Pesan singkat itu masuk pada 3 Februari 2021, hampir tengah malam. Nama pengirimnya cukup familiar karena kami beberapa kali melakukan kontak. Isi pesan dalam Bahasa Inggris itu membuat hati siapapun bakal mencelos. “Seorang pengungsi dari Myanmar melakukan bunuh diri di Makassar Indonesia,” tulisnya.
Ro Shofiqul Islam adalah salah satu pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia pada 2013. Rasa frustasi selama lebih dari tujuh tahun membuncah malam itu, usai saudara satu etnisnya memilih mengakhiri hidup. Masih dalam Bahasa Inggris, Shofiqul melanjutkan pesannya: “Proses resettlement mendorong banyak pengungsi ke jurang depresi.”
Keputusan bunuh diri pengungsi Rohingya bernama Munir pada Februari itu diduga kuat dilatarbelakangi oleh depresi berat. “Dia gantung diri gara-gara IOM (International Organization of Migration) dan UNHCR (United Nations High Commissioner of Refugees),” kata Shofiqul.
Sempat muncul rumor uang bulanan Munir dipotong sebesar Rp500 ribu, sehingga semakin mengikis niatnya untuk bertahan hidup. IOM merespons rumor tersebut dengan mengatakan kepada VICE, bahwa “tunjangan bulanan untuk semua pengungsi tetap, tidak terpengaruh selama pandemi, termasuk pengungsi Rohingya yang bunuh diri pada awal Februari lalu”.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, ada sekitar 13.745 pengungsi yang ada di Indonesia, di antaranya termasuk 921 pengungsi Rohingya. Angka tersebut mencakup hampir 400 orang yang tiba di Aceh dari Bangladesh pada 2020 lalu. Awal tahun ini, muncul laporan yang menyebut ratusan pengungsi itu melarikan diri dari Lhokseumawe, karena tujuan utama mereka adalah Malaysia.
Bagi para pengungsi Rohingya yang ada di Indonesia, nasib mereka terombang-ambing karena tidak jelas kapan berangkat ke negara ketiga. Apalagi, selama di Indonesia mereka dilarang untuk bersekolah atau bekerja. Mayoritas pengungsi hanya bergantung kepada uang sebesar Rp1.250.000 per bulan yang diberikan IOM.
Penantian yang sangat melelahkan membuat mereka mempertanyakan keseriusan UNHCR memproses keberangkatan pengungsi dari Indonesia.
“UNHCR Indonesia tidak peduli terhadap situasi yang dialami pengungsi. Kami ingin semua aktivis menyuarakan masalah pengungsi dan mengeluarkan kami dari tepian neraka ini,” pinta Shofiqul.
Lari dari Konflik di Myanmar
Konflik sudah terjadi sejak lama di Myanmar, negara asal pengungsi Rohingya. Namun, eksodus terbesar terjadi pada 2017 saat ratusan ribu warga etnis Rohingya melarikan diri lantaran rumah-rumah mereka dibakar dan perempuan-perempuannya diperkosa personel militer. Sebagian menuju Bangladesh dan kini bermukim sementara di kamp pengungsi Cox Bazar. Sebagian lain melalui perjalanan laut ke Thailand atau Malaysia. Ada juga yang berusaha menjangkau teritori Australia, dengan transit terlebih dulu di Indonesia.
Tetapi, negara-negara tersebut tak selamanya langsung mempersilahkan pengungsi Rohingya untuk menginjakkan kaki. Pada 2015, Indonesia menjadi salah satu yang menolak mengizinkan mereka masuk ke dalam wilayah ketika kondisi kapal yang digunakan sudah sangat buruk, begitu pun dengan logistiknya.
“Untuk suku Rohingya, sepanjang dia melintas Selat Malaka, kalau dia kesulitan di laut, maka wajib dibantu. Kalau ada sulit air atau makanan, kami bantu, karena ini terkait human. Tapi, kalau mereka masuki wilayah kita, maka tugas TNI untuk menjaga kedaulatan,” tutur Moeldoko, yang saat itu menjadi Panglima TNI.
