Berita  

Polemik UU Narkotika: Lebih Banyak Pengguna Dibui Dibanding Rehab Seperti Pesohor

polemik-uu-narkotika:-lebih-banyak-pengguna-dibui-dibanding-rehab-seperti-pesohor

Pesohor Nia Ramadhani dan suaminya, Ardi Bakrie (anggota keluarga konglomerat dari Grup Bakrie), diputuskan boleh menjalani rehabilitasi oleh penyidik kepolisian dalam kasus kepemilikan sabu 0,78 gram. Keduanya terbukti positif mengonsumsi sabu-sabu. Pemulihan dua pesohor itu sudah dilakukan sejak Minggu (10/7) lalu, dengan mekanisme rawat inap tempat yang dirahasiakan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Nia dan Ardie jadi perbincangan publik, bahkan sempat jadi trending topic di Twitter saat tertangkap pada Rabu (7/7) pekan lalu. Pasangan ini, khususnya Nia, punya tempat tersendiri di hati netizen Indonesia berkat video viral tak bisa kupas salak yang membuatnya jadi bahan komedi seputar perilaku keluarga tajir di negara ini.


Meski diputus bisa menjalani rehab oleh penyidik, Kasat Narkoba Polres Jakarta Pusat Indraweni Panjiyoga mengumumkan pihaknya tetap melanjutkan proses hukum. “Pemberkasan sedang diproses, nanti berkas dikirim ke kejaksaan,” ujar Indraweni kepada awak media. Pasal 127 UU Narkotika jadi beleid yang menjerat Nia dan Ardi.

Mundur sedikit ke akhir Juni 2021, musisi Erdian Aji Prihartanto (atau lebih dikenal dengan julukan Anji “Duniamanji”) jadi pesohor lain ditangkap karena kepemilikan narkotika. Di rumahnya kawasan Cibubur, Jakarta Timur, aparat menemukan delapan linting ganja yang disembunyikan dalam pengeras suara. Seperti di kasus Nia dan suaminya, Badan Narkotika Nasional (BNN) memberi rekomendasi agar Anji direhab. Dan sama seperti Nia pula, Kasat Narkoba Polres Metro Jakarta Barat Ronaldo Maradona Siregar mengumumkan rehabilitasi tidak menutup jalannya proses hukum karena Anji dijerat Pasal 111 UU Narkotika.

Di mata praktisi hukum dan pegiat hak asasi manusia, dua diskresi penegak hukum pada nama-nama pesohor itu tidak mencerminkan kebijakan mainstream seputar kasus narkoba di Tanah Air. Kesempatan rehabilitasi ternyata tidak dialami oleh mayoritas pengguna narkoba di negara ini. Pangkal polemik tertuju pada UU No. 35/2009 tentang Narkotika. Mari kita coba pahami bersama-sama problem aturan itu.

Beleid tersebut membedakan ancaman pidana kasus narkoba terhadap dua jenis pelaku: “pengguna/pecandu” dengan “bandar/kurir”. Hukuman pengguna diatur Pasal 127, yang menjerat Nia-Ardi, dengan vonis minimal rehabilitasi saja (rehab masih dianggap sebagai “hukuman” dalam tafsir aturan ini), disertai ancaman lain maksimal empat tahun penjara. Sementara, pasal pengedar atau bandar diatur pasal 111-114 dengan hukuman minimal empat tahun penjara dan maksimal hukuman mati.

Sampai sini, Anda pasti heran mengapa Anji yang mengaku hanya sebagai pengguna, karena membeli ganja lewat temannya yang memesan dari situs luar negeri, justru kena pasal yang diperuntukkan bagi pengedar? Ini lah titik kontroversi pertama. Menurut situs Hukum Online, frasa “memiliki, menguasai, menyimpan, atau menyediakan narkotika” pada Pasal 111 sangat multitafsir. Sebab setiap pengguna otomatis memiliki, menguasai, menyimpan, atau menyediakan narkoba. Alhasil mereka tidak bisa begitu saja lolos dari jeratan pasal 111 yang semestinya dikenakan hanya pada pengedar.

Problem kedua, pasal yang ambigu ini tak kunjung direvisi meski sudah ada masukan dari berbagai lembaga serta praktisi hukum. “Masalah yang utama adalah kebijakan yang masih menerapkan penghukuman sebagai solusi penanganan narkotika. LBH Masyarakat mendorong dekriminalisasi untuk penggunaan narkotika secara pribadi, tapi di aturan yang ada belum diakomodasi,” kata Direktur LBH Masyarakat Muhammad Afif Qoyim saat dihubungi VICE.

“Makanya, penting dimasukkan dalam revisi UU Narkotika, walaupun akan sangat sulit karena responsnya diselingi dengan moral dan agama. Setiap pembahasan soal dekriminalisasi akan mengusik moral dan pandangan agama yang berkukuh mendorong pengguna narkoba [agar] dihukum.”

Vonis Bagi Pengguna Narkoba Sangat Tergantung Sikap Hakim

Nasib Nia-Ardi, Anji, dan semua pengguna narkoba yang menjalani proses hukum akan sangat ditentukan hakim. Sosok hakim lah yang memutuskan apakah kasus tersebut berakhir dengan rehabilitasi, atau malah berujung bui. Berkaca dari data, kecenderungan laten hakim memberi putusan penjara bagi pengguna narkoba sudah mengakar di Tanah Air.

