Bercandaan apabila intel menyamar sebagai tukang bakso dan nasi goreng mungkin membuat para polisi harus berpikir keras. Kira-kira profesi apa lagi yang bisa menjadi ladang untuk menyamar. Meski tentunya intel tidak akan kekurangan pilihan, banyak jenis profesi yang bisa dijajal, salah satunya seperti Iptu Umbaran Wibowo yang menyamar sebagai wartawan.
Bukan hanya setahun dua tahun, atau untuk satu kasus dua kasus, penyamaran ini berjalan sampai 14 tahun. Terlepas dari mungkin ada kepentingan atau penggalian informasi tertentu, rentang tahun penyamaran Umbaran sebagai kontributor TVRI di Blora ini tentu membuatnya layak disebut sebagai praktisi jurnalistik. Bahkan namanya tercantum di Dewan Pers dengan status jurnalis madya (artinya dia sudah menjalani tes uji kompetensi jurnalistik).
Umbaran bisa saja melanjutkan ‘profesinya’, namun jabatan intel hanyalah titipan pimpinan. Dia harus meninggalkan penyamarannya dan mendapat tugas baru sebagai Kapolsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah.
“Mutasi itu wajar untuk penyegaran dan mendongkrak kinerja anggota. Terkait saya dulu pernah aktif di jurnalistik, itu adalah bagian dari pelaksanaan tugas dan perintah pimpinan,” begitu kata Umbaran, seperti dikutip CNN Indonesia.
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Iqbal Alqudusy, juga membenarkan apabila Umbaran pernah bekerja sebagai kontributor TVRI Jawa Tengah untuk wilayah Pati. Iqbal juga membeberkan apabila Umbaran pernah mendapat tugas intelijen di wilayah Blora. Tugas ini telah selesai pada Januari 2021 lalu.
“Januari Tahun 2021 penugasan tersebut selesai dan dia pindah menjadi organik Polres Blora sebagai Kanit Intel di Polres Blora. Selanjutnya diangkat sebagai Wakapolsek Blora,” ujarnya.
Penyamaran Umbaran hanya satu dari mungkin ribuan contoh intel di Indonesia. Sebenarnya ini bukan kasus intel gagal, justru Umbaran terhitung berhasil, karena orang lain, termasuk rekan-rekan wartawan di Blora dan Jawa Tengah, baru tahu setelah Umbaran mentas dari tugasnya.
Penyamaran polisi lain yang sukses mengecoh publik tercatat pada September 2019. Anggota satuan polisi antiteror Densus 88 mampu beradaptasi dengan dunia modern dan menemukan cara baru menyamar: pura-pura jadi pemuda indekos, yang kerja di kafe dan doyan main game hape Mobile Legends sama anak-anak tetangga.
Adalah Iron (tentu bukan nama sebenarnya dong, kan dia mata-mata), anggota Densus 88 yang ngekos di Jalan Belibis V, Semper Barat, Jakarta Utara. Ia sedang memantau terduga teroris berinisial MA (20) yang tinggal di seberang kosannya. Kemampuan Iron menyamar bisa diacungi jempol, karena sampai akhir operasi tidak ada warga yang curiga.
Warga baru tahu identitas Iron sebenarnya ketika pasukan Densus 88 menggeledah kamar terduga teroris MA, pada 23 September 2019. Dalam aksi penggeledahan, warga melihat Iron di barisan pasukan lengkap dengan seragam dan senjata apinya. Densus 88 mengirim Iron untuk memata-matai MA sebagai anak kos setelah polisi menemukan petunjuk pasca penangkapan tujuh terduga teroris di Bekasi.
Meski begitu, penyamaran aparat tidak selalu mulus. Contoh penyamaran yang rada terkompromi terjadi di Papua, tepatnya di lingkaran Organisasi Papua Merdeka (OPM). Intel itu bernama Briptu Hedar yang kala itu bertugas di kesatuan Ditreskrimsus Polda Papua.
Hedar bertugas mengorek informasi tentang OPM. Penyamarannya sebagai penjual bahan-bahan sembako membuat informasi cukup deras mengalir. Alhasil, beberapa pentolan OPM berhasil ditangkap, salah satunya Timenggur Telenggen.
Keberhasilan mendapat informasi ini tentu menjadi bahan kecurigaan anggota OPM. Komandan operasi OPM kala itu, Lekkagak Telenggen, kemudian menyelidiki anggotanya. Dari informasi dan pencocokan data, kecurigaan mengerucut pada Hedar.
Pada suatu hari di 2019, Lekkagak menjebak Hedar dengan berpura-pura membeli gula dan kopi. Hedar yang tidak tahu identitasnya sudah terbongkar berangkat bersama satu rekan polisinya. Mereka mendatangi tempat Lekkagak dengan sepeda motor.
Transaksi barang tidak di tempat biasanya, namun agak jauh dari jalanan umum. Saat Hedar berjalan menuju rumah Lekkagak, rekannya masih berada di atas sepeda motor. Beberapa detik kemudian, muncullah segerombolan anggota OPM bersenjata lengkap.
Hedar berhasil ditangkap, sementara rekannya bisa kabur. Hedar diduga disiksa di markas OPM. Saat beberapa saat kemudian Hedar berusaha kabur, dia mendapat dua tembakan di bagian kepala. Hedar meninggal.
Contoh gagal upaya penyamaran aparat adalah kedok pembeli narkoba yang dilakoni Brigadir Rizal Taufik pada 2018.
Kala itu, dia mencoba membeli sabu dari pasangan suami-istri Ahmad Sopian (33) dan Siti Aisyah (33). Perjanjian dibuat. Intel Rizal dan bandar sabu akan transaksi di sekitar perlintasan kereta di sekitar di Kampung Janis, Jalan Bandengan Selatan, Penjaringan, Jakarta Utara. Untuk berjaga-jaga, polisi lain mem-back up Rizal dari kejauhan.
Sayangnya, ada perubahan rencana. Barang tidak langsung Sopian dan Aisyah berikan. Suami-istri itu mengajak Rizal ke rumahnya. “Ternyata setelah menerima uang, [Brigadir Rizal] dibawa ke dalam rumah pelaku,” kata Kapolres Metro Jakarta Barat, Kombes Hengki Haryadi yang kala itu menjabat.
Barulah masuk ke rumah, Sopian menghantamkan balok kayu ke kepala Rizal. Hantaman berjumlah dua kali. Polisi yang mamantau Rizal dari luar rumah tidak tahu-menahu keadaan rekannya. Barulah saat Sopian dan Aisyah hendak kabur, Rizal yang kesakitan berusaha menembak para pelaku. Meski setelah itu pelaku berhasil ditangkap, namun nyawa Rizal nyaris terancam.
Dua kasus di atas contoh penyamaran yang gagal. Meski tentunya banyak penyamaran intel yang berhasil bahkan sampai bertahun-tahun. Lantaran penyamaran seringkali berada di tempat yang berbahaya, maka persiapan perlu dilakukan secara matang.
Dalam buku Kopassus untuk Indonesia karya Iwan Sentosa dan E.A. Natanegara misalnya, dikisahkan Sersan Badri yang berhasil menyusup menjadi simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Penyamaran ini dia lakukan bertahun-tahun sampai akhirnya konflik antara GAM dan pemerintahan Indonsia melunak.