Mural bergambar muka Presiden Joko Widodo bertuliskan “404:Not Found” di bawah jembatan layang Batu Ceper, Kota Tangerang, Provinsi Banten, sempat viral. Mural tersebut segera ditimpa cat hitam oleh petugas kepolisian setempat. Aparat bergerak karena si seniman pembuat mural dianggap melanggar hukum. Kasubbag Humas Polres Tangerang Adul Rachim menegaskan mural tersebut melecehkan presiden sebagai simbol negara.
Penyidik melakukan perburuan pelaku tanpa menunggu laporan masyarakat, dengan dalih presiden adalah panglima tertinggi TNI-Polri yang harus dihormati. Padahal menurut ahli pidana, hukum Indonesia tak mengenal istilah simbol negara. Jika merujuk lambang negara, presiden pun tak termasuk karena lambang negara hanyalah Garuda Pancasila beserta semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Kapolsek Batu Ceper David Purba menyampaikan pihaknya masih belum menemukan pembuat mural tersebut. “Dua saksi [sudah diperiksa], belum ada pelaku. Masih proses pencarian dan penyelidikan,” kata David dilansir Republika, Minggu (15/8) kemarin.
Belakangan, negara terlihat sibuk menertibkan karya mural berisi ekspresi warga di berbagai daerah. Di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, mural dinding bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di dinding rumah tanpa penghuni juga ditimpa aparat dengan cat warna lain. Kepala Satpol PP Kabupaten Pasuruan Bakti Jati Permana mengatakan, mural tersebut dianggap melanggar Perda Pasuruan No. 2/2017 tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat. Perda tersebut melarang masyarakat mencoret-coret sarana umum. Dalam kasus ini, dinding rumah kosong dianggap sarana umum karena berada di pinggir jalan dan bisa dilihat warga yang melintas.
“Mural tersebut nadanya kalau kami mengartikannya dapat dikatakan kritis, cuma kan multitafsir. Kalau kami mengartikan provokasi juga, menghasut lah. Sekarang kalau misalnya bahasanya ‘Dipaksa Sehat di Negara Sakit’ apakah memang negara kita sakit? Kan jadi pertanyaan juga,” ujar Bakti membeberkan analisis makna mural dalam perspektif Satpol PP, dilansir Kompas.
Mural viral lainnya, bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” di Kabupaten Tangerang, juga dihapus meski aparat tidak menyebut pasal apa yang dilanggar. Aparat bahkan mendatangi rumah salah satu seniman, membuat yang bersangkutan merasa terintimidasi.
“Cukup tertekan, kami tidak menyangka efeknya polisi akan seperti itu,” kata Deka Sike, salah satu pembuat mural, kepada Tempo. Deka menceritakan mural sepanjang 12 meter tersebut dikerjakan 15 seniman dalam waktu empat jam.
“Ini adalah cara kami mengekspresikan sesuatu yang kami rasakan, ‘Tuhan Aku Lapar’ adalah aduan dan keluhan kami kepada Tuhan Sang Pencipta. Mereka [polisi] memang bilang tidak mau membatasi, tapi dengan cara mereka mendatangi rumah kami itu sudah memberikan penekanan pada kami dan keluarga.”
Kapolres Kota Tangerang Wahyu Sri Bintoro mengatakan kedatangan aparat ke rumah salah dua pemural bertujuan “memastikan ekonomi keluarga mereka” dengan turut membawa bantuan sembako. Wahyu menyebut kedua pemural yang ia datangi hidup berkecukupan, tindakan yang mencoba mendiskreditkan ekspresi seni keduanya dengan mengesankan bahwa mural yang dibuat tidak valid dan relevan.
Terkait cara aparat mendelegitimasi mural kritik di berbagai daerah menggunakan UU 24/2009 dan perda ketertiban umum, ahli hukum tak sepakat. Dosen Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret Agus Riewanto mengatakan presiden jelas-jelas bukan simbol negara.
Diksi “simbol negara” juga tak terjumpai dalam UU tersebut. Pembukaan UU 24/2009 menyebut, bendera Merah Putih, bahasa Indonesia, lambang Garuda Pancasila, dan lagu “Indonesia Raya” merupakan simbol yang mencerminkan kedaulatan Indonesia di pergaulan internasional.
Karena itu, Agus berpendapat pembuat mural tidak bisa disebut melanggar hukum pidana, melainkan perda ketertiban umum. “Itu sih seharusnya enggak sampai ke polisi ya. Perda itu penindakannya bukan polisi, tetapi Satpol PP. Maksimal denda, kalau tidak ya paling dihentikan atau dibubarkan saja,” tuturnya kepada Kompas.
Andrew Lumban Gaol, seniman street art di balik Anti-Tank Project yang kerap mengkritik negara lewat poster, mengaku tak kaget melihat penghapusan mural di berbagai daerah ini. “Ketika kawan-kawan di Yogyakarta memasang 500-an poster penolakan omnibus law, semua poster raib tak lama kemudian. Umumnya poster-poster itu ditutup hanya di bagian teks,” kata Andrew saat dihubungi VICE.
“Ribut-ribut soal sampul majalah Tempo yang berilustrasikan Pinokio lalu sudah memperlihatkan bagaimana kekuasaan merespons kritik. Rezim hari ini dibangun dengan citra, bisa dilihat menjamurnya buzzer menggantikan jubir pemerintah. Rezim yang mementingkan citra sudah pasti berusaha menyembunyikan kebobrokannya,” tambah Andrew.
Mengenai ancaman jeratan UU Lambang Negara ataupun Perda Ketertiban Umum, Andrew menjelaskan bahwa ini persoalan lama yang sudah jadi risiko seniman dalam berkarya. Sebelumnya, para seniman bersiasat dengan menciptakan karya dengan pesan terselubung.
“Namun, keadaan hari ini siapa pun, dengan bentuk aktivitas macam apa pun, bisa dengan mudah diancam. Tinggal bagaimana kita membangun solidaritas antar-warga yang menjadi modal kekuatan bersama dalam menghadapi ancaman penguasa,” tambah Andrew.
Tekanan kepada seniman kritis lewat aksi aparat mendatangi kediaman pribadi dilihat Andrew bisa jadi momentum melihat kembali street art pada tabiat radikalnya yang memang bertujuan mengganggu kemapanan. “[Kita bisa] menempatkan kembali kultur ini sebagai alat komunikasi organik yang bisa seturut dengan inisiasi gerakan-gerakan warga yang makin berjarak dengan negara dalam menghadapi pandemi,” tutupnya.