Begini barangkali efek bila penegak hukum terlalu insecure. Ekspresi warga yang sebenarnya biasa saja, menurut praktisi hukum, malah direspons berlebihan. Antusiasme warga Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, menyambut Euro 2020 (tapi berlangsung pada 2021) dengan mengibarkan bendera negara timnas favorit dianggap meresahkan oleh aparat. Alhasil, Polsek Saparua melarang warga setempat mengibarkan bendera negara asing peserta turnamen sepak bola empat tahunan tersebut.
Kata Kapolsek Saparua Roni F. Manawan, larangan yang mereka buat ada dasarnya, yakni PP 40/1958 tentang Bendera Kebangsaan. Dikutip dari Berita Beta, polisi juga mengabarkan ada sanksi tiga bulan penjara bagi warga yang ngotot pawai sambil mengibarkan bendera non-merah putih.
Kenapa aparat serius sekali? Pertanyaan itu sudah dilempar sejak tiga tahun lalu. Soalnya pas Piala Dunia 2018 kemarin, larangan serupa juga terjadi di Maluku. Warga serius merayakan Piala Dunia, aparat serius melarang pengibaran bendera, karena pawai membawa bendera Belanda beberpa kali terjadi di Kota Ambon.
“Bendera negara asing tidak boleh dikibarkan, kecuali ada kunjungan negara itu dan atas izin dari kepala daerah,” kata Humas Polda Maluku saat itu.
Kebijakan macam ini bukan cuma di Maluku. Dalam gelaran Piala Dunia 2018, aparat Polres Kota Sorong, Papua Barat, sampai menurunkan bendera Jerman dan Brazil di pekarangan rumah warga. “Saya telah memerintahkan seluruh jajaran Polres Sorong Kota untuk melakukan penertiban, yakni menurunkan bendera-bendera Piala Dunia yang dikibarkan oleh masyarakat, hal ini dilakukan karena telah melanggar undang-undang,” ujar Kapolres Sorong AKBP Mario Christhy P. Siregar, dilansir Okezone. Maksudnya PP kali, Pak.
Mari tengok PP 41/1958 ini. Isinya emang menyebut bendera negara asing cuma boleh dikibarkan di tempat dan acara-acara tertentu. Tapi beda wilayah beda penerapannya. Masih di 2018, di Pasuruan, Jawa Timur, warga Desa Kampung Baru, Kecamatan Lekok, malah dengan bebas menjalankan tradisi mereka mengibarkan bendera negara yang mereka dukung saat perhelatan Piala Dunia.
“Ini sudah menjadi tradisi bertahun-tahun. Kalau mengibarkan bendera Brasil berarti pendukung fanatik Brasil,” kata Munir, warga setempat, saat diwawancarai kabarpas.com. Enggak cuma di rumah, mereka juga mengibarkan bendera negara jagoannya di perahu para nelayan dalam ukuran raksasa. Dilihat dari foto-foto media, kebiasaan ini sudah terjadi di Pasuruan sejak Piala Dunia 2010.
Pengacara publik Yosua Octavian merasa tindakan aparat ini berlebihan, mengingat perbuatan pengibaran bendera di kasus-kasus tersebut hanyalah bentuk euforia. “Apakah ada keuntungan yang didapat oleh orang tersebut dan merugikan negara? Toh tidak juga. Jadi, bisa dikatakan bahwa tindakan melarang termasuk berlebihan,” kata Koordinator Penanganan Kasus dari LBH Masyarakat tersebut kepada VICE.
“Terkait PP, perlu diingat [aturan] ini lahir di zaman awal kemerdekaan, yang mana mungkin konteks lahirnya dulu adalah ranah politis. [Aparat] jangan hanya melihat ke arah, ‘Toh ada aturannya,’” tambah Yosua. Ia khawatir kalau larangan kayak ini terus dilakukan, warga bisa takut untuk menunjukan rasa solidaritas kepada negara tertentu seperti Palestina.
Kalau Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu, selain keheranan juga mengajukan pertanyaan penting menanggapi kasus ini.
“Bendera ya bendera, kan enggak dikibarkan dalam konteks kedaulatan. Bendera kita juga sama kayak bendera Monako, cara bedainnya gimana?” kata Erasmus kepada VICE.
Erasmus bilang ia tak menemukan pasal yang dilanggar para pengibar bendera peserta Piala Eropa dalam PP 40/1958. “Polisi kita ternyata punya waktu banyak ngurusin yang beginian ya?” tutup Erasmus.