Hanya dalam tujuh jam setelah terpilih menjadi perdana menteri perempuan pertama dalam sejarah Swedia, Magdalena Andersson mundur dari jabatannya. Keputusan mengejutkan itu diambil, karena koalisi partai pendukungnya pecah, membuat rencana anggaran yang dia susun tak disetujui parlemen.
Andersson terpilih dalam proses pemilihan di legislatif yang ketat. Di pemungutan suara itu, dia didukung 174 suara, sementara 117 anggota parlemen menolaknya jadi PM. Sebelum pemilihan, Andersson berhasil mendapat dukungan koalisi Sosial Demokrat dan Partai Hijau. Secara mengejutkan, tak lama setelah dia resmi terpilih sebagai PM, Partai Hijau keluar dari koalisinya, akibat perbedaan pendapat soal penyusunan APBN.
“Saya merasa [perlu mundur] untuk menjaga kehormatan, sekaligus karena saya tidak ingin memimpin pemerintahan yang legitimasinya dipertanyakan,” kata Anderson dalam jumpa pers, seperti dikutip kantor berita the Associated Press.
Andersson bukan nama baru di kancah politik Swedia. Dia salah satu petinggi partai Sosial Demokrat, serta pernah menjabat sebagai menteri keuangan. Dalam jumpa pers tersebut, Andersson berjanji akan tetap menjadi pelaksana tugas PM, sampai pemerintahan baru terbentuk.
Perempuan 54 tahun itu bahkan belum sampai dilantik, karena upacaranya baru akan berlangsung pada Jumat (26/11). Dia pun mengungkapkan rencana untuk kembali maju sebagai kandidat PM saat parlemen kembali menggelar pemilihan.
Swedia sepanjang sejarahnya menjalankan demokrasi, belum pernah memilih perempuan menjadi pemimpin di posisi tertinggi. Situasi ini kontras dengan negara-negara Nordik lainnya, seperti Norwegia, Denmark, atau Finlandia, yang pernah dipimpin perempuan. Sebelum Andersson terpilih, 33 PM sebelumnya selalu lelaki.