Berita  

Pengguna HT di Pinggir Jalan Tak Selalu Intel Seperti di Meme, Ini Profesi Asli mereka

pengguna-ht-di-pinggir-jalan-tak-selalu-intel-seperti-di-meme,-ini-profesi-asli-mereka

Hampir semua pengguna media sosial, terutama Twitter, seharusnya sempat melihat salah satu meme kocak sekaligus misterius memperlihatkan seorang penjual nasi goreng atau tukang bakso memegang handie talkie (HT). Biasanya foto yang diambil secara sembunyi-sembunyi itu diikuti dengan caption “kijang satu, ganti” atau “ninu-ninu”. Ini salah satu meme yang sampai sekarang tidak pernah mati di Tanah Air, alias jadi dead meme.

Meme tersebut sangat omnipresent sampai anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, pernah memanfaatkannya untuk menakut-nakuti netizen yang mencoba melakukan penipuan lewat Instagram. “Hati-hati kalo tiba-tiba di lingkungan rumah banyak penjual nasi goreng ato sate tapi rambutnya cepak dan bawa HT,” tulis Kaesang di Twitter.


Faktor yang membuat banyak netizen Indonesia merasa meme ini tak lekang zaman adalah unsur misterinya. Adanya tukang jualan makanan di kaki lima yang membawa HT, tentu pemandangan tak lazim yang bisa menimbulkan tanda tanya. Netizen alhasil sering menduga, bahkan mungkin percaya, mereka merupakan intelijen aparat kepolisian, atau malah personel militer.

Alex Widodo tertawa saat VICE menceritakan ini pada suatu malam di akhir Maret lalu. Bersama seorang rekannya, pria paruh baya itu mengaku sudah familiar dengan sebutan-sebutan seperti intel atau ‘cepu’ yang dilabelkan masyarakat. Ini lantaran dia aktif sebagai Ketua Pokdarkamtibmas di Kelurahan Grogol Utara, Jakarta Selatan. 

“Iya, banyak [yang menyebut intel]. Banyak seperti itu. Biasanya anak-anak muda,” kata Alex. “Kita biasa kan kalau malam libur, di jalan arteri ini kan sering buat trek [balap] liar, kita melintas aja, pakai seragam, mereka sudah bubar. ‘Ada cepu, ada cepu’ gitu.” Padahal, menurut dia, apa yang dikerjakannya bukanlah tugas mata-mata.

Pokdarkamtibmas adalah singkatan dari “Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat”. Ini merupakan organisasi yang porosnya ada pada keterlibatan warga sipil dalam menjaga wilayahnya. Untuk melakukan ini, mereka membekali diri dengan HT yang bisa dibawa ke mana saja, misalnya ketika sedang berjualan nasi goreng.

Alex menjelaskan Pokdarkamtibmas sudah berdiri sejak 2005 dan sebenarnya ada di hampir seluruh daerah di Indonesia. Secara sederhana, tanggung jawab mereka adalah sebagai mitra kepolisian dalam mengamankan lingkungan sekitar tempat tinggal dan menginformasikan kepada kantor polisi terdekat jika ada suatu peristiwa berbahaya.

Selain HT, warga yang menjadi anggota Pokdarkamtibmas juga diwajibkan memakai seragam khusus bila bertugas. Saat VICE bertemu Alex di sebuah lokasi yang menjadi posko Pokdarkamtibmas, dia mengenakan salah satu seragam tersebut lengkap dengan topinya. Di dada bagian kanan tertulis nama lengkapnya. HT miliknya juga diletakkan di atas meja, berjaga-jaga kalau ada informasi penting yang harus didengar.

“Misalnya, di wilayah A kelihatan banyak kerumunan nih, disinyalir akan mengadakan balap liar, tolong bantuan merapat. Teman-teman yang jauh merapat, kita pantau dulu, persuasif kita dekati,” kata Alex. “Andaikan mereka enggak bisa dibilangin, baru kita lapor ke polisi.”

