Puluhan orang berdesakan dengan wajah sumringah di sebuah kafe mungil pinggiran Bangkok. Hari itu, Thailand mencatatkan sejarah sebagai negara paling progresif di Asia Tenggara terkait pengelolaan mariyuana untuk medis. Setelah resmi diloloskan parlemen pada Februari lalu, UU terkait legalisasi ganja berlaku efektif per 9 Juni 2022. Mariyuana dihapus dari daftar tanaman narkotika kelas 1 dalam sistem hukum Thailand.
Berkat aturan ini, siapapun boleh menjual, membeli, serta membudidayakan mariyuana di lahan sendiri. Tentu tidak serta merta orang jadi bebas nyimeng. Mengisap ganja di ruang publik masih termasuk pelanggaran pidana. Setidaknya, beleid tersebut membuka kemungkinan munculnya berbagai bisnis olahan ganja di Thailand, termasuk untuk ekspor bahan terapi medis ke luar negeri.
Highland Cafe merupakan bisnis UMKM yang segera memanfaatkan aturan anyar di Thailand. Kafe tersebut menjual merchandise seputar ganja, dan kini menyediakan pula bibit serta kuncup ganja untuk calon petani swadaya. Saat VICE World News berkunjung, puluhan orang sudah mengantre masuk bahkan sebelum kafenya buka. Ketika akhirnya pintu dibuka pukul 09.00 pagi waktu setempat, dan kasir menyerahkan kantung belanja pertama berisi kuncup ganja, seluruh orang dalam kafe dan di antrean bersorak.
“Selama ini kami bersembunyi dari aparat untuk menanam ganja. Kini, tidak perlu lagi kucing-kucingan,” ujar Thanawat Wongprommek, yang dengan gembira membawa pulang bibit dari kafe tersebut, saat diwawancarai VICE World News.
Momen ini bahkan lebih emosional dirasakan oleh aktivis yang sejak puluhan tahun lalu berjuang tanpa lelah agar pemerintah Thailand mengizinkan legalisasi. Para aktivis ini sempat jadi pariah, ketika Thailand sempat berstatus sebagai negara paling keras menghukum pengedar maupun pengguna ganja di Asia Tenggara.
“Kami sudah menanti-nanti dan berjuang selama 43 tahun, tepatnya sejak 1979,” ujar Chaiwat Banjai, pemilik Highland Cafe sekaligus aktivis legalisasi ganja ternama di Thailand. Pada 1979, Thailand memasukkan ganja menjadi narkoba kelas 1, membuat ribuan petani mariyuana mendadak jadi kriminal.
“Saya kadang masih tidak percaya momen kemerdekaan budidaya ganja di Thailand benar-benar terwujud,” kata Chaiwat, yang matanya berkaca-kaca selama diwawancarai VICE World News.
Pemerintah Thailand mulai mengubah sikap terhadap mariyuana sejak 2019, ketika negara itu mengizinkan penelitian serta terapi ganja untuk kebutuhan medis. Lambat laun, parlemen dan pemerintah bersepakat semakin melonggarkan aturan, sehingga budidaya seluruh bagian tanaman mariyuana tidak lagi melanggar hukum. Thailand menganggap legalisasi budidaya ganja bisa mendorong perekonomian untuk pulih dari efek pandemi, serta lebih murah ongkos sosialnya dibanding memenjarakan orang terus menerus hanya karena bercocok tanam. Pemerintah setempat secara simbolis membagikan 1 juta bibit ganja kepada masyarakat pada Mei lalu.
Kafe-kafe yang menjual produk olahan ganja kini bermunculan di berbagai kota, tak hanya Bangkok. Chopaka termasuk salah satunya. Toko itu menjual bunga ganja, serta permen karet berbagai rasa mengandung ekstrak CBD. “Kami sangat bangga, karena dengan aturan baru ini masyarakat Thailand bisa menghadirkan berbagai ciri khas produk olahan ganja negara ini kepada siapapun,” kata Mananad Yodvanich, pengelola Chopaka.
Legalisasi ganja ini sekaligus mencakup reformasi sistem penjara di Negeri Gajah Putih. Pemerintah membebaskan lebih dari 3.000 orang yang selama ini dipenjara hanya karena pelanggaran ringan kepemilikan ganja. Lebih dari 1.000 orang lain, yang sebelum aturan itu berlaku diadili karena memiliki atau mengisap ganja, turut dibebaskan dari segala tuntutan.
Pemerintah Thailand sendiri berkukuh kalau mereka tidak mengizinkan orang bebas nyimeng. Kebijakan budidaya ganja hanya untuk medis, bukan untuk rekreasional. Kalau nekat melakukannya, masih ada ancaman penjara tiga bulan atas dasar mengganggu ketertiban umum.
Selain itu, aturan pemerintah spesifik melarang peredaran produk olahan maupun ekstrak mariyuana yang mengandung THC lebih dari 0,2 persen. Alasannya, bila kandungan THC terlalu tinggi, maka produk ganja tersebut bisa menyebabkan kecanduan serta efek psikoaktif yang negatif. Sejauh ini, parlemen Thailand masih membahas regulasi lebih detail mengenai tata cara jual beli cannabis di ruang publik.
Meski berbagai aturan hukum itu masih punya celah kriminalisasi, setidaknya anak-anak muda Thailand merasa lebih positif memandang masa depan. Banyak yang bersiap terjun ke bisnis ganja, untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Salah satunya adalah Pongspat Sukhumalchandr, yang patungan bersama teman-temannya mendirikan kafe WholeWeed House di Bangkok. Mereka menjual minuman serta jeli mengandung CBD.
“Kami tidak ingin ketinggalan memanfaatkan peluang bisnis sektor mariyuana medis,” kata Pongspat. “Kami yakin, ganja tidak akan sekadar jadi tren di Thailand. Kami ingin menjadi pelopor bisnis ini secara serius.”
Follow Koh Ewe di Twitter dan Instagram.