Padahal, meski Indonesia tak menandatangani Konvensi Pengungsi 1951, setiap negara tidak boleh menolak atau mengusir pengungsi. Ini dikenal sebagai prinsip non-refoulement. Malaysia dan Thailand pada waktu itu tak luput dari kecaman internasional, karena turut memilih memalingkan muka dari kesusahan yang dihadapi oleh para pengungsi yang terombang-ambing di laut lepas.
Sementara, pengalaman yang dilalui Shofiqul sedikit berbeda. Ia sempat ditahan militer Thailand dan dihajar habis-habisan. Kemudian, pemuda 26 tahun itu dan sejumlah pengungsi Rohingya lain dimasukkan ke dalam kapal yang ditarik ke laut bebas. Kapal yang mereka tumpangi ditemukan oleh warga Aceh. Tidak cukup sampai di situ, dia masih harus ditahan selama setahun oleh imigrasi di Manado sebelum akhirnya dipindahkan ke Makassar.
Pengalaman-pengalaman itu berdampak secara langsung terhadap kondisi mental para pengungsi Rohingya. Apalagi tak sedikit dari mereka adalah laki-laki yang masih dalam usia produktif. Bukan hanya terbatasnya jenis aktivitas yang bisa dilakukan, ketidakpastian soal masa depan membuat kesehatan mental mereka terganggu.
Hanya Bisa Membunuh Waktu
Rasa frustasi juga dirasakan oleh Ahmad (bukan nama sebenarnya), salah satu pengungsi Rohingya yang sekarang tinggal di rumah susun Puspa Agro, Kota Sidoarjo, Jawa Timur. Laki-laki berusia 20-an ini menolak disebut identitas aslinya karena alasan keamanan. Dia khawatir bicara ke media akan kian mempersulitnya untuk mendapatkan negara ketiga.
Tetapi, sulit dipungkiri realitasnya dia tetap tidak tahu sampai kapan harus menjalani hidup tanpa masa depan di Indonesia. “Sampai putus asa. Sampai-sampai aku mau pergi ke mana gitu lho, bingung,” tuturnya. Dia pun khawatir apakah di sisa hidupnya bisa bersatu lagi dengan keluarga.
Rasa geram dan hampir putus terdengar dari suaranya saat melakukan wawancara dengan VICE. Apalagi listrik di rumah susun (rusun) yang ditinggali para pengungsi itu sempat tidak menyala selama dua hari. Mereka sulit tidur sebab cuaca panas dan banyak nyamuk. Aliran air bersih juga terbatas di tengah situasi ini.
“[Lembaga-lembaga yang mengurus pengungsi] sekarang itu sudah enggak peduli lagi sama orang pengungsi. Sama sekali enggak pernah dihargai sebagai manusia. Mereka enggak mikirin kalau kami ini manusia,” kata Ahmad dalam Bahasa Indonesia yang lancar. “400 orang dibiarin enggak bisa tidur, panas, banyak nyamuk. Terus mau mandi pun enggak bisa. Orang mau berak, mau pipis, susah juga.”
Tidak seperti Shofiqul yang sekarang aktif di sebuah sanggar kebugaran dan bela diri, Ahmad sama sekali tidak memiliki aktivitas. Dia mengaku sehari-hari lebih banyak menghabiskan waktu di rusun, meski kadang-kadang sempat berjumpa beberapa temannya.
Sudah hampir delapan tahun di Indonesia, dia paham betul aturan pengungsi dilarang untuk bekerja maupun sekolah. Beberapa bulan lalu, kata Ahmad, polisi dan imigrasi mendatangi tempat tinggal mereka untuk memperingatkan tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan pengungsi. Salah satunya adalah penerapan jam keluar-masuk mulai pukul 06.00 hingga 22.00.
Mereka merasa kebijakan ini sangat tidak adil. “Kalau kita terus-terusan di dalam [rusun], pasti kebanyakan orang akan stres. Jadi, walaupun ada peraturan, tapi kan enggak harus ketat seperti itu. Enggak harus dibiarkan kan, supaya otak kita ini bekerja, biar bisa tetap refreshing ke mana atau cari kesibukan apa. Biar orang-orang enggak stress,” tegasnya.
