Berita  

Perempuan Lebih Sering Disalahkan Atas Pelecehan Online yang Menimpanya

perempuan-lebih-sering-disalahkan-atas-pelecehan-online-yang-menimpanya

Pada profil akunnya, kehidupan selebgram Inggris Abby Furness terkesan mewah dan penuh warna. Ia seorang penari api yang juga pandai bernyanyi. Senyum merekah selalu terpancar di setiap fotonya yang glossy. Namun, di balik layar, Abby merasakan ketakutan yang teramat besar setiap memeriksa ponselnya. Dia tak bisa berhenti mengkhawatirkan hal nekat apa lagi yang akan dilakukan penguntit untuk merusak reputasinya.

Micro-influencer itu, yang punya lebih dari 14.000 pengikut di Instagram, merupakan salah satu perempuan yang ruang amannya diusik oleh penguntit kelas kakap Matthew Hardy. Predator online itu dipidana sembilan tahun penjara atas perbuatannya, tapi kemudian hukumannya dipangkas setahun.


Abby menceritakan pengalaman buruknya melalui podcast true crime Can I Tell you a Secret? yang diluncurkan oleh surat kabar The Guardian. Hardy mulai mengganggunya pada musim panas tiga tahun lalu. Dia mengirimi pesan penuh ancaman, padahal mereka tak saling mengenal maupun bertemu sebelumnya. Dia bahkan sampai membuat akun palsu yang mengaku sebagai Abby untuk menyebarkan aib yang tak pernah sekalipun perempuan itu lakukan. Menurut karangan Hardy, Abby menggoda pacar temannya dan tidur dengan banyak laki-laki. Dia juga membajak foto tanpa busana milik sang influencer dan menyebarkannya ke dua kenalan yang pernah bekerja sama dengan Abby.

Perempuan mengenakan baju putih dan celana jins
Abby Furness. Foto dari arsip pribadi Abby Furness

“Selama dua tahun, saya merasa seperti diculik dan disekap oleh Hardy. Dia merampas suaraku dan berpura-pura menjadi diriku untuk menghancurkan hidupku,” ungkapnya. Tak hanya itu saja, sikap orang-orang di sekitarnya membuat keadaan Abby semakin terpuruk. Alih-alih menyemangatinya hingga masalah tuntas, mereka justru menyalahkannya atas cobaan yang menimpanya.

Penyiar podcast Sirin Kale menciptakan istilah “digital short skirt phenomenon” untuk menggambarkan kebiasaan menyalahkan korban pelecehan di dunia maya. Ketika influencer perempuan seperti Abby menjadi target predator online, orang dengan enteng berkomentar pelecehan bisa terjadi karena postingan mereka “terlalu mengundang”. Pernyataan-pernyataan menuduh, seperti “siapa suruh upload foto bikini? Udah tau cowok nafsunya gede”, memosisikan mereka sebagai pihak bersalah.

Abby dicerca habis-habisan oleh bibinya setelah kabar miring tentang dia dan pamannya menyebar ke seluruh anggota keluarga. Melalui grup WhatsApp keluarga, sang bibi menuduhnya sengaja mencari sensasi dan meretakkan ikatan keluarga. “Jangan bawa keluarga ke dalam masalahmu,” bunyi chat bibinya. “Bibi gak mau direpotin sama masalah kamu, jadi bibi akan memblokir nomor dan akun medsos punyamu. Ini semua salah kamu yang terlalu pamer di Instagram.”

“Saya sakit hati membacanya,” kenang Abby. “Saya tak pernah ada niatan bikin drama. Bukan saya yang mengirim itu semua. Hubunganku dengan bibi jadi renggang gara-gara masalah ini.”

Tanggapan pihak berwajib saat mendengar laporannya pun tidak menyenangkan sama sekali. Seorang polisi malah menyuruh Abby berhenti bikin konten atau menggembok akunnya.

Emma Short, dosen yang mengajar psikologi siber di London Metropolitan University, tergabung dalam tim riset Dewan Kepala Kepolisian Nasional Inggris yang mengawasi masalah penguntitan di negara tersebut. Dia mengungkapkan, reaksi yang diterima Abby jauh lebih umum daripada yang kita kira.

