Pengguna media sosial ramai menyorot putusan hukum terhadap selebgram Rachel Vennya kabur dari kewajiban karantina Covid-19 sepulang dari liburan di Amerika Serikat. Kasus itu viral sejak September 2021, dan akhirnya sudah berujung pada putusan pengadilan negeri Tangerang, Banten, yang pada 10 Desember lalu menghukum sang influencer dengan percobaan 4 bulan. Artinya meski terbukti bersalah, Rachel Vennya tidak perlu menjalani hukuman penjara selama berkelakuan baik dalam periode observasi selama 8 bulan mendatang.
Vonis tersebut memicu kritikan tajam dan polemik di medsos, karena Rachel mengakui dia kabur dari kewajiban karantina dengan cara menyuap seorang staf Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bernama Ovelia Pratiwi. Suap senilai Rp40 juta itu diberikan Rachel, sehingga Ovelia dapat mempengaruhi petugas di Bandara Internasional Soekarno-Hatta melepaskan sang influencer, kekasihnya, dan manajernya dari kewajiban karantina terlebih dulu di Wisma Atlet.
Polisi, ketika dikonfirmasi oleh media, mengklaim pasal suap tidak bisa diterapkan pada Rachel karena dia hanya warga biasa, bukan Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut polisi, hanya Ovelia yang bisa dijerat Pasal 55 KUHP tentang penyalahgunaan jabatan, sebab menjanjikan pelanggaran aturan dengan imbalan uang.
“Dia [Rachel Vennya] bukan apa-apa,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat, seperti dilansir Bisnis.com. Aparat akhirnya hanya menjerat selebgram 26 tahun itu dengan pelanggaran Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, serta Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan.
Polisi menegaskan bahwa berkas acara pemeriksaan sudah memuat pengakuan soal suap tersebut, sehingga tidak benar bila aparat dituding mengabaikan adanya aspek pemberian imbalan dalam upaya sang selebgram kabur dari karantina. “Jadi kalau dibilang polisi enggak tahu [terjadi suap], kan ada di berkas. Jadi pasti tahu, karena itu [Ovelia turut] jadi tersangka,” tandas Ade Hidayat.
Merujuk fakta persidangan yang dilansir Detik.com, dana Rp40 juta itu dipakai Ovelia untuk melibatkan beberapa petugas lapangan di bandara memuluskan rencana Rachel kabur. Termasuk di antaranya adalah personel tentara yang mengubah stempel status karantina rombongan Rachel. Ovelia saat kejadian diberbantukan oleh DPR ke bandara Soekarno-Hatta untuk turut mengelola proses pemantauan karantina.
Lantas, apakah memang berarti hukum Indonesia terbatas mendefinisikan suap hanya untuk ASN saja?
Jika mengacu pada kajian yang diterbitkan di situs Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia memang belum mengkategorikan suap sektor swasta, termasuk yang dilakukan antar warga sipil biasa, sebagai suatu tindak pidana korupsi. Definisi suap, merujuk Pasal 5 UU 20/2001 atau Pasal 2 dan Pasal 3 UU 11/1980, berarti “membujuk orang yang diberi agar berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.”
Perlu dicatat, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana memberi ruang bagi pemberi suap untuk dijerat, bila penerima imbalan tersebut adalah orang yang tidak termasuk definisi penyelenggara negara sebagaimana dijabarkan Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999. Pasal lain yang bisa menjerat pemberi suap adalah Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 20 tahun 2001.
Advokat Mahmud Irsad Lubis, saat diwawancarai media, menyatakan pada setiap tindakan suap yang berujung pada penyalahgunaan pengaruh oleh mereka yang terlibat sebagai penyelenggara negara, maka penegak hukum wajib turut menjerat pihak yang memberikan suap.
“Pasal 55 ayat (1) ke-1 [KUHP] bertujuan untuk menjerat orang-orang yang terlibat di dalam tindak pidana korupsi itu, dalam hal ini tindak pidana suap,” ujarnya. “Tentunya pemberi dan penerima suap itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Tidak mungkin ada penerima suap tanpa pemberi suap. Jadi keduanya harus diberikan sanksi sesuai hukum yang berlaku.”
Ovelia sendiri kini telah dijerat jaksa dengan Pasal 55 KUHP tentang penyalahgunaan jabatan. Proses sidangnya masih berlangsung dan belum mencapai vonis. Setjen DPR RI mengakui Ovelia adalah pegawai kontrak di lembaganya. Akibat kasus suap untuk meloloskan Rachel Vennya dari karantina, Ovelia kini dinonaktifkan.
“Yang bersangkutan adalah pegawai kontrak untuk diperbantukan di protokol Bandara. Dalam catatan kami, pada hari kejadian yang bersangkutan pada posisi tidak dalam jadwal bertugas,” kata Sekjen DPR Indra Iskandar, seperti dilansir Liputan6.com. “Segala tindakannya di luar tanggung jawab kedinasan, karena itu pribadi.”