Selain angka pernikahan anak, jumlah perceraian juga terus naik selama pandemi melanda Indonesia. Menurut data pengadilan agama, kesulitan ekonomi jadi langganan pemicu. Kehilangan pekerjaan atau pendapatan usaha menurun menyulut cekcok rumah tangga dan pada akhirnya, di berbagai daerah di Indonesia, berujung gugatan cerai.
Di Gresik, Jawa Timur, misalnya. Pengadilan Agama (PA) Gresik melaporkan kenaikan 4-8 persen permohonan cerai dibanding tahun-tahun sebelum pandemi. “Kalau sebelum pandemi itu kami biasa menangani 2.800-2.900 perkara setahun. Pada 2020 lalu itu sampai 3.036, tapi tidak semuanya cerai [berhasil dibuat rujuk]. Itu seluruh perkara yang ditangani oleh PA Gresik,” kata Humas PA Gresik Sofyan Jefri kepada Kompas.
Kondisi ini sudah diprediksi sejak September tahun lalu. Sofyan mengatakan dampak pandemi memicu pertengkaran suami-istri. “Bisa saja suami kehilangan pekerjaan sehingga pasangan belum siap untuk menghadapi bersama,” ujar Sofyan, dilansir Sindonews. Ia juga memperhatikan bahwa peningkatan permohonan cerai berbanding lurus dengan kenaikan pernikahan anak, ditandai dengan banyaknya permohonan dispensasi umur menikah yang masuk ke institusinya.
Angka lebih tinggi ditemukan di Kota Bandung, Jawa Barat. Sepanjang Maret hingga November 2020, tercatat 7.800 kasus perceraian di wilayah tersebut. Mayoritas juga karena permasalahan ekonomi, ditambah kekerasan dalam rumah tangga.
“Kasus-kasus perceraian yang terjadi sebanyak 80 persen didominasi oleh permasalahan ekonomi pada rumah tangga pasangan,” kata Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Kota Bandung Siti Muntamah dilansir IDN Times.
Di Palembang, Sumatera Selatan, fakta kenaikan perceraian ini ditunjang data lain: mayoritas perkara diajukan oleh istri. Persisnya, PA Kelas 1A Palembang mencatat, setiap bulan sejak awal Maret 2020, rata-rata 210 istri mengajukan cerai, berbanding jauh dengan suami yang rata-rata “hanya” 59 orang.
“Berdasarkan data hingga Juni 2021, kami telah memproses 1.265 kasus perceraian yang sebagian besar diajukan oleh istri,” ujar Juru Bicara PA Kelas 1A Palembang Raden Achmad Syarnubi seperti dikutip Republika. Di wilayah ini, alasan utama gugatan selain ekonomi adalah krisis akhlak dan perselingkuhan.
Pindah ke Brebes, Jawa Tengah, PA setempat telah menerima 5.671 perkara perceraian sejak Maret 2020. “Jumlah yang diputus dalam persidangan lebih banyak dibanding perkara yang masuk, sebab ditambah jumlah perkara yang masuk di bulan Desember 2019 yang jumlahnya ada 591 perkara. Sehingga total masuk ada 6.262 perkara,” ujar Kabag Humas PA Brebes Nursidik, dilansir iNews.
Peningkatan angka perceraian di tengah pandemi juga terjadi di Garut, Sleman, Pare-pare, Banjar, Banjarmasin, dan Medan. Cuma, urusan rumah tangga yang cekcok ini enggak di Indonesia aja. BBC menemukan kasus perceraian selama pandemi meningkat pula di Inggris, Amerika Serikat, dan Swedia.
Konsultan keluarga dari LSM Rumah Amalia, Agus Syafii, mengatakan bahwa dalam menghadapi pandemi, pasangan suami-istri harus bekerja sama untuk menyelesaikan masalah dengan cara saling memberi, memaklumi, dan memaafkan. “Kalau pasangan suami-istri di dalam benaknya atau pikiran adalah ingin saling memberi, maka keduanya tidak akan ada saling menuntut,” ujar Agus dilansir Antaranews.