Berita  

Pikiran Kita Bisa Terasa Lebih Plong Lho Setelah Unfollow Influencer di Medsos

pikiran-kita-bisa-terasa-lebih-plong-lho-setelah-unfollow-influencer-di-medsos

Kebanyakan dari kita punya hubungan benci tapi cinta dengan influencer. Kita sering mengkritik tindakan mereka, tapi masih saja mengikuti akunnya dan menonton InstaStory mereka. Namun, daya tarik selebgram dan sejenisnya mulai luntur sejak pandemi. Beberapa muak dengan konten motivasi mereka yang tak lagi relevan, sedangkan lainnya kesal melihat influencer melanggar pembatasan sosial buat jalan-jalan.

Laporan Digital Global 2021 menunjukkan, semakin banyak orang di dunia yang menggunakan media sosial — sekitar 4,2 miliar yang setara peningkatan 13 persen pada tahun lalu. Laporannya lebih lanjut menjelaskan, penggunaan media sosial “bertambah secara signifikan” sejak wabah COVID-19 merebak. Survei terbaru yang dilakukan oleh perusahaan riset pasar Ipsos menemukan 70 persen responden di Italia mengaku masih menyukai influencer seperti dulu, sementara 18 persennya justru lebih menyukai influencer sejak pandemi.


Saya terlalu banyak menghabiskan waktu di medsos. Tapi belakangan ini, saya merasa kewalahan dengan banyaknya konten yang diterima, terutama di Instagram. Di platform itu, influencer disanjung karena rajin mengunggah konten baru. Mengecek Instagram ibarat berpindah-pindah saluran televisi. Saya mencari konten yang mampu membuat saya senang. Tapi pada saat yang sama, saya merasa bersalah telah membuang-buang waktu.

Saya awalnya menyembunyikan postingan influencer, tapi lama-lama berhenti mengikuti mereka. Satu per satu influencer saya unfollow, dan ini masih terus berlanjut sekarang.

Psikolog Marilena Iasevoli di Roma mendalami hubungan manusia dengan jejaring sosial. Menurutnya, kita cenderung menganggap sepele dan meremehkan pentingnya pengalaman di dunia maya, padahal internet telah menjadi bagian penting dalam hidup kita.

“Seperti di kehidupan nyata, penting bagi kita mengelilingi diri dengan orang-orang yang membuat kita senang, yang bisa bertukar energi dengan mereka,” tuturnya. “Kita perlu mengikuti orang yang tidak menguras energi.”

Sayangnya, hal ini sulit diterapkan di media sosial. Kita tak pernah tahu seperti apa kehidupan orang di balik layar, dan tidak bisa memastikan mereka benar-benar seperti yang ditunjukkan dalam konten. “Beberapa penelitian telah menunjukkan mengikuti orang yang tidak dikenal di Instagram dapat menimbulkan atau memperburuk perasaan negatif,” Iasevoli melanjutkan. “Ini benar adanya jika kehidupan yang mereka gambarkan setiap hari tampak jauh lebih baik daripada hidup kita.”

Walaupun influencer terbukti suka mengedit foto dan telah mengekspos ketidaksempurnaan dalam hidup mereka, rasa minder akibat melihat kebahagiaan orang lain kerap muncul dan menghantui saya. “Instagram dirancang untuk perbandingan sosial yang konstan,” ujarnya. “Kalau kamu melihat influencer hadir di pembukaan eksklusif, kamu akan berpikir mereka mendatangi tempat yang lebih bagus daripada kamu meski mungkin mereka sebetulnya tidak merasa senang.” Saya sadar betapa sulit dan melelahkannya mengelola akun Instagram agar tetap rapi dan menarik, tapi perasaan “ketinggalan zaman” ini terus mengusik benak saya.

Saya pun bertanya pada teman-teman apakah ada di antara mereka yang berhenti mengikuti influencer favorit. Rupanya, banyak juga yang seperti saya. Sebagian besar nge-unfollow karena merasa idola telah berubah. Alasannya mungkin karena terlalu sering kolaborasi dengan influencer lain, atau kebanyakan memposting iklan. Ada juga yang didasari perbedaan pandangan, yang baru ketahuan setelah mengikuti mereka untuk waktu yang lama. Apa pun itu, semacam ada kesepakatan tak langsung antara influencer dengan para pengikut mereka. Penggemar akan terus mendukung selama mereka tidak terlalu banyak berubah. Masalahnya, ini tidak realistis — setiap manusia pasti berubah, begitu juga dengan influencer.

Selain itu, tidaklah mudah mencari profit sambil tetap menyesuaikan keinginan pengikut. Keseringan endorse produk bisa membuat pengikut malas dengan konten influencer, sedangkan likeability adalah sumber utama pendapatan influencer. Karena inilah banyak kreator cepat merasa burnout. “Media sosial bagaikan panggung,” kata Iasevoli. “Jika kamu menunjukkan versi ideal dirimu kepada audiens yang besar, itu akan melelahkan dalam jangka panjang. Itu akan menciptakan perselisihan batin — apakah kamu aktor atau orang di balik peran tersebut? Atau mungkin kamu hanyalah campuran keduanya yang tak lagi kamu kenali?”

Iasevoli menyarankan untuk memperlakukan hubungan online layaknya hubungan di dunia nyata apabila orang yang diikuti tak lagi menyenangkan bagimu. Kamu tak perlu melawan perasaan jika merasa bersalah atau sedih karena berhenti mendukung mereka, terutama kalau kamu sudah bertahun-tahun mengikuti mereka. “Sepanjang hidup kita, bagaimana dan dengan siapa kita menghabiskan waktu dapat berubah,” terangnya. “Kita cuma belum menerapkan pola pikir ini dalam kehidupan online.”

Bagi saya, main Instagram terasa lebih menyenangkan setelah saya berhenti mengikuti beberapa influencer favorit. Feed saya dulu penuh opini dan saran dari orang asing — saya sempat mengira itu dapat memperkaya diri, tapi dalam jangka panjang, itu malah mengacaukan perasaan saya.

Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari sini, di balik setiap profil influencer, ada orang-orang yang tidak kita ketahui kehidupannya. Lebih baik berhenti mengikuti mereka kalau sudah tidak sreg dengan kontennya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Italy.