestasi” Polri justru yang menyita perhatian.
“Kalau kita lihat statistiknya, yang paling banyak diadukan Kepolisian RI, yang kedua korporasi, yang ketiga pemerintah daerah, kemudian tentu saja ada lembaga peradilan, pemerintah pusat dalam hal ini beberapa kementerian terkait,” demikian papar Taufan, dilansir CNN Indonesia.
Rincian statistik tersebut adalah sebagai berikut. Sepanjang 2016-2020, Komnas HAM menerima 28.305 aduan dari masyarakat. Hanya 65 persen kasus yang kemudian diproses karena sisanya tak lolos administrasi. Dari angka general tersebut, sebanyak 1.992 aduan mengenai kinerja Polri, 601 aduan mengenai korporasi swasta dan negara, 530 aduan mengenai pemerintah daerah, dan di peringkat keempat, 305 aduan mengenai pemerintah pusat.
Kenapa Polri sering banget diaduin ke Komnas HAM, Taufan punya penjelasannya. Ia mengelompokkan aduan dalam dua kategori. Pertama, aduan bahwa personel Polri menjadi pelanggar HAM. Kedua, aduan tentang personel Polri yang tidak menindak tegas kasus pelanggaran HAM yang dilakukan pihak lain.
Namun, Komnas HAM mengapresiasi Polri yang responsif ketika dipanggil untuk menanggapi aduan ke Komnas HAM. Ini berbeda dari respons korporasi negara yang kurang patuh pada rekomendasi penyelesaian kasus yang diajukan Komnas.
Laporan Komnas HAM sepanjang 2019 yang juga menempatkan Polri sebagai lembaga paling sering dilaporkan menjelaskan lebih detail alasan pelaporan dari warga, yakni karena proses hukum tidak sesuai prosedur, penanganan kasus lamban, kriminalisasi, serta kekerasan dan penyiksaan saat penangkapan dan penahanan. Khusus poin terakhir, saat itu Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al-Rahab menekankan agar Polri memperhatikan masalah tersebut.
“Yang menarik ini ada yang mengadu orang merasa dikriminalisasi. Selain itu perhatian luar biasa adalah soal terjadinya kekerasan, aparat melakukan kekerasan pada proses penangkapan atau penahanan. Jumlahnya tidak banyak, tapi kualitas persoalannya harus diperhatikan karena ini menyangkut tindak terjadinya tindak kekerasan oleh aparat,” ujar Amiruddin pada 9 Juni 2020, dikutip Tempo. Saat dimintai komentarnya oleh Tempo, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Argo Yuwono hanya menjawab normatif, “[Personel] diawasi juga oleh Propam [Divisi Profesi dan Pengamanan] dan Itwasda [Inspektorat Pengawasan Umum Daerah]. Penyidikan sudah dilakukan profesional dan proporsional.”
Laporan Komnas HAM ini juga “kebetulan” muncul di tengah sorotan besar pada pelanggaran HAM polisi terkait kasus penembakan enam anggota laskar FPI. Terjadi medio Desember tahun lalu, penyelidikan kasus berlarut-larut. Kasus sementara berakhir antiklimaks setelah 26 Maret lalu Humas Polri mengumumkan salah satu dari tiga polisi tersangka pembunuh laskar FPI telah meninggal pada Januari kemarin akibat kecelakaan sepeda motor. Investigasi Komnas HAM yang selesai juga Januari lalu menyimpulkan, polisi telah melakukan pelanggaran HAM.
Di luar pelanggaran HAM oleh Polri, dalam rapat dengar pendapat Komnas HAM juga merinci daftar masalah yang membuat korporasi, pemda, dan pemerintah pusat jadi 4 besar institusi paling kerap diadukan. Terkait korporasi, masalah paling sering mengenai sengketa lahan, sengketa ketenagakerjaan, dan pencemaran lingkungan.
Mengenai pemda adalah soal penggusuran, sengketa kepegawaian, intoleransi, dan maladministrasi. Sedangkan pemerintah pusat kerap bermasalah soal sengketa lahan, maladministrasi, pembangunan infrastruktur, dan sengketa ketenagakerjaan.
Yang tak boleh dilewatkan adalah feedback Komisi III dalam rapat tersebut. Bukan soal track record Polri sih, tapi tetap patut diketahui. Komisi III memutuskan mendorong Komnas HAM untuk mencari cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat cara non-yudisial alias di luar proses pengadilan (ciyeee, kompak sama keinginan pemerintah).
Dikutip dari Kompas, Komisi III beralasan jalan non-yudisial perlu karena banyak kasus HAM berat sebelum tahun ’90-an enggak bisa diproses akibat banyak saksinya udah meninggal.