Berita  

Polisi Cekatan Urus Kasus Asusila, Pengunggah Video Seksual Bogor ke Pornhub Ditangkap

polisi-cekatan-urus-kasus-asusila,-pengunggah-video-seksual-bogor-ke-pornhub-ditangkap

Sigapnya kepolisian Indonesia memecahkan kasus video seksual layak diadu dengan aparat hukum negara mana lain. Dalam kasus terbaru, RTM (31) dan PVT (30) secara konsensual merekam adegan seksual yang mereka lakukan di sebuah hotel di Bogor untuk diunggah ke situs dewasa Pornhub. Tanpa muka, tanpa identitas.

Seminggu belakangan, video itu ternyata tersebar ke grup-grup WhatsApp. Polisi bergegas menganalisis siapa gerangan yang ada di video itu. Pada 16 Maret 2021, pasangan kekasih RTM dan PVT tersebut sudah terlacak. Dua hari kemudian, mereka berhasil dicokok dan dijadikan tersangka.


“Laporan polisi tanggal 16 Maret kemudian bahwa TKP di salah satu hotel di kabupaten Bogor, kejadian tanggal 12 Maret. Tersangka berinisial RTM usia 31 kemudian yang kedua PVT perempuan 30 tahun. Mereka adalah sepasang kekasih, jadi sudah lama berpacaran,” kata Kabid Humas Polda Jabar Erdi Chaniago, seperti dilansir Kumparan. Polisi menjerat keduanya dengan UU ITE dan UU Pornografi dengan ancaman penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda Rp6 miliar.

Erdi mengklaim penangkapan ini buah kerja patroli siber yang dilakukan Unit Siber Ditreskrimsus Polda Jabar. Dari penjelasan polisi, RTM dan PVT mengunggah video mesum rutin sejak November 2020 untuk mendapatkan keuntungan finansial. Keduanya disebut sudah memiliki 26 video di akunnya, dengan penghasilan sekitar Rp19,5 juta. 

Vonis tersangka yang disematkan pada RTM dan PVT bikin dua pertanyaan penting. Pertama, apakah membuat video seksual yang diperuntukkan kepentingan ekonomi, meski dilakukan tanpa paksaan, bisa diproses hukum tanpa laporan? Kedua, kenapa polisi kesannya gesit banget mengurus kasus di ranah pornografi, seperti yang dialami pesohor GA?

“[Kasus Bogor] bisa [dijerat UU Pornografi]. Ini memang delik biasa, bukan delik aduan. Jadi, bisa siapapun yang lapor,” ujar Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH-J) Shaleh Al Ghiffari kepada VICE. Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi menyebut konten seksual yang mengandung nilai ekonomi juga tegas dinyatakan melanggar hukum.

“Tapi, yang dimaksud ‘membuat video porno’ tidak termasuk untuk kepentingan sendiri yang hanya untuk diri sendiri. Ini pidananya enggak ada,” imbuh Ghiffari.

Terkait kepentingan ekonomi yang pembuat video mesum itu, Ghiffari menilai penangkapan RTM dan PVT berpotensi tak sesuai penghormatan integritas seseorang terhadap tubuhnya sendiri sesuai standar hak asasi manusia internasional. Menangkapi pembuat video porno swadaya, menurut pengacara publik ini, sebenarnya pemborosan anggaran publik.

“Penyebaran konten intim harusnya hanya dilarang apabila tidak ada persetujuan, melibatkan anak, dan lain-lain. Ngomongin konten terlarang di internet, harusnya ada mekanisme tepat guna untuk menyaring [konten yang dilarang], bukan dengan hukum pidana menindak semua yang bertentangan. Itu berlebihan dan pemborosan anggaran publik,” imbuh pengacara akrab disapa Gifar ini.

Saat ditanya mengapa polisi terkesan cekatan ngurusin moral, Gifar menolak berspekulasi. “Itu sebaiknya ditanyakan ke pihak kepolisian. Tapi, memang concern kita bahwa UU Pornografi dan UU ITE bermasalah sebab tidak memenuhi prinsip pasal pemidanaan yang harus lex scripta (tertulis), lex certa (harus jelas rumusannya), dan lex stricta (tegas tanpa ada analogi),” tandasnya.

Koordinator Penanganan Kasus LBH Masyarakat Yosua Octavian turut menilai alasan aparat cepat merespons kasus pidana terkait video mesum lebih pas ditanyakan ke kepolisian langsung. Namun, ia berasumsi bahwa tekanan publik punya peran. “Keresahan [publik]. Video itu kan tersebar ramai di media sosial, di grup whatsapp, seperti kasus artis GA,” kata Yosua kepada VICE.

Soal penanganan kasus, Yosua menggarisbawahi bahwa polisi semestinya menyelidiki kasus lebih mendalam. “Apakah salah satu dari tersangka secara nyata paham tentang tujuan pembuatan? Adakah ancaman? Jangan ujug-ujug tahu identitas pelaku, ditangkap, dan ditetapkan tersangka. Perlu proses penyelidikan yang lebih serius,” tambah Yosua. 

Apalagi terkait dugaan ekonomi, Yosua menganggap proses kasus ini harus dilakukan lebih hati-hati, “Saya percaya orang melakukan tindak pidana karena ekonomi harus menjadi ranah serius, bukan menggunakan pendekatan selayaknya pelaku kriminal. Dalam pemberitaan, mayoritas hanya memberitakan tempat penangkapan, status hubungan, barang bukti, tujuan pembuatan, udah. Di balik itu semua tak pernah tersampaikan [akar masalahnya],” tutup Yosua.