Sepintas, tak ada yang aneh dari toko cendera mata ini. Kios yang berada di pasar Chatuchak, Bangkok, menjual pernak-pernik mencolok, celana motif gajah Thailand dan jersey KW Liga Utama.
Namun, begitu masuk lebih dalam, pengunjung akan berhadapan dengan sisi tergelap toko. Bendera dan spanduk Reich Ketiga, replika belati dan pisau sangkur SS karatan, kaus bergambar Adolf Hitler, serta tumpukan lencana dan ban lengan merah-hitam swastika telah menanti kedatanganmu.
Sebelum pandemi melanda, barang dagangan seperti ini kerap memicu amarah wisatawan yang tak sengaja lewat di depan toko.
Belakangan ini pasar tak lagi seramai dulu, tapi pedagang yang akrab dipanggil Ton menyadari risiko apabila terus menjual memorabilia Nazi. Dia menyinggung insiden di masa lalu yang melibatkan seniman dan pemilik toko di Thailand yang tertangkap basah mempromosikan produk bertema Nazi.
“Kami harus tetap berhati-hati karena orang, terutama orang Eropa, sangat sensitif dan akan marah. Mereka mungkin akan melaporkan kami ke kantor kedutaan, dan kami tidak menginginkan itu terjadi,” kata Ton saat berbicara dengan VICE World News. “Itu akan berdampak buruk bagi bisnis kami.”
Namun, jika boleh berkata jujur, Ton dan dua pedagang lokal lain cukup menikmati aktivitas pasar yang sepi. Mereka bebas menjual aksesori fasis.
“Kami hanya melayani pelanggan yang serius beli,” ujar Ton, sambil menyiapkan pesanan jumlah besar dari Jepang. “Thailand adalah satu dari segelintir tempat di muka bumi yang memungkinkan kalian membeli barang Nazi secara bebas dan legal, tanpa perlu takut dihakimi.”
Sembari mengisi lembar pesanan yang panjang, dia menceritakan tentang para pelanggannya di luar negeri. Ton pernah menjual produknya ke kolektor di Amerika Serikat, Kanada dan Ukraina. Dia juga mengklaim musisi penuh skandal Marilyn Manson sering belanja di tokonya.
Penyanyi yang tersandung serangkaian tuduhan kekerasan seksual memang terkenal mengoleksi benda-benda aneh dan artefak Nazi. Ton mengaku Manson tak pernah datang langsung ke tempatnya. Transaksi biasanya dibantu asisten, teman dan kenalan perempuannya.
“Mereka memborong dagangan saya,” tuturnya. “Mereka akan menunjukkan fotonya dan membeli aksesori atau benda-benda kecil, seperti pisau sangkur, atas namanya. Mereka bilang barangnya untuk para penggemar yang menonton konser.”
Ketertarikan masyarakat Thailand terhadap segala yang berbau Nazi relatif masih cukup tinggi. Para pengamat mengaitkannya dengan ketidaktahuan dan kekaguman yang salah tempat dengan rezim fasis. Bukan sekali dua kali perayaan dan pajangan bertema Nazi memicu kecaman dunia internasional.
Salah satu contoh paling kontroversial yaitu bintang pop lokal yang mengenakan kaus swastika saat tampil di acara televisi, hanya beberapa hari sebelum Hari Peringatan Holocaust pada 2019. Junta militer yang berkuasa pada 2014 bahkan membuat film propaganda yang menampilkan bocah laki-laki menggambar Hitler di depan swastika.
Desainer streetwear Hut, yang terkenal memproduksi kaus bergambar karakter Führer yang menggemaskan, pernah membuat duta besar Israel marah besar 10 tahun lalu. Dengan penuh emosi, Itzhak Shoham mendatangi toko untuk mengutuk penjualan kaus “McHitler”.
Setibanya di toko, dubes Israel berjumpa dengan patung Hitler memberi hormat berulang kali.
“Dia mengobrak-abrik kaus dan meremas salah satu kartu nama saya,” kenang Hut ketika diwawancarai The Jerusalem Post pada 2012. “[Sekarang] kalau ada orang asing yang komplain [tentang penggambaran Hitler yang saya ciptakan], saya akan beralasan itu gambar Charlie Chaplin.”
Pejabat Thailand telah berulang kali mengucapkan permintaan maaf setiap tersandung masalah terkait penggambaran Nazi. Mereka berjanji akan meningkatkan kesadaran publik tentang Holocaust. Universitas Chulalongkorn yang bergengsi di dalam negeri bahkan tak lepas dari kontroversi. Pada 2013, perguruan tinggi itu “meminta maaf sedalam-dalamnya” karena telah memajang mural “ucapan selamat” yang dihiasi lukisan Hitler.
Namun, seakan tidak belajar dari kesalahan, penggambaran Nazi tetap merajalela di Thailand. Tul Israngura Na Ayudhya selaku lektor sejarah Jerman di Universitas Chulalongkorn mengungkapkan, edukasi sejarah holocaust masih sangat minim di dunia pendidikan Thailand, terlepas dari janji-janji Kementerian Pendidikan untuk meningkatkan kesadaran.
“Kasus kontroversial terkait Nazi mungkin sudah jarang dilaporkan media, tapi penggambarannya masih ada di sekitar kita,” terangnya, lalu menambahkan isunya masih “tersebar luas” dan “problematis”.
“Banyak orang Thailand tahu siapa Hitler, tapi mereka memandangnya seperti tokoh-tokoh publik lain macam Che Guevara, Mao dan Kim Jong-un tanpa sepenuhnya memahami kekejamannya, atau penderitaan para korban Holocaust,” lanjutnya.
“Di bayangan rakyat Thailand, Holocaust hanyalah lampiran kecil—tak lebih dari beberapa kalimat dalam buku sejarah. Bagi mereka, Hitler dan antek-anteknya tidak sekejam itu.”
VICE World News menghubungi kedutaan besar Israel di Bangkok untuk menanggapi penjualan memorabilia Nazi yang masih bertahan. Namun, kami tidak menerima balasan hingga artikel ini dipublikasikan.
Masih di Chatuchak, hanya beberapa gang dari kios Ton, ada toko barang antik lain yang menjual kenang-kenangan Nazi. Sebelumnya dikelola lelaki kelahiran Bavaria bernama Manuel Finsterer, Siam Rare Books and Antiques memiliki koleksi barang langka dan benda-benda bersejarah Nazi. Kios kecil ini juga kedatangan wisatawan yang marah-marah. Tokonya ditutup sejak Finsterer pulang kampung.
Menurut pemilik toko buku di sebelahnya, dia kembali ke Jerman karena pandemi. “Tapi katanya dia memang khawatir untuk pulang kampung setelah berbisnis di Thailand. Dia buru-buru pergi,” ujarnya.
Finsterer meninggalkan banyak buku sejarah dan artefak Nazi di tokonya, yang kemudian diambil alih pemilik buku tadi. “Saya mengiklankannya dengan harga tinggi di internet,” ungkap lelaki itu. “Barang-barangnya cepat laku.”
Follow Heather Chen di Twitter.