Terpidana korupsi yang juga mantan jaksa fungsional di Kejaksaaan Agung, Pinangki Sirna Malasari menang besar usai mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Aslinya ia telah divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena terbukti menerima suap dari buronan kasus korupsi Djoko Tjandra serta terlibat pencucian uang dan permufakatan jahat.
Namun, hasil banding menyatakan Pinangki hanya perlu menjalani 4 tahun penjara. Alasan pemotongan lebih dari setengah vonis oleh majelis banding yang diketuai Hakim Muhammad Yusuf bikin dahi mengernyit.
Setidaknya ada tiga landasan majelis hakim sampai pada putusan yang kontroversial itu. Pertama, Pinangki berperilaku baik karena sudah mengaku salah dan menyesal, serta ikhlas dipecat dari posisinya sebagai jaksa. Kedua, Pinangki adalah seorang ibu dari anak berusia empat tahun sehingga ia layak diberi kesempatan mengasuh anak dalam masa pertumbuhannya. Ketiga, terdakwa adalah wanita yang harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan adil.
Sebagai pengingat, Pinangki terbukti menerima suap Rp7,3 miliar dari Djoko Tjandra agar Djoko diloloskan dari eksekusi kasus pengalihan hak tagih Bank Bali yang membuatnya tak bisa pulang ke Indonesia. Kemudian, Pinangki terbukti pula melakukan pencucian uang senilai Rp5,2 miliar dan menyuap pejabat Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung US$10 juta.
Mendengar alasan ini, publik mayoritas menyampaikan kecaman. Pasalnya, sebagai bagian dari penegak hukum di negara hukum, Pinangki dinilai pantas mendapatkan hukuman lebih berat karena menyalahgunakan wewenang. Buat perbandingan, eks hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang sama-sama terbelit suap jual-beli kasus divonis penjara seumur hidup.
Hasil banding kasus Jaksa Pinangki menambah koleksi korting hukuman koruptor dengan bermacam alasan aneh. Baru pada April lalu lho pengusaha yang jadi terdakwa kasus suap ekspor benih lobster Suhardjito hanya divonis dua tahun penjara dan denda Rp250 juta setelah terbukti kongkalikong dengan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Alasan hakimnya kacrut banget. Suhardjito berhak dikasih keringanan karena rutin bersedekah.
Bahkan alasannya bukan cuma itu. Ketua Majelis Hakim Albertus Usada bilang, Suhardjito kan tulang punggung keluarga dan memberi pekerjaan kepada 1.250 orang. Apalagi dia udah memberangkatkan 10 karyawannya umrah setiap tahun. Terus, “Terdakwa [juga] berjasa membangun dua masjid dan rutin memberikan santunan kepada yatim piatu dan kaum duafa di Jabodetabek,” kata Usada saat membaca putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, 21 April 2021, dilansir Bisnis.
Contoh lain terjadi pada Desember tahun lalu saat Fahmi Darmawansyah, terpidana penyuap kepala Lapas Sukamiskin, dikorting hukumannya dari 3,5 tahun menjadi 1,5 tahun saja. Keringanan ini didapat lewat permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Majelis hakim menerima alasan Fahmi yang mengaku pemberian mobil Mitsubishi Triton senilai Rp427 juta kepada Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein bukanlah suap, melainkan sekadar bentuk (((kedermawanan))).
Alhasil, vonis terbaru Fahmi hanya menghitung tindak gratifikasi Fahmi dalam bentuk uang servis mobil, uang menjamu tamu lapas, tas merek Louis Vuitton, dan sepatu sandal merek Kenzo kepada Wahid. “Pemohon peninjauan kembali menyetujuinya untuk membelikan mobil tersebut bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh pemohon, melainkan karena sifat kedermawanan pemohon,” bunyi pertimbangan putusan dari situs Direktori Putusan MA.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga ngeh bahwa udah sebegitu banyaknya kasus korupsi yang mendapatkan keringanan vonis. “Sepanjang 2020, ICW mencatat setidaknya 14 terpidana dikurangi hukumannya pada tingkat peninjauan kembali. Praktik ini sebenarnya bermula ketika Hakim Agung Artidjo Alkostar resmi purnatugas. Hal itu seakan langsung dimanfaatkan terpidana untuk mengajukan PK agar hukumannya dapat dikurangi,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, dilansir Detik.
Beberapa nama yang coba ambil kesempatan adalah mantan Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud (6 tahun menjadi 4,5 tahun), mantan Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi (6 tahun menjadi 4 tahun), mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman (15 tahun menjadi 12 tahun), dan mantan anggota DPR RI Anas Urbaningrum (14 tahun menjadi 8 tahun).
Nama Artidjo disebut ICW karena mengingat mantan hakim agung itu emang jadi momok buat koruptor. Almarhum dikenal kerap memberikan vonis yang lebih berat daripada putusan di pengadilan tingkat sebelumnya, untuk kasus korupsi oleh pejabat publik. Ia bahkan kerap mencabut hak politik terpidana korupsi serta memerintahkan penahanan langsung. “Saya sebetulnya ingin menghukum mati koruptor, terus terang saya sangat ingin. Tapi secara yuridis itu sangat sulit,” kata Artidjo dalam wawancara dengan Najwa Shihab, pada 2018 lalu.
Misalnya pada 2011. Di tingkat kasasi, Artidjo menghukum pengusaha Anggodo Widjojo—salah satu aktor kasus Cicak vs Buaya—dengan vonis 10 tahun penjara dalam kasus percobaan penyuapan anggota KPK. Padahal di pengadilan tinggi Anggodo hanya mendapat vonis 5 tahun penjara. Nasib sama dialami politisi Partai Demokrat Angelina Sondakh ketika mengajukan kasasi ke MA pada 2013, agar hukuman diringankan. Artidjo justru menambah hukumannya menjadi 12 tahun penjara setelah sebelumnya hanya 4,5 tahun.