“Saat saya mempelajari hasil wawancara korban penguntit yang dikumpulkan selama bertahun-tahun, saya memperhatikan saran yang mereka terima sering kali tidak konsisten ataupun membantu, seperti ‘coba berhenti main medsos’. Itu sama saja dengan membebani masalahnya pada korban pelanggaran,” jelasnya.

Short menambahkan misogini berperan besar dalam menumbuhkan kebiasaan ini. “Kita terlalu cepat menyalahkan perempuan karena statusnya sebagai perempuan, atau karena mereka cantik.”

Abby menyamakan saran dari polisi seperti saat orang menyuruh penyintas kekerasan seksual keluar dari tempat kerjanya karena melaporkan pelecehan yang menimpa mereka saat bekerja. “Penghasilan saya berasal dari Instagram. Orang mengajak saya bekerja sama berkat postingan di Instagram,” tuturnya. “Saya takkan bisa dapat uang tanpanya. Saya sedih sekali saat mendengar saran ‘kamu bisa berhenti main medsos’.”

Zoe juga pernah dilecehkan dan dikuntit oleh pengikutnya di media sosial. Perempuan 28 tahun itu merahasiakan nama aslinya demi alasan keamanan dirinya. Di internet, dia sering berbagi tips seputar percintaan di samping mengunggah selfie dan mengelola akun OnlyFans.

Suatu hari, dia berpapasan dengan seorang subscriber tak jauh dari rumahnya. Orang itu mengenali wajahnya dan langsung mengirim pesan ajakan berhubungan seks buat dijadikan konten. “Saya merasa privasi saya telah dilanggar. Saya jadi takut keluar rumah.”

Itu bukan kali pertama Zoe dikuntit orang. Ada kenalan dari Tinder yang mengganggunya di seluruh platform, bahkan di LinkedIn segala. Orang itu meneleponnya nonstop dan mengancam akan bunuh diri jika Zoe tidak menanggapinya. Polisi telah mewajibkan pelaku menandatangani kesepakatan untuk tidak mengganggu Zoe lagi, tapi peringatan itu tak menghentikan aksinya. Dia sudah dua kali menghubungi Zoe setelah dilaporkan ke polisi.

Namun, Zoe kini ragu untuk melaporkan pelecehan atau penguntitan yang ia alami, mengingat kontennya di media sosial. Dia khawatir orang akan mendiskreditkan kisahnya. “Berhubung sekarang saya punya akun OnlyFans, saya jadi tidak berani melapor karena takut dihakimi,” ungkapnya.

Pakar menegaskan penguntitan termasuk tindak kejahatan karena dikategorikan sebagai “teror psikologis yang dapat menimbulkan trauma berkepanjangan, tak peduli aksi menguntit terjadi secara online atau di dunia nyata,” terang Violet Alvarez, juru kampanye Suzy Lamplugh Trust, organisasi yang membantu korban penguntitan.

“Tak jarang polisi memberikan nasihat yang tidak membantu atau justru berbahaya kepada korban pelecehan online, seperti memblokir akun pelaku atau mengurangi jejak digital mereka; tak jarang juga polisi salah menilai risiko yang hadir dalam kasus semacam itu, dan menyepelekannya sebagai ‘kekaguman yang salah arah’.”

Maraknya “digital short skirt” menjadi bukti kegagalan masyarakat menyediakan ruang aman serta dukungan bagi perempuan yang menjadi target predator online.

Abby berujar, dirinya tak lagi “periang, ceria dan bebas” seperti dulu sejak Hardy datang dan mencemari nama baiknya. Menurutnya, Abby yang sekarang jadi gampang parno, gelisah dan depresi. Sementara itu, sang bibi baru mau membuka blokir setelah Abby mengirim podcast tentang perjuangan panjangnya membebaskan diri dari jerat Hardy. “Saya cuma berharap orang-orang percaya denganku saat saya sedang sangat membutuhkannya,” simpul Abby.

Follow Ruchira Sharma di Twitter.