Berita  

Peringatan Klasik Ini Masih saja Dilupakan para Ortu: Hati-hati Posting Foto Anak

peringatan-klasik-ini-masih-saja-dilupakan-para-ortu:-hati-hati-posting-foto-anak

Mengunggah foto anak ke internet adalah candu tersendiri bagi orang tua. Banyak alasan yang mendasari kenormalan baru ini. Beberapa ingin mengarsipkan perkembangan anak di satu tempat. Beberapa yang lain ingin berbagi tips membesarkan anak. Ada juga yang cuma enggak pengin gemes sendirian sama anaknya. Apa pun itu, semua alasan punya benang merah: dilandasi niat baik.

Masalahnya niat baik, seperti banyak hal lain di dunia ini, tidak otomatis berbuah hasil baik pula. Tren membagi foto anak di media sosial ternyata membantu puaskan hasrat para pedofil. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan menyatakan mengunggah foto bayi di media sosial sebagai pintu masuk penculikan.


Adinda, ibu satu anak di Bintaro, Tangerang Selatan, termasuk yang protektif soal foto anak. Di media sosial, ia mencari titik tengah antara mengunggah kebahagiaan keluarga namun tetap menjaga privasi anak. Caranya, ia mengatur akun media sosialnya berada dalam mode privat alias digembok. Pekerja swasta berusia 29 tahun tersebut juga selalu menutupi wajah sang anak apabila terlihat terlalu jelas dalam foto yang ia akan unggah. Terakhir, ia bakal memakai fitur close friend berisi orang-orang kepercayaannya saja ketika memutuskan upload foto anaknya tanpa sensor.

“Yang pertama untuk alasan keamanan sih. Aku sering enggak bisa nemenin anak di rumah, jadi ngerasa punya tanggung jawab lebih buat jaga identitasnya. Kedua, karena aku mau jaga [perasaan] dia, [menghindari] ada foto-foto dia yang enggak bikin dia nyaman dan terlihat orang. Ketiga, karena ini medsosku, bukan medsos dia. Misal aku mau posting foto sama orang pun aku akan tanya, ‘Kamu keberatan enggak ada fotomu di medsosku’? Nah, karena dia belum bisa jawab itu, jadi ya gitu deh bisanya aku,” cerita Dinda kepada VICE.

Cara-cara ini dilakukannya karena sebagai orang tua muda, ia merasa ada banyak hal yang belum dia pahami. Ia punya kekhawatiran takut melakukan sesuatu yang salah ke anak tanpa sadar. Sejauh ini, cara-cara pengamanan itu membuatnya nyaman.

“Nyaman banget kalau invisible di dunia maya tuh. Yang kalau di-googling pun enggak keluar foto, nama, atau identitasnya, hehehe. Aku mau kasih privilege itu juga buat anakku,” tambahnya.

Pada 2019, Ketua KPAI Susanto pernah meminta masyarakat tidak sembarangan mengunggah foto anak karena bisa jadi sasaran empuk penculik anak. Sayang, himbauan ini tidak disertai dengan cara-cara teknis dan edukasi dampak sehingga isunya terkesan mati dini.

Kepala Divisi Internet dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Unggul Sagena menyebut, bertaburnya foto anak di internet bisa memudahkan pelaku penculikan melakukan profiling target. Misal, di mana sekolahnya dan kapan antar jemputnya. Apalagi fitur seperti Instagram Stories kerap digunakan secara realtime. Saat diunggah, di situlah biasanya seseorang sedang berada.

“Di beberapa kasus tahun ajaran baru atau pas liburan, penjahat udah mulai cari-cari korban. Kita harus sadari dan waspada. Perangkat kita harus diatur agar aman, dengan mematikan GPS misalnya. Lalu, lakukan pengaturan di platform soal membatasi siapa yang bisa melihat [foto anak yang kita unggah],” ujar Unggul saat dihubungi VICE.

