Vaksin Covid-19 menjadi salah satu aset berharga dalam penanganan pandemi. Hanya saja, ketersediaannya masih belum aman untuk mencakup semua populasi di dunia. Orang-orang yang rentan terinfeksi virus masih banyak yang belum mendapatkannya, tak terkecuali di Indonesia.
Dalam pidato untuk Forum Tingkat Tinggi Dewan Ekonomi Sosial PBB (ECOSOC) pada Kamis (13/7) lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan pentingnya akses vaksin yang setara agar dunia secepatnya keluar dari situasi krisis multidimensi setahun terakhir.
“Vaksin adalah harapan untuk mempercepat dunia keluar dari krisis kesehatan ini,” ujarnya. “Akses yang adil dan merata terhadap vaksin harus dijamin. Namun, hingga saat ini kita melihat kesenjangan akses vaksin masih sangat lebar.”
Menurut Jokowi, vaksin esensinya barang layanan publik dan sifat ini “jangan hanya menjadi slogan”. Untuk menjamin meratanya akses, Jokowi menyebut pendekatan “business as usual” harus dihilangkan oleh banyak negara lantas fokus pada kemitraan serta solidaritas.
“Indonesia mendorong agar kita melakukan percepatan realisasi kesetaraan akses vaksin bagi semua warga negara, termasuk melalui berbagi dosis lewat COVAX facilities,” tegasnya.
COVAX sendiri merupakan inisiatif global demi kesetaraan akses terhadap vaksin yang salah satunya dipimpin oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Jokowi sekaligus menyerukan pemenuhan pendanaan vaksin multilateral, peningkatan produksi vaksin global, penguatan supply chain dunia dengan menghilangkan hambatan ekspor dan bahan baku, serta peningkatan diversifikasi dan volume produksi di negara berkembang.
“Kemitraan global harus diperkuat. Dalam situasi saat ini, komitmen kemitraan harus dipertebal. Prinsip ‘no one is left behind’ harus diwujudkan dalam bentuk nyata. Kita harus berkomitmen untuk menghindari ‘me-first policy’,” imbuhnya.
Pernyataan Jokowi mendapatkan tanggapan beragam oleh pengguna media sosial dalam negeri. Ia dianggap bersikap kontradiktif dalam masalah vaksin, sehingga dikritik lembaga swadaya. Penyebabnya adalah sepekan lalu, salah satu Badan Usaha Milik Negara bidang farmasimengumumkan penyelenggaraan vaksin mandiri berbayar untuk individu.
Disebut sebagai bagian dari program Vaksin Gotong Royong, pemerintah mengklaim tujuan dari perluasan vaksin berbayar adalah mempercepat tingkat vaksinasi di Indonesia.
Lewat beberapa apotek milik Kimia Farma, tiap orang bisa membayar Rp879.140 untuk dua dosis vaksin Sinopharm. Awalnya, program ini hanya berlaku bagi perusahaan-perusahaan swasta, agar para karyawan mereka tidak perlu mengeluarkan uang untuk divaksin.
Rupanya Kementerian Kesehatan merevisi peraturan soal kategori Vaksin Gotong Royong pada 6 Juli 2021, memasukkan layanan vaksinasi perorangan di dalamnya. Secara mendadak hal ini baru diinformasikan kepada publik akhir minggu lalu.
Sebelumnya, program ini akan mulai berjalan pada Senin 12 Juli 2021, tetapi Kimia Farma memutuskan untuk menunda program tersebut. Corporate Secretary Kimia Farma Ganti Winarno mengklaim penundaan bukan karena banyaknya protes dari berbagai elemen masyarakat serta tudingan bahwa negara sedang melakukan komersialisasi vaksin demi meraup untung.
“Besarnya animo serta banyaknya pertanyaan yang masuk membuat manajemen memutuskan untuk memperpanjang masa sosialisasi Vaksinasi Gotong Royong Individu serta pengaturan pendaftaran calon peserta,” kata dia.
Jokowi belakangan ini memang menargetkan Indonesia melakukan satu juta vaksinasi per hari. Pada Agustus, dia meminta jumlahnya naik menjadi dua juta per hari. Hanya saja, realita di lapangan tidak mendukung ambisinya.
Jumlah vaksinasi harian di seluruh kawasan di Indonesia masih naik-turun. Sampai hari ini, baru 40,2 juta orang yang mendapatkan vaksinasi dosis pertama dan 15,9 juta untuk dosis kedua.
Wacana vaksinasi mandiri yang memungut bayaran itu sampai juga ke telinga WHO. Dalam pernyataannya, organisasi PBB itu mengingatkan bahwa pemerintah harus memastikan akses terhadap vaksin secara setara.
Menurut Dr. Michael Ryan selaku salah satu pejabat WHO, vaksin berbayar ketika pandemi masih berlangsung menimbulkan “persoalan etika”, apalagi waktu masih banyak kelompok rentan yang masih belum divaksin.
Dia menyebut bahwa ada COVAX yang mendistribusikan vaksin Covid-19 bersama UNICEF dan WHO sehingga “sangat tidak mungkin bagi mereka [Indonesia] untuk meminta bayaran”.
Artinya, alasan untuk menetapkan tarif bagi warga yang ingin mendapatkan vaksin tidak sah mengingat pemerintah Indonesia tidak menanggung biaya produksi dan distribusi sendirian.
WHO pun menyarankan agar Indonesia lebih memprioritaskan jalur multilateral COVAX untuk mendapatkan vaksin, terlebih saat ribuan orang harus masuk ke rumah sakit sampai membuat fasilitas kesehatan ambruk. Organisasi itu juga menyoroti pentingnya tenaga kesehatan (nakes) untuk divaksinasi penuh.
Kementerian Kesehatan sendiri sempat mengakui sejumlah daerah masih belum mendapatkan pasokan vaksin yang mencukupi. Tantangannya, kata kementerian, bukan pada jumlah ketersediaan, melainkan distribusi.
Melalui keterangan pers, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan PT. Bio Farma harus mengolah bahan baku vaksin Sinovac terlebih dulu. Ini memakan waktu selama dua minggu. Lalu, dia mencontohkan donasi vaksin AstraZeneca dari Jepang harus mendapatkan pengawasan kualitas sebelum didistribusikan.
Berdasarkan rilis yang diterima VICE, hingga 11 Juli lalu, pemerintah Indonesia telah menyalurkan 70,4 juta dosis untuk vaksinasi gratis. Sedangkan hari ini, ada 1.408.000 dosis vaksin Sinopharm yang tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan rencananya dipakai dalam program Vaksin Gotong Royong baik perusahaan maupun individu.
“Vaksin [berbayar] tidak menggunakan vaksin bagian dari program pemerintah ataupun vaksin hibah dari negara-negara sahabat,” kata Wakil Menteri BUMN Pahala Nugraha Mansury dalam keterangan pers yang diterima VICE.
“Kita berharap bahwa program Vaksin Gotong Royong ini betul-betul berasal dari vaksin Sinopharm yang dibeli langsung untuk tujuan pelaksanaan Vaksin Gotong Royong.”