15 tahun lalu, lelaki Selandia Baru bernama Ross Hall tersadar, ketika dia menutup usia suatu hari nanti, dia tidak mau dikubur dalam peti mahogani polos. Hall ingin peti matinya berwarna merah terang dan bermotif bara api di kedua sisinya. Dia juga berharap bisa mewujudkan impian orang lain membuat peti mati sesuai selera mereka.
Klien Dying Art, perusahaan peti mati milik Hall, kini bisa beristirahat untuk selamanya dalam perahu layar, truk pemadam kebakaran atau donat raksasa.
Ada juga yang memesan peti bermotif macan tutul, bergambar pengendara motocross, lumba-lumba, atau pemandangan Dunia Tengah (dunia fiktif J.R.R. Tolkien). Harganya berkisar mulai US$2.100 atau setara Rp30,5 juta. Tak hanya dikubur, klien juga bisa dikremasi bersama peti mati buatannya.
“Kami bahkan mulai memasang lampu LED dalam peti. Lampu bisa menyala selama 30 hari pakai baterai,” Hall memberi tahu VICE World News melalui telepon. Dengan demikian, jasadmu tidak akan kegelapan selama sebulan penuh.
Hall awalnya hanya mengerjakan kira-kira satu peti setiap enam bulan sekali, tapi sekarang timnya bisa menerima hingga ratusan pesanan dalam setahun.
“Permintaannya semakin meningkat,” tuturnya. “Pesanan juga makin bermacam-macam. Belum lama ini, saya mengerjakan peti berbentuk donat. Takkan pernah ada yang mengira jasad dibawa dalam peti semacam itu.”
Perusahaan Hall bukan satu-satunya yang kebanjiran order. VWN menemukan setidaknya setengah lusin pedagang peti mati custom-made di Australia dan Selandia Baru.
Corey Simpson, pendiri Lifestyle Coffins di Australia, memperkirakan lima persen dari seluruh bisnis peti mati di negaranya adalah peti mati personalisasi. Dia lebih lanjut mengklaim penjualan perusahaannya telah tumbuh 20 persen dalam empat tahun terakhir. Sama seperti Dying Art, Lifestyle menawarkan berbagai pilihan dan gaya untuk klien — seperti warna klub sepakbola favorit, desain Doctor Who dan motif bir berbusa.
“Pesanan teraneh yang pernah saya terima yaitu peti bergambar lelaki kekar tidur miring,” bunyi email Simpson. “Saya menempelkan foto wajah mendiang laki-laki ke tubuh berotot, lalu peti matinya dibuka di akhir kebaktian. Mendiang tampak seolah-olah sedang menyaksikan para pelayat yang tertawa melihatnya.”
Hal seperti inilah yang diinginkan Hall: menimbulkan tawa melalui air mata dan meringankan duka orang-orang yang ditinggalkan.
“Itu mengurangi sedikit hal mengerikan dari kematian,” ujarnya. “Semakin banyak orang yang menggunakan jasa kami. Saya rasa mereka memahami upacara pemakaman adalah waktu untuk merayakan kehidupan, bukan meratapi kematian.”
Follow Gavin di Twitter.