Sepanjang 2012, Institute for Criminal Justice System (ICJR) mencatat hanya 10 persen putusan hakim Indonesia yang menetapkan rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Pada 2015, ICJR bersama Rumah Cemara dan Empowerment and Justice Action merilis penelitian berjudul “Meninjau Rehabilitasi Pengguna Narkotika dalam Praktik Peradilan” dengan studi kasus Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Hasilnya, sepanjang tahun tersebut PN Surabaya tercatat hanya memberi putusan rehabilitasi pada 6 persen terpidana seluruh kasus pengguna narkoba. Itu pun mayoritas untuk terpidana anak. Pengguna narkoba berusia dewasa hampir pasti dijebloskan ke bui.

“Penempatan korban penyalahguna narkotika jauh dari pelaksanaannya, bahkan bisa dianggap gagal dalam beberapa aspek. Kegagalan tersebut sudah terlihat dari mulai proses penyidikan sampai dengan putusan oleh hakim, di mana semangat memenjarakan pelaku penyalaguna sungguh terlihat,” demikian keterangan tertulis ICJR di situs resminya.

Koalisi Pemantau Keadilan yang terdiri dari LBH Masyarakat, LBH Jakarta, Indonesia Corruption Watch, KontraS, PSHK, PBHI, dan YLBHI, mencatat hingga Desember 2020, setidaknya ada 35.003 orang kehilangan hak rehabilitasi karena dipenjara sebagai pengguna narkotika.

Suramnya: kalau pun pengguna lolos dari penjara dan masuk rehab, masalah lain sudah menanti. Akses pemulihan yang menjadi hak mereka, dari temuan lembaga swadaya, justru mengandung peluang kongkalikong antara penegak hukum dengan lembaga rehabilitasi tertentu untuk memeras pengguna narkotika dan keluarganya.

“Akses terhadap fasilitas rehabilitasi seringkali hanya ditentukan berdasarkan kemampuan finansial dan sangat diskriminatif terhadap golongan ekonomi lemah. Pilihan yang tersisa hanya dua: mengeluarkan biaya untuk mendapatkan rehabilitasi, atau masuk penjara,” demikian sikap koalisi LSM dalam rilis resmi, pada 4 Februari 2021. 

Aturan Rehabilitasi Tak Konsisten

Lalu, apa kriteria yang mesti dipenuhi pecandu atau pengguna narkoba agar tidak dipenjara dan bisa direhabilitasi? Berkaca dari Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4/2010, hakim punya beberapa klasifikasi. Pertama, tertangkap tangan oleh aparat. Kedua, ditemukan barang bukti untuk pemakaian satu hari dari tangan pengguna.

Pemakaian satu hari diukur berbeda tiap narkotika, misalnya untuk sabu 1 gram, dan untuk ganja 5 gram. Ketiga, hasil positif sebagai pengguna yang dibuktikan surat uji laboratorium berdasarkan permintaan penyidik. Keempat, surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater yang ditunjuk hakim. Dan kelima, tidak terbukti terlibat dalam peredaran.

Lantas, apakah setiap kasus pengguna narkoba punya perlakuan sama seperti Nia dan Anji yang mendapatkan akses rehabilitasi sembari proses hukum yang terus berjalan?

“Tidak semua kasus [pengguna] langsung mendapat rehab. Dan kalaupun dapat rehabilitasi di tahap penyidikan, bisa jadi tidak dapat di tahap penuntutan dan tahap vonis,” kata Afif kepada VICE. “LBHM pernah mendampingi pengguna. Ada yang divonis penjara pakai Pasal 127, ada juga yang vonis rehab, ada juga yang divonis bebas karena klien kita pasien IPWL [institusi penerima wajib lapor] yang tidak dapat dituntut pidana.”



Vonis berbeda-beda ini disebut Afif ya karena regulasi yang tidak solid dan sering salah kaprah ditafsirkan. Begitu banyak pengguna narkoba yang dipenjara turut menimbulkan masalah turunan. Rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) jadi overcrowding, kepenuhan.

Merujuk data per April 2020, penghuni rutan dan lapas Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal, daya tampung maksimal lapas di seluruh negara ini hanya untuk 132.335 orang saja. Dari semua warga binaan, sebanyak 55 persen narapidana terjerat tindak pidana narkotika. Saat dibedah lagi dari angka 55 persen itu, 38.995 WBP adalah pengguna, bukan pengedar apalagi bandar. 

Secercah harapan untuk mengubah sistem ini perlahan muncul dari BNN. Desakan merevisi UU Narkotika digaungkan lembaga tersebut mulai Januari 2020. Mereka mengaku sedang mengajukan perbaikan beleid agar pengguna narkoba tidak melalui proses pengadilan dan langsung direhabilitasi,

“Makanya, masih kita ajukan revisi UU Narkotika. Ke depan, akan ada tim assessment yang terdiri dari penyidik Polri, kejaksaan, BNN, kalau dia hanya pengguna maka tidak lagi kita ajukan pengadilan, tapi langsung rehab,” ujar Direktur TIndak Pidana Pencucian Uang Deputi Bidang Pemberantasan BNN Brigjen Pol Bahagia Dachi dilansir Suara Surabaya

Namun, satu setengah tahun sudah berjalan dari pengajuan wacana tersebut oleh BNN, proses hukum pengguna narkotika masih jalan di tempat. Penjara di negara ini masih akan overkapasitas karena mayoritas pengguna tak diberi kesempatan rehabilitasi.