Sudah waktunya orang yang suka nyalahin pakaian korban kekerasan seksual berhenti mengeluarkan opini jelek. Di Malang, polisi tengah memproses laporan tiga perempuan korban pelecehan seksual oleh lelaki pengidap fetish mukena. Kasus ini mempertegas bahwa pakaian tidak dapat melegitimasi kekerasan seksual. Ya emang pelakunya aja yang bermasalah.
Terkuaknya kasus ini dimulai dari pengakuan seorang model hijab dengan akun Twitter @jeehantz, 16 Agustus lalu. Dalam utasnya korban bercerita bahwa ia berkenalan dengan seseorang bernama Riya, pemilik toko mukena bernama Griya Mukena Malang. Perkenalan ini bisa terjadi karena toko milik Riya menjadi sponsor kontes kecantikan yang diiikuti korban.
Dari sana, Riya kemudian meminta korban menjadi model produknya. Korban pun menurut. Ia lalu menjalani sesi pemotretan bersama seorang fotografer pria bernama Dimas Alvian. Usut punya usut, Dimas dan Riya adalah orang yang sama. Sedang Brand Griya Mukena Malang hanya akal-akalannya menjaring perempuan berkerudung untuk difoto.
Foto dari “sesi pemotretan produk mukena” itu kemudian digunakan untuk memuaskan hasrat seksual pelaku. Selain jadi konsumsi pribadi, foto korban mengenakan mukena itu turut diunggah di akun media sosial yang rutin membagikan foto perempuan berhijab lain dengan nama @pecinta_mukena.
Utas pengalaman @jeehantz yang viral tampaknya membuat panik pelaku. Dimas kemudian mengunggah video permohonan maaf di akun Instagramnya @dimasalvian20, yang kini sudah hilang.
Di video tersebut, Dimas meminta maaf dan mengaku salah telah menyalahgunakan foto tanpa izin sang model. Ia juga mengatakan foto tersebut hanya untuk konsumsi pribadi alias tidak diperjualbelikan. Dimas juga berjanji menghapus semua foto, baik yang diunggah maupun yang tersimpan di laptopnya.
Bukannya mereda, pengakuan Dimas ini justru memicu pengakuan dari korban lain. Dari sana, para korban memastikan bahwa Dimas di video itu memang pelakunya. Mereka lantas memutuskan untuk melaporkan kasus ke polisi Malang pada 20 Agustus lalu. Total, 10 korban telah berhimpun, berasal dari berbagai macam latar belakang, seperti model profesional, mahasiswi, dan ibu rumah tangga. Kepada polisi, korban menjelaskan bahwa Dimas mengaku sebagai lulusan sebuah kampus swasta di Malang.
Polres Malang Kota mengaku sudah menerima keterangan dari tiga korban dan masih membuka pintu untuk para korban lain. “Sampai hari ini [23/8], sudah ada tiga orang yang kita mintai keterangan. Silakan datang untuk melapor, bagi orang-orang yang merasa menjadi korban. Hari ini, kami akan pelajari keterangan-keterangan yang disampaikan, termasuk adanya barang bukti yang disertakan, untuk menentukan adanya tindak pidana,” ujar Kasat Reskrim Polres Malang Kota Tinton Yudha Riambodo kepada Detik.
Sementara ini polisi masih menimbang-nimbang jerat pidana yang bisa dipakai. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menjelaskan ada pasal yang bisa menjerat pelaku. Pertama, KUHP Pasal 378 tentang penipuan sebab pelaku menggunakan identitas palsu untuk membuat para korban memenuhi keinginannya. “[Pelaku] Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, barang di sini maksudnya adalah menyerahkan foto,” kata Erasmus kepada Tirto.
Kedua, Erasmus menyebut pelaku bisa dijerat UU 28/2014 tentang Hak Cipta Pasal 12. Alasannya, foto yang harusnya diunggah untuk kebutuhan promosi produk malah diunggah untuk tujuan lain. Ketiga, seharusnya kegiatan pelaku bisa dijerat pasal kesusilaan. Masalahnya, UU asusila di Indonesia justru menitikberatkan konten dibanding niat dan tujuan. Artinya, secara konten, apa yang disebar Dimas hanyalah sekumpulan foto berhijab yang tak memperlihatkan tindakan asusila, meski niat dan tujuan bermaksud pornografis.