Pesta yang memicu kehebohan di media sosial itu diselenggarakan di sebuah kontrakan, di perumahan Pesona Khayangan, Kota Depok, Jawa Barat, pada 4 Juni 2022. Pesertanya hampir 200 orang, dengan harga tiket masuk dari Rp300 ribu hingga Rp8 juta. Pesta itu kini jadi buah bibir setelah polisi menggerebeknya karena ada “laporan dari masyarakat” dan penyelenggara tak mengurus izin ke kepolisian. Acara dibubarkan sekitar lewat tengah malam.
Tapi, berita penggerebekan ini malah jadi liar. Misalnya, beberapa media menggunakan istilah “pesta bikini” untuk menerangkan konsep pesta tersebut, mungkin karena terlihat ada kolam renang di rumah sewa itu dan beberapa tamu dianggap berpakaian terlalu terbuka. Konsep “pesta bikini” sendiri sudah dibantah oleh polisi.
“Jadi benar ada kegiatan tersebut pada Minggu dini hari di Depok, di salah satu perumahan Pesona Khayangan. Polisi mendapat informasi [dari masyarakat] ada kegiatan party atau pesta yang dihadiri oleh jumlah peserta yang cukup banyak. Hampir 200 orang di antaranya kebanyakan adalah kawula muda,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E. Zulpan dilansir Detik.
Selain pesta bikini, narasi “pesta seks” sempat coba-coba dimunculkan (namun gagal) cuma gara-gara polisi menemukan 10 kotak kondom di lokasi. “Ada beberapa barang bukti seperti alat kontrasepsi yang belum dipakai. Ditemukan di dalam suatu kamar di dalam rumah itu. Namun, memang pada saat itu [kondom] ditemukan belum digunakan, masih utuh beberapa bungkus. Jadi, kita amankan juga,” kata Kasat Reskrim Polda Metro Depok Yogen Heroes.
Polisi tampaknya emang berprasangka sama pesta ini. Selain temuan kondom yang dibesar-besarkan, polisi juga menggelar pemeriksaan urine pada para tamu pesta. Bahkan anjing pelacak sampai dikerahkan untuk mencari narkotika. Sayang sekali, polisi maupun media tak bisa menambahkan sebutan “pesta narkoba” karena aparat tidak menemukan satu pun tes positif dari tamu.
Bikini, seks, dan narkoba jadi distraksi besar yang menghalangi publik melihat permasalahan lebih penting untuk didiskusikan dari kasus ini, yakni soal perizinan. Polda Metro Jaya berkali-kali bilang bahwa penggerebekan terjadi karena dua hal, penyelenggara tidak mengantongi izin dan adanya laporan warga. Emang, sejauh mana sih wewenang polisi menggerebek dan memperlakukan tamu pesta sebagai calon pelaku kriminal? VICE lantas ngobrol dengan pengacara publik Yosua Octavian untuk mengetahuinya.
Kepada VICE, Yosua menyebut kegiatan pesta privat tersebut tidak melanggar hukum. “Jika harus berizin, kepada siapa kita harus izin dan siapa yang berwenang memberikan izin? Jika jawabannya adalah kepolisian, sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang menyatakan hal tersebut,” ujar Koordinator Penanganan Kasus dari LBH Masyarakat itu.
Karena tidak ada konsekuensi hukum dari penyelenggaraan acara, maka menurut Yosua, polisi juga tidak berhak melakukan proses yang mengarah pada pelanggaran pidana seperti pemeriksaan urine.
“Saya selalu heran setiap proses penggerebekan seperti ini dikaitkan ke arah pemeriksaan urine untuk menentukan apakah ada pengguna narkotika. Pengaitan ini adalah bentuk stigma nyata bahwa setiap perbuatan yang dianggap melanggar akan dikategorikan sebagai pengguna narkotika,” tambah Yosua.
Di video yang beredar, pesta di Depok ini memang memperdengarkan musik yang lumayan keras. Yosua menyebut warga sekitar berhak untuk melaporkan apabila merasa terganggu dan acara bisa dibubarkan. Namun, pendekatan pembubaran yang dilakukan polisi melampaui batas.
“Kalau alasannya [ada warga sekitar terganggu], maka proses yang dilakukan adalah meminta kegiatan tersebut dihentikan, bukan dengan fokus penyelesaian secara pidana [lewat tes urine],” tutup Yosua.