Ahmad sebelumnya pernah bekerja serabutan. Bukan hanya karena dia sangat perlu aktivitas yang bisa mengalihkan pikiran-pikiran beracun di kepalanya, tetapi juga terdesak oleh masalah ekonomi. Orangtuanya yang kini di Bangladesh sakit-sakitan dan masih memerlukan bantuan darinya. Hanya saja, dia terpaksa berhenti setelah kantor imigrasi dan IOM mengingatkan para pengungsi bahwa mereka tidak punya hak bekerja.
“Kalau seperti ini kan pasti stress orang-orang ini. Bisa bunuh diri seperti yang di Makassar. Kenapa dia bisa bunuh diri? Ya itu gara-gara enggak boleh ini, enggak boleh itu. Terus kita ini sebagai manusia, kalau masa depan kita enggak jelas, tetap di dalam kamar, ya gimana?” kata Ahmad dengan nada frustrasi.
Kuota Penerimaan Negara Ketiga Terlampau Kecil
Masalah waktu tunggu pengungsi yang tidak jelas disoroti UNHCR. Awal tahun ini, badan PBB yang mengurusi pengungsi itu melaporkan bila tahun 2020 tercatat sebagai periode dengan penerimaan pengungsi terendah selama dua dekade terakhir. Dari 1,44 juta pengungsi di seluruh dunia, hanya 22.770 yang telah berangkat ke negara ketiga. Penyebabnya ada dua: pandemi Covid-19 dan sedikitnya jumlah kuota yang diterapkan banyak negara.
“Kami mendesak pemerintah-pemerintah untuk menambah program [penerimaan pengungsi] mereka tahun ini, menawarkan lebih banyak tempat, mempercepat pemrosesan kasus dan membantu kami menyelamatkan nyawa-nyawa mereka yang sangat membutuhkan dan berisiko besar,” tutur perwakilan UNHCR Gillian Triggs.
VICE berusaha menghubungi salah satu perwakilan UNHCR di Indonesia, tetapi belum mendapatkan jawaban hingga artikel ini dilansir. UNHCR pernah mengungkap ada 663 pengungsi yang transit di Indonesia telah berangkat ke negara ketiga pada 2019. Mayoritas diterima bermukim di Australia dan Kanada. Hanya saja, jumlah tersebut masih sedikit.
UNHCR mengakui ppermasalahannya ada pada pemerintah negara-negara maju yang menandatangani Konvensi Pengungsi. “Kuota resettlement yang diberikan negara-negara maju menurun secara signifikan dengan banyak alasan seperti politik, rasisme, Islamofobia. Mereka jadi tidak mau mengambil pengungsi, termasuk dari Indonesia,” ujar Asisten Bidang Perlindungan UNHCR Indonesia Isa Soemawidjaya.
Salah satu negara yang selama beberapa tahun terakhir sangat anti-pengungsi adalah Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinan Donald Trump, negara tersebut memutuskan hampir menutup erat pintu bagi penerimaan pengungsi. Misalnya, data antara 2015 hingga 2016 menyebut ada sekitar 7.000 pengungsi Rohingya yang ditempatkan di Amerika Serikat. Pada 2019, jumlahnya anjlok menjadi 593 orang saja.
Menurut juru bicara Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta Michael Quinlan, posisi Trump tidak diteruskan oleh Joe Biden yang menggantikannya sebagai presiden. Saat dihubungi VICE, Quinlan merespons dengan merujuk kepada Perintah Eksekutif yang dikeluarkan pada 4 Februari 2021.
“Pemerintahan saya semestinya mencari kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan akses bagi program pengungsi bagi orang-orang yang lebih rentan terhadap persekusi, termasuk perempuan, anak-anak, dan individu-individu yang menghadapi risiko persekusi yang berkaitan dengan gender, ekspresi gender, atau orientasi seksual mereka,” kata Biden.
Masalah Mental Pengungsi Bukan Prioritas
Pemerintah Indonesia sendiri baru mengakui dampak psikologis, seperti trauma, yang dialami pengungsi akibat konflik pada 2006. Namun, subyek yang dimaksud dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 048/Menkes/SK/I/2006 adalah warga Indonesia, bukan pengungsi yang berasal dari luar negeri.
Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib mengklaim Indonesia sudah menempuh “extra miles” dengan menampung para pengungsi di dalam negeri. Apa yang dialami oleh mereka, lanjut dia, sudah bukan merupakan urusan pemerintah lagi. Ketika VICE bertanya mengenai apakah ada bantuan untuk meringankan beban mereka selama masa tunggu, Kemlu menjawab itu merupakan tanggung jawab UNHCR.
Menurut Gading Gumilang Putra, National Information and Advocacy Officer dari Jesuit Refugee Service (JSR), persoalan yang dialami oleh pengungsi memang bertumpuk. Satu yang berada di daftar teratas, tetapi tidak menjadi prioritas, adalah soal kesehatan mental. Padahal, sejak meninggalkan negara mereka hingga berada di negara transit, stress dan trauma yang mereka rasakan sangat tinggi.
“Jadi, saya rasa masalah mental health itu bagi pengungsi adalah sesuatu yang sifatnya sangat mengakar, dan mereka sangat rentan untuk mendapatkan itu [masalah kesehatan mental] dalam berbagai tahapan dalam hidup mereka,” kata Gading saat diwawancara VICE.
Lembaga non-pemerintah yang memiliki misi untuk menjadi teman bagi para pengungsi itu melihat masalahnya sangat rumit. Dia mengatakan: “Kalau menurut analisis kami, kesehatan mental belum dipahami di Indonesia pada umumnya. Kesadaran akan kesehatan, baik itu di level publik Indonesia, apalagi di kalangan pengungsi.” Minimnya kesadaran ini terlihat dari tidak adanya layanan konseling psikolog gratis untuk para pengungsi.
Ahmad pun mengaku bahwa selama dia berada di Indonesia, tidak pernah sekali saja mendengar adanya akses bantuan kesehatan mental. “Enggak ada [psikolog]. Saya enggak pernah dengar itu,” kata dia. Artinya, apa pun situasi yang membuatnya depresi, dia harus mengatasinya sendiri. “Kalau peraturan seperti yang sekarang di Agro, kalau itu terus-terusan lanjut, bisa juga seperti Makassar.”
Sementara, dalam keterangan resminya, Kepala Misi IOM di Indonesia Louis Hoffman menyebut pihaknya “menyediakan layanan atau menyelenggarakan kegiatan mental health and psychosocial support (MHPSS) multi-layered untuk kurang lebih 8.000 pengungsi” yang diantaranya merupakan etnis Rohingya. Misalnya, pemberian keterampilan vokasi dan rujukan ke psikolog serta psikiater. Namun, lanjut IOM, layanan itu bisa bervariasi dari wilayah satu dengan lainnya.
JRS sendiri menilai perlu melihat masalah ini secara luas. Kesehatan fisik masih dianggap jauh lebih penting dibandingkan kesehatan mental, sehingga semua organisasi yang bergerak membantu pengungsi fokus pada persoalan itu. Ada juga faktor tidak cukupnya kapasitas lembaga-lembaga tersebut, termasuk dari sisi finansial.
“Dari hampir 14.000 pengungsi di Indonesia, 13.500-an, ditangani lembaga secara kesehatan maupun tempat tinggal oleh IOM itu ada sekitar 7.000-an lebih. Masih ada sekitar 6.000-an sisanya yang tidak di bawah naungan siapa pun secara finansial. Sekitar 500-an di bawah NGO (organisasi non-pemerintah) dan tidak semua langsung dapat bantuan kesehatan,” jelas Gading.
Dia percaya perlu ada perubahan paradigma kita semua dalam melihat persoalan pengungsi. Tanggung jawab bukan hanya ada pada negara atau organisasi kemanusiaan saja, melainkan juga semua anggota masyarakat sesuai kemampuan masing-masing. Pemerintah pun bisa bergandengan tangan dengan sektor-sektor lain untuk memberi kesempatan pada para pengungsi agar lebih berdaya.
“Saya kira ketika kita tidak melihat pengungsi sebagai manusia yang kebutuhan, kapasitas, juga risikonya kompleks, ya kita enggak akan pernah selesai mengerjakan isu pengungsi,” tegasnya.
Rosa Folia adalah staff writer VICE Indonesia
Laporan ini didukung oleh hibah dari Aliansi Jurnalis Independen dan The International Organization for Migration