Unggul sepakat dengan cara Adinda terkait privasi anak. Orang tua harus memikirkan consent anak ketika ingin mengunggah fotonya. Unggul menyebut banyak kasus anak yang setelah dewasa menemukan fotonya kecil tersebar di dunia maya sehingga menimbulkan ketegangan tersendiri dengan orang tua.

“Bukan berarti enggak boleh sama sekali [mengunggah foto anak]. Cuma seminimal mungkin lah karena akan berdampak ke depannya,” imbuh Unggul.

Terkait kasus pedofilia dan pornografi anak, Unggul menjelaskan bahwa untuk saat ini masih banyak komunitas pedofilia yang berbagi foto anak di media sosial. “Di Indonesia, kasusnya lebih ke mengumpulkan foto dan video anak. Ada ratusan foto anak, mereka berbagi bersama, jadi lebih ke koleksi,” tutup Unggul.

Pakar keamanan siber Teguh Aprianto menambahkan, ancaman bahaya bagi anak jika terlalu dini terjun ke dunia maya yang membuat banyak platform tidak mengizinkan anak di bawah 13 tahun menggunakan media sosial. Hanya saja, sejauh ini enggak ada larangan buat orang tua yang membuat akun media sosial anak bahkan sebelum si anak lahir.

Lantas apa yang bisa kita lakukan? Teguh menyebut apa yang dilakukan Adinda bisa jadi gerbang awal perlindungan anak di internet.

“Paling fundamental ya harus enggak boleh kelihatan wajahnya. Wajah itu identik dengan anak. Kalau ortu upload foto anak dengan blur [di wajah], sebenarnya cukup membantu. Di satu sisi itu memperlihatkan dia respect dengan privasi anaknya. Tapi perlu diperhatikan juga background-nya. Kalau indoor enggak masalah, tapi kalau outdoor dan berhubungan dengan [identitas] tempat tinggal atau sekolah, itu sih yang akan jadi masalah,” ujar Teguh kepada VICE.

Sedikit kabar baik: Teguh menyebut foto yang diunggah ke media sosial akan otomatis dihapus metadatanya oleh platform terkait. Alhasil informasi lokasi yang kudunya nempel di foto pun akan hilang. 

Terkait maraknya kejahatan anak di internet, Teguh menyarankan para orang tua untuk lebih peka sebelum mengunggah foto anaknya. “Kita enggak bisa kontrol internet, enggak bisa kontrol orang lain, orang-orang sakit di luar sana. Lebih mudah mengatur sekitar kita. Bukannya membenarkan, tapi ketika kita upload sesuatu, kita enggak bisa mengontrol apa yang [terjadi] di luar. Sebaiknya, fungsi pencegahan ada di kita,” tambah Teguh.

Mempertimbangkan ketidaknyamanan anak bila melihat fotonya tersebar di media sosial juga harus ditanggapi serius. Psikolog klinis Bianglala Andriadewi bilang, membagikan foto dan video anak di media sosial secara berlebihan punya risiko mental bagi anak di masa depan.

“Perlu mempertimbangkan apakah foto/video ini memalukan bagi anak kita jika mereka melihatnya saat dewasa, apakah foto dan video ini bisa jadi bahan untuk mem-bully mereka,” jawab Bianglala kepada VICE.

Misalnya, membagikan momen privat saat anak sedang mengekspresikan kemarahannya, dianggap Bianglala menunjukkan orang tua yang kurang peduli dan dapat menimbulkan rasa tidak percaya pada anak. Anak juga bisa menganggap orang tuanya tidak memberi rasa aman. 

“Orang tua perlu menyadari bahwa sekali foto terunggah, jejak digital akan terus ada. Ada hacker atau teman terdekat yang bisa membagikan data tersebut dengan tangkapan layar meski menggunakan fitur close friend. Menurut sebuah studi dari Universitas Antwerp, Belgia, remaja sendiri merasa tidak senang jika orang tua membagikan konten tentang mereka,” tutup Bianglala.