Seolah habis dapat titah raja, para pemangku kebijakan langsung bergerak menindaklanjuti pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Yang Mulia Luhut Binsar Panjaitan untuk bikin program Work from Bali bagi para ASN di tujuh Kementerian. Lord Luhut berharap kedatangan ribuan ASN bisa bantu memulihkan ekonomi di Bali yang bergantung pada pariwisata. Komitmen ini disampaikan Lord Luhut pada Selasa (18/5) lalu di Bali.
Ketujuh instansi yang mendapat kehormatan dipilih Luhut adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Investasi.
Sudah bekerja remote, dibiayai negara pula. ASN semakin menahbiskan diri sebagai profesi idaman calon mertua.
Deputi Bidang Koordinasi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenko Marves Odo R.M. Manuhutu mengatakan program ini dimaksudkan untuk meningkatkan rasa percaya wisatawan domestik. “Peningkatan rasa percaya publik domestik ini diharapkan dapat menciptakan dampak berganda [multiplier effect] yang membantu memulihkan perekonomian lokal. Setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk perjalanan dinas ke daerah, termasuk Bali, akan memberikan dampak berganda langsung, tidak langsung, maupun induksi bagi perekonomian lokal,” ujar Odo disadur dari Kompas.
Dalam konferensi pers penjelasan Program Work From Bali, Sabtu (22/5), Kepala Biro Komunikasi Kemenparekraf Vinsensius Jemadu menyebut ada wacana setiap Kementerian diminta mengirim 25 persen ASN-nya ke Pulau Dewata. Jumlah ini disebutnya cukup menolong tingkat keterisian kamar hotel yang ada di Bali. (Apa?! Tinggal di hotel?!)
“Kami mengusulkan saat ini kalau kita lihat bahwa work from home itu sekitar 50 persen. Nah, kalau itu bisa dibagi dua, 25 persen yang work from office [di Jakarta], 25 persen yang work from Bali,” ujar Jemadu dalam konferensi pers di kanal YouTube Kemenkomarves, Sabtu (22/5) lalu.
“Kami mengusulkan bahwa [yang dikirim ke Bali adalah] pekerjaan-pekerjaan yang rutin, sifatnya kesekretariatan. Juga rapat-rapat itu sebaiknya memang dikontrol atau dikerjakan dari Bali. Rapat kalau dilaksanakan, secara hybrid: offline-nya di Bali dan selebihnya itu lewat Zoom. Ini yang kita lagi pikirkan.”
Kebijakan direncanakan akan diselenggarakan pada kuartal III tahun ini, alias mulai Juli 2021.
Sudah bisa langsung diduga, kebijakan ini dianggap aneh. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan program tersebut tidak sejalan dengan program pemangkasan anggaran perjalanan dinas ASN karena pandemi. Kuartal I 2021 memperlihatkan realisasi anggaran perjalanan dinas dan pertemuan sudah turun dari Rp4,9 triliun menjadi Rp3,1 triliun pada kuartal I 2020.
“Usulan Pak Luhur jelas bukan kebijakan yang pas karena tidak sejalan dengan pemangkasan anggaran perjalanan dinas tahun 2021,” kata Bhima kepada Media Indonesia. Menurutnya, kalau emang beneran mau membantu sektor pariwisata, sebaiknya seluruh alokasi perjalanan dinas yang tersisa langsung diberikan dalam bentuk subsidi upah ke pekerja pariwisata atau dijadikan stimulus bagi pengusaha terdampak.
“Itu jauh langsung tepat sasaran. apalagi acara pemerintah kan biasanya di hotel yang cenderung bintang tiga ke atas, sulit mengharapkan UMKM ikut mendapatkan efek belanja perjalanan dinas tersebut. Jadi, dari sisi dampak berganda pun sebenarnya diragukan karena yang menikmati nanti ASN sendiri, alias berputar ke lingkaran pemerintah,” tambah Bhima.
Pandangan Bhima disepakati pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia Zuliansyah. Menurutnya, kedatangan ASN dalam jumlah besar tidak menjamin terdongkraknya pariwisata Bali.
“Keseharian mereka akan lebih banyak bekerja, tentu membuat mereka tidak melakukan aktivitas sosial-ekonomi di luar jam kerja. Enggak mungkin juga lihat ASN nanti di Bali kerja, tapi ada di tempat wisata. Kalaupun libur Sabtu-Minggu, belum tentu akan menghabiskan uang mereka untuk menikmati pariwisata,” ujar Zuliansyah kepada BBC Indonesia. “Jadi, kebijakan ini setidaknya akan menaikkan okupansi hotel, tapi jangka panjang berkontribusi untuk menghidupkan pariwisata di Bali, belum ada jaminan.”
Sementara, Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai kebijakan ini mempunyai risiko kesehatan besar akibat persebaran Covid-19 yang masih tak terkendali ditambah mutasi virus. “Ketika membuat kebijakan, ada teori cost dan benefit. Ini biaya dan risikonya besar karena perkara kesehatan,” kata Trubus kepada CNN Indonesia.
Sudah capek-capek menyekat arus mudik, eh sehabis Lebaran pemerintah malah mengirim ASN ke luar Jakarta untuk menggerakkan roda wisata. Semakin dipikir, semakin pusing.