Modifikasi kebijakan pemerintah untuk menangani pandemi kembali menuai kritik. Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diperpanjang mulai 26 Juli sampai 2 Agustus, kali ini disertai embel-embel “dengan penyesuaian”.
Dalam versi sebelumnya, restoran, kafe maupun warung jenis apa pun hanya boleh melayani delivery dan takeaway. Pelonggaran dilakukan sejak awal pekan ini dengan mengizinkan konsumen dine-in atau makan di tempat. Tetapi, untuk mengesankan masih ada unsur pengetatan, mereka dibatasi oleh durasi selama 20 menit.
Poin ini sempat disinggung sedikit oleh Jokowi serta Menteri Koodinator Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan saat masing-masing mengadakan jumpa pers pada Minggu malam (25/7). Giliran Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskannya pada keesokan hari. Alasan pemerintah, kata mantan Kapolri tersebut, adalah untuk mencegah penularan virus.
“Saya kira 20 menit cukup untuk makan di tempat, dan itu pun sudah ada dalam PPKM Instruksi Mendagri: tidak membuat aksi atau kegiatan yang membuat terjadinya droplet bertebaran seperti ngobrol keras, tertawa keras,” tuturnya lewat konferensi pers. “Mungkin kedengarannya lucu, tapi di luar negeri, di beberapa negara lain, sudah lama melakukan itu.”
Memang itu bukan aturan baru selama pandemi. Negara bagian Massachusetts di Amerika Serikat memberlakukan batasan makan di tempat maksimal 90 menit pada Mei lalu. Aturan ini diikuti dengan kewajiban membuat jarak 1,8 meter antara satu meja dengan lainnya, kecuali ada alat pelindung seperti plexiglass.
Padahal, berbagai pakar kesehatan dunia sudah berkali-kali mengingatkan bahwa penularan virus bisa terjadi jauh lebih cepat. “Jangankan 20 menit, sekarang saja satu menit sudah cukup untuk menularkan secara dekat,” kata Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University.
Angela Rasmussen, virologis di Columbia University Mailman School of Public Health, menggarisbawahi risikonya lebih tinggi ketika interaksi terjadi dengan orang yang sudah tertular.
“Jika Anda berada dalam kontak sangat dekat dengan seseorang yang mengeluarkan banyak virus, dan droplet jatuh di tangan Anda lalu Anda mengusap hidung, itu [penularan] bisa terjadi kurang dari 15 menit,” kata dia.
Selain dari sisi kesehatan, aturan itu menimbulkan tanda tanya lain kala Tito menyatakan berharap ada pelibatan aparat keamanan untuk memastikan penjual makan dan pelanggan patuh.
Dia berujar: “Eksekusinya tentu kita sangat berharap pada para penegak aturan tersebut, mulai dari Pemda, Satpol PP, kemudian didukung oleh rekan-rekan Polri dan TNI serta pelaku usahanya sendiri dan juga sekaligus pada masyarakat.”
Menurut Tito, metode koersif bisa saja diambil demi tegaknya aturan ini. “Kita harap juga ada pengawas dari Satpol PP, Polri, TNI, untuk memastikan aturan ini bisa tegak. Mulai dari yang persuasif, pencegahan, sosialisasi sampai ke langkah-langkah koersif tentunya dengan cara yang santun dan tidak menggunakan kekuatan yang berlebihan,” lanjutnya.
Murni, seorang pemilik warteg di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mengaku sejauh ini belum ada petugas yang datang dan mengawasi. Dia enggan menanggapi pernyataan Mendagri dan lebih bersikap pasrah selama diizinkan untuk tetap mencari nafkah. “Yang penting ada pemasukan yang cukup,” tuturnya.
Polisi sendiri menilai aturan ini tidak akan terlaksana penuh sebab aparat ditugaskan tidak hanya mengawasi orang makan. “Kita patroli, woro-woro kalau kamu bilang mengawasi, warungnya ada 1.000, terus TNI-Polri nungguin 1.000 orang makan, satu dua menit, lima menit, abis semua polisi lama-lama,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus.
Komentar itu sebenarnya menegaskan betapa luasnya pelibatan aparat keamanan dalam penanganan pandemi di Indonesia. Misalnya ketika PPKM Darurat yang ditetapkan pada awal Juli 2021. Polres Metro Tangerang Kota, Banten, membawa tujuh pedagang kaki lima (PKL) ke kantor dan menyita perlengkapan dagang mereka karena melanggar jam operasional.
Seorang pedagang kopi di Tasikmalaya, Jawa Barat, bernama Asep Lutfi bahkan dikurung di penjara lantaran melayani makan di tempat. Perlakuan yang diterimanya juga tidak wajar sebab polisi sampai mencukur gundul kepalanya. Ini biasanya dilakukan kepada tahanan yang melakukan perbuatan kriminal.
Aksi kekerasan juga dilakukan oleh Satpol PP selama PPKM Darurat. Salah satunya terjadi di Gowa, Sulawesi Selatan. Seorang anggota menampar pasangan suami-istri waktu keduanya melakukan jualan online secara live di media sosial dari kafe mereka.
Menurut Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), pemerintah keliru karena lebih mengedepankan pendekatan keamanan dibandingkan kesehatan untuk mengurus pandemi.
Setiap aturan yang dikeluarkan kemudian ditindaklanjuti dengan keterlibatan aparat berseragam yang tak jarang bersikap arogan dan sewenang-wenang kepada masyarakat. Salah satu yang dicontohkan adalah penyemprotan air memakai water canon ke warung di Jepara, Jawa Tengah, oleh petugas gabungan yang terdiri dari TNI, Polri dan Satpol PP.
“Dari upaya yang dilakukan oleh aparat keamanan itu mayoritas penindakan ditujukan kepada masyarakat menengah ke bawah yang sebetulnya mereka mencari sumber-sumber penghidupannya,” kata Kepala Divisi Hukum KontraS Andi Rizaldi.
Dia berpendapat pelanggaran-pelanggaran PPKM Darurat itu terpaksa dilakukan sebab masyarakat terdesak oleh kondisi ekonomi. Berbagai pelarangan tidak dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan dasar oleh pemerintah sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka.
“Kalau kita melihat lebih jauh sebetulnya masyarakat itu terpaksa untuk melanggar ketentuan PPKM tentu saja karena imbas dari keengganan pemerintah menjamin kebutuhan dasar warga negara,” tegas Andi.
Dia mengkritik keputusan pemerintah yang menolak memakai Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan. Padahal, di dalamnya disebutkan salah satu konsekuensi penerapan pembatasan aktivitas perekonomian demi menangani krisis kesehatan adalah mencukupi kebutuhan hidup rakyat.
Dengan jumlah kematian dan tingkat positivity rate yang masih sangat mengkhawatirkan, KontraS mempertanyakan efektivitas penggunaan instrumen keamanan.
Apalagi tugas-tugas mereka di lapangan berbeda dengan fungsi sebenarnya. KontraS juga meminta agar pemerintah memastikan pemberian sanksi memakai prinsip hak asasi manusia. Staf peneliti KontraS Rozy melihat polisi bisa saja diberi kewenangan membantu sosialisasi aturan PPKM, tetapi tetap dalam koridor yang bertanggung jawab.
“Jangan sampai sosialisasi belum sampai ke masyarakat, tetapi mereka direpresi duluan,” tegasnya.