Keributan terbaru di internet dipicu musibah yang menimpa Murtede alias Amaq Sinta (34), pria di Lombok Tengah yang jadi tersangka pembunuhan gara-gara menewaskan dua dari empat begal yang hendak merampas motornya. Kejadian pada 10 April itu membuat publik berdebat soal apa arti “membela diri” di mata hukum.
Kasus itu sudah selesai. Tak sampai seminggu kemudian, polisi NTB menyadari menjadikan Amaq Sinta tersangka adalah aksi tak populis. Pria itu akhirnya dibebaskan, 16 April lalu. Tapi Polda Lampung membuat isu ini tetap jadi obrolan. Caranya, dengan mengumumkan bahwa di yurisdiksi Polda Lampung, warga yang melawan begal jangankan dikriminalisasi, malah dikasih penghargaan kok.
Pernyataan itu disampaikan Kapolda Lampung Hendro Sugiatno, Sabtu lalu (16/4). Mungkin emang porsinya buat Polda Lampung angkat bicara soal begal, mengingat kejahatan ini emang identik dengan wilayah ini. Polda Lampung memastikan hak sipil untuk melawan kala dibegal akan senantiasa dilindungi kepolisian.
“Saya akan beri penghargaan warga yang dapat melumpuhkan begal. Tidak ada ruang bagi pelaku kejahatan khususnya C3 di wilayah hukum Polda Lampung ini. Sampai lubang semut pun pasti akan kami kejar,” sebut Hendro puitis dalam keterangan tertulisnya, dilansir Detik.
“Oleh karena itu, warga juga jangan takut melawan begal yang membahayakan dirinya. Polisi tak akan memprosesnya, bahkan diberi penghargaan [bagi] yang bisa melumpuhkan begal,” tambahnya.
C3 adalah singkatan dari aksi kriminal pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian dengan kekerasan (curas), dan pencurian kendaraan bermotor (curanmor). Hendro juga bilang hak melindungi diri diatur jelas kok dalam KUHP Pasal 49.
Pemberian penghargaan untuk memotivasi masyarakat sipil membela diri dari kriminalitas ini sempat disinggung pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho kala merespons kasus di Lombok Tengah. Menurutnya, Amaq lebih pantas dikasih penghargaan daripada dijerat hukum.
“Dalam barang bukti dan TKP ini harus dilihat apakah ini dalam keadaan suatu kejahatan dengan tidak keseimbangan, apakah ada sebab-sebab terjadinya kejahatan. Dalam hal ini, akan dilihat kalau perbuatan itu ada keadaan terpaksa, sesuai dengan Pasal 49 ayat 2 KUHP, orang yang bersangkutan harus dibebaskan,” ujar Hibnu kepada Merdeka.
“Kalau ada begal, lawan, karena itu bagian mempertahankan hak diri, hak atas kesopanan, dan hak untuk hidup. Kita jangan membiarkan orang melakukan kejahatan yang akan mengganggu ketenteraman,” ujarnya.
Balik ke masalah penghargaan. Satu-satunya pertanyaan yang belum terjawab adalah apa sih bentuk penghargaan yang akan diberi Polda Lampung kepada sipil yang melumpuhkan begal? Sayang, kalau melihat sejarah, penghargaan dari polisi lumayan bikin lesu.
Gini deh contohnya. Pada 2017 Kapolda Metro Jaya Idham Azis pernah tuh memberi penghargaan kepada dua warga sipil bernama Ahmad Farid dan Deni Riono karena menggagalkan pencurian di Jakarta Timur. Kalau dari foto yang beredar, tampak hadiahnya berupa sertifikat.
Penghargaan berupa sertifikat juga didapat Andi Suhendi, pengayuh becak di Tangerang. Pada 2015 silam, Andi menyelamatkan seorang nenek yang sedang dirampok dua begal di kawasan Karawaci. Tas dompet yang sudah direbut begal berhasil direbut kembali oleh Andi setelah ia menghadang motor pelaku dan menggagalkan aksi kriminal tersebut.
Harapan kami, Polda Lampung tidak sekadar memberikan sertifikat sebagai penghargaan atas keberanian masyarakat sipil melawan begal. Sebab mau seharum apa pun isi tulisan sebuah sertifikat, fungsinya paling jadi pajangan.