Seorang ibu di barat daya India, dibantu putranya yang masih remaja, memenggal kepala anak perempuannya sendiri yang hamil muda. Keduanya telah diamankan polisi di kota Vaijapur, negara bagian Maharashtra.
Berdasarkan kesaksian para tetangga, Shobhabai Mote dan anak lelakinya berfoto selfie sambil menenteng kepala korban dan mengaraknya keliling gang. Fotonya telah dihapus dari ponsel pelaku, sebelum mereka ditangkap.
“Kami mencurigai ibu dan anak mengambil selfie sambil memegang kepala korban. Kami telah mengirim ponselnya ke laboratorium forensik untuk mencoba mengembalikan foto [yang telah dihapus],” asisten komisaris polisi Vaijapur Kailash Prajapati memberi tahu media lokal. Tidak diketahui pasti usia adik korban, tapi sebagian besar media India merahasiakan nama lengkapnya untuk jaga-jaga masih di bawah umur.
Kepada Times of India, seorang inspektur polisi menduga insiden mengerikan ini tampaknya terinspirasi oleh film Marathi berjudul Sairat. Film tersebut mengisahkan perempuan yang dipenggal saudara laki-laki setelah kawin lari dengan kekasihnya.
Kirti Avinash Thore, 19 tahun, kawin lari dengan tambatan hatinya semasa kuliah pada Juni lalu. Seminggu setelah keluarga mengajukan laporan orang hilang, Thore mendatangi kantor polisi setempat untuk menginformasikan bahwa dia tidak hilang dan sudah menikah. Menurut keterangan polisi, keluarganya marah besar mendengar kabar ini, membuat Thore putus hubungan dengan mereka.
Thore dikabarkan telah berbaikan dengan ibunya baru-baru ini. Ibu dan adiknya bertandang ke rumah Thore untuk pertama kalinya pada 5 Desember.
“Kirti sedang hamil dua bulan dan tinggal bersama keluarga suami di sebelah ladang milik mereka. Ibu dan adiknya datang mengendarai sepeda motor. Ketika melihat mereka datang, Kirti segera meninggalkan pekerjaannya dan mengajak mereka masuk ke rumah. Suami Kirti ada di rumah dan tidak menaruh curiga sama sekali. Dia istirahat di ruangan lain,” terang Prajapati.
Namun, saat Thore membuatkan teh di dapur, adiknya menyerang dari belakang. Ibunya menarik kakinya dan mencengkeramnya agar tidak bisa kabur. Sang adik lalu memenggal kepala kakaknya pakai sabit.
Suami Thore segera berlari ke dapur begitu mendengar keributan. Dia menyaksikan istrinya meregang nyawa dan melarikan diri ketika adik Thore berusaha membunuhnya.
Menurut polisi, adik Thore mengarak kepala korban keliling gang, disaksikan para tetangga. Setelah itu, dia dan ibu berfoto dengan kepala Thore di tangannya.
“Orang-orang yang melakukan pembunuhan semacam itu berpikiran para perempuan yang terlibat telah mencemari nama buruk keluarga. Mereka bangga karena telah melakukan ini,” ujar terapis trauma Seema Hingorrany saat dihubungi VICE World News.
“Riset menunjukkan mereka merasa akan masuk surga karena perbuatan tersebut. Mereka yakin telah mengorbankan perempuan kepada para dewa dan dewi.”
Adik Thore dikabarkan telah menyerahkan diri ke polisi dan mengakui kejahatannya. Ibu anak itu kini berstatus tahanan polisi.
Kasus serupa terjadi Maret lalu di negara bagian Uttar Pradesh, India utara. Gadis remaja 17 tahun dipenggal ayahnya sendiri karena menjalin hubungan dengan lelaki yang tidak direstui keluarga. Sang ayah lalu membawa kepala korban ke kantor polisi. Foto-foto mengerikan dari adegan tersebut tersebar luas di media sosial.
Di India, perempuan dianggap telah mempermalukan keluarga apabila mereka kawin lari dan menikahi orang dari kasta berbeda atau tidak mendapat restu orang tua. Hal ini kerap berujung pada honour killings, atau pembunuhan demi menjaga nama baik keluarga. Akan tetapi, tindak kejahatan ini jarang dilaporkan di negara tersebut.
Aktivis lokal mengungkapkan praktiknya masih merajalela dan sebagian besar menargetkan perempuan. India mencatat sedikitnya 24 kasus sepanjang 2019 saja. Beberapa tahun sebelumnya, Mahkamah Agung India melaporkan sekitar 288 kasus pembunuhan atas nama baik keluarga dari 2014 hingga 2016. Sementara itu, lembaga nonprofit lokal Evidence mengungkapkan telah terjadi 187 honour killing hanya di negara bagian Tamil Nadu saja.
“Honour killing didasarkan pada keyakinan budaya yang sangat mengakar dan jauh dari realistis,” jelas Hingorrany.
Di sejumlah masyarakat, keyakinan semacam itu tetap dipegang teguh tanpa pengembangan sistem kepercayaan baru, sehingga akhirnya perbuatan ibu dan adik Thore dianggap wajar.
“Honour killing terkait dengan trauma generasi,” Hingorrany menambahkan. “Itu mengalir dalam keluarga dari generasi ke generasi, tanpa ada satu pun yang menantang trauma generasi dan berpikir, ‘Aku tidak mau meneruskan ini.’”
Follow Rimal Farrukh di Twitter.