Di Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, seorang mahasiswi rantau berusia 19 tahun baru saja menjadi korban upaya pemerkosaan oleh orang asing di kediamannya sendiri, Minggu (17/10) lalu. Keesokan harinya, korban meminta pendampingan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh untuk lapor polisi. Sesampai di kantor Polresta Aceh Besar, aparat di pintu masuk malah menolak melayani laporan dengan alasan yang bikin marah: korban belum divaksinasi.
Bayangin, ada perempuan baru mengalami kejadian traumatis di wilayah baru, memberanikan diri lapor polisi secara cepat dengan harapan pelaku belum kabur terlalu jauh, eh laporannya justru diabaikan institusi yang harusnya melindungi. Suram, suram.
Selasa (19/10) hari ini, kuasa hukum korban dari LBH Banda Aceh Muhammad Qodrat menceritakan pengalaman buruk itu kepada media. Setelah mendapati korban dilarang masuk, salah satu dari rombongan pelapor yang maju karena sudah divaksinasi. Ia diarahkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Namun, petugas di SPKT juga menolak laporan dengan alasan sama.
“Jadi, polisi itu bilang, kalau tidak ada sertifikat vaksin tidak boleh masuk. Setelah di SPKT hal yang sama terulang, yaitu jika belum ada sertifikat vaksin tidak bisa membuat laporan,” kata Qodrat, Selasa (19/10), dilansir CNN Indonesia. Padahal Qodrat sudah menyampaikan ke pihak Polresta bahwa korban memiliki riwayat penyakit yang membuatnya tak boleh menerima vaksin. Namun, surat keterangan yang menjelaskan kondisi medis tersebut berada di kampung halaman korban di luar Aceh.
“Korban sudah bilang, dia tidak bisa divaksin, kemudian petugas di sana mengatakan harus ada surat keterangan, tapi di SKPT tetap menolak [membuat laporan],” tambah Qodrat. Respons absurd kepolisian berlanjut kala mereka mencoba melaporkan kasus ke Polda Aceh. Di sana, polisi menerima korban meski belum divaksinasi, namun menolak menerbitkan surat tanda bukti lapor karena pelaku adalah orang asing yang tidak diketahui. Berbeda alasan, sama-sama absurd.
Dari kesaksian korban, kekerasan seksual itu terjadi sekitar jam empat sore. Korban membuka pintu saat seorang pria asing tiba-tiba datang dan mengetuk pintu rumah korban di Kecamatan Darul Imarah. Setelah dibukakan, pelaku langsung membekap korban dan mencoba memerkosanya. Beruntung, korban yang berteriak dan melawan membuat tetangga dan ibu korban segera mengecek sumber suara, lantas memergoki aksi kriminal tersebut. Pelaku berhasil melarikan diri.
Menanggapi cerita korban, Kabag Ops Polresta Banda Aceh AKP Wahyudi membantah cerita itu. Doi bilang kejadian pelaporan Senin (18/10) kemarin bukanlah penolakan.
“Setelah ditanyakan petugas ternyata itu tidak ada [sertifikat vaksin] dan langsung serta merta [berpikir], ‘Oh, berarti polisi enggak mau.’ Jadi, berasumsinya macam-macam dan langsung balik kanan. Sebenarnya solusinya masih ada, tapi langsung balik kanan meninggalkan Polresta,” kata Wahyudi kepada Kumparan.
Wahyudi mengklaim, polisi bukannya tidak menerima laporan warga yang belum divaksinasi, tapi kalau ada yang belum, nantinya petugas akan mengarahkan pelapor untuk mengikuti vaksinasi terlebih dahulu.
“Jika ada warga yang mau melapor ke polisi tetapi belum memiliki sertifikat vaksin, dia tetap bisa mengajukan laporan asalkan vaksin dulu. Nanti kita arahkan, sekira laporannya memang harus sesegera mungkin [harus diproses] polisi juga ada aturan tersendiri nanti seperti apa. Kami ada SOP,” tambah Wahyudi.
Doi juga bilang polisi pun ramah kepada warga yang belum divaksinasi. “Kalau memang ada warga yang tidak mau divaksin, nanti tetap kita arahkan ke penyidik,” tambahnya.
Persoalan vaksinasi yang bikin laporan warga tak segera diproses polisi pernah terjadi di Kota Surabaya, Jawa Timur. Siti, warga Siwalankerto, tertimpa musibah ketika burung murainya dicuri pada 18 Juli silam. Keesokan harinya, ia bermaksud melaporkan insiden ke Polsek Wonocolo dengan melampirkan rekaman CCTV sebagai bukti. Wajah pelaku dan nomor plat kendaraan pelaku sudah terekam. Seharusnya ini jadi kasus termudah dalam dunia kepolisian modern sebab semua sudah terang benderang, tinggal melakukan pengejaran. Namun, aparat malah kufur nikmat dan menyuruh Siti pulang karena doi belum menerima vaksin dosis kedua.
“Belum ditanya laporan apa, saya ditanya [apakah] sudah vaksin. [Saya bilang] sudah yang pertama, dan petugasnya bilang ‘ibu pulang dulu, nanti sesudah vaksin kedua buat laporannya,” kata Siti, dilansir dari Kabar Jawa Timur.
“Kejadian ini sangat meresahkan di kampung kami, mau laporan malah ditolak dengan alasan harus vaksin dulu kedua. Harusnya kan disarankan, [misalnya] ‘karena ibu habis sakit, silakan keluarga yang lain yang laporan’ kan enak, bukannya ditolak,” tuturnya.
Pihak Polsek Wonocolo membantah keterangan itu. Kapolsek Wonocolo Masdawati Saragih mengatakan pihaknya akan menerima laporan jika pelapor sudah divaksinasi satu kali. “Harus vaksin, yang penting sudah vaksin satu. Monggo, silakan hadir buat laporan,” kata Masdawati.
Mengutip situs Hukum Online, polisi diwajibkan melakukan kajian awal untuk menilai layak atau tidaknya sebuah kasus untuk dibuatkan laporan polisi. Artinya, kewajiban yang tertuang pada Perkapolri No. 6/2019 tersebut membuat penolakan langsung tidak diperbolehkan. Meski situasi pandemi, seperti yang Siti bilang, ada banyak cara agar laporan tetap bisa diproses tanpa harus bertatap muka langsung antara polisi dan korban.
Bahkan, Perkapolri No. 14/2011 Pasal 15 juga menyatakan setiap anggota Polri dilarang menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan dari masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi, dan kewenangannya. Penolakan akan berujung pelanggaran kode etik dengan imbas penegakan kepada aparat yang bertugas.