Jika seseorang berminat bergabung dengan Pokdarkamtibmas, tidak terlalu banyak syarat yang harus dipenuhi. “Gampang aja ya. Jadi, berdomisili di wilayah kelurahan tersebut untuk mendapatkan KTA [Kartu Tanda Anggota], kemudian berusia 20 tahun ke atas. Yang jelas cinta NKRI, seperti itulah, sadar akan adanya ketertiban dan keamanan di wilayah,” urainya.

Di Kelurahan Grogol Utara sendiri ada 65 anggota Pokdarkamtibmas, tetapi tidak seluruhnya aktif. Ini karena mereka juga memiliki kesibukan masing-masing, sehingga keanggotaan yang bersifat sukarela tersebut tidak memberikan sanksi apapun bagi yang kesulitan berpartisipasi dalam apel atau acara lain.

Tapi bagi Jamal, kegiatan ini sudah seperti profesi utamanya. Sejak menjadi bagian dari organisasi itu pada 2008, dia mendedikasikan waktu dan uang untuk aktif di dalamnya. Supaya bisa memakai satu seragam dan topi Pokdarkamtimbas, Jalam sampai harus merogoh kocek sebesar Rp200 ribu dan Rp75 ribu. HT yang dia pakai berkomunikasi pun dibeli sendiri seharga Rp500 ribu.

“Seragam saya ada lebih dari 10,” kata Jamal sambil menunjukkan beberapa foto dirinya memakai seragam berbeda-beda dari ponsel pribadinya kepada VICE. Ini bukan perkara enteng bagi Jamal yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga keamanan di kawasan perumahan di Grogol Utara. Beruntung organisasinya memberikan keringanan bagi anggota yang kesusahan membayar tunai untuk bisa mencicil.

Polri, sebagai instansi yang mengeluarkan surat keputusan resmi pembentukan Pokdarkamtibmas, tidak memiliki anggaran mendanai atau sekadar memberikan subsidi bagi mitra mereka.

“Belum pernah ada [anggaran dari kepolisian]. Kalau ada, wah senang sekali ini teman-teman. Hahaha,” ujar Alex. Kesulitan keuangan akhirnya diakali dengan mengadakan iuran bulanan sebesar Rp20 ribu per anggota. 

“Ada kas. Misalnya, teman yang belum punya HT, pengin punya HT, kita kreditin. Seragam juga gitu. Enggak semua kita kan mampu. Ada yang hansip, tukang bangunan,” imbuh pria yang sering disapa Ambon itu, merujuk pada kode komunikasi antara Pokdarkamtibmas dengan polisi.



Gunanto, anggota Pokdarkamtibmas lainnya, mengatakan sebenarnya selama masa pandemi ini banyak rekannya merasa kesulitan untuk membayar iuran itu. “Ya kita dorong lah sedikit-sedikit agar tetap membayar, meski harus dimaklumi juga,” kata dia. 

Lalu, mengapa mereka memutuskan bergabung dengan Pokdarkamtibmas meski tahu ada konsekuensi finansial yang harus ditanggung sendiri?

“Saya lihat Pokdarkamtibmas kan sosialnya bagus, tujuannya bagus yaitu untuk membuat warga merasa aman. Jadi, kenapa enggak?” tutur Sayuti yang baru menjadi anggota selama dua tahun terakhir. Beberapa lainnya juga beralasan serupa.

“Demi kepentingan rakyat lah, demi kepentingan lingkungan, menjaga keamanan. Kan kita kalau keamanan bisa bantu polisi. Semua kemauan sendiri,” kata Jamal. Dia merasa bersyukur sebab dari keanggotaan ini dia mempunyai sumber penghasilan.

“Ya, alhamdulillah kalau orang-orang minta jaga, dapat lah uang capek, Rp200 ribu gitu. Ada hajatan, misalnya, Pokdar disuruh bantu ngawasin. Kalau Pokdar enggak pernah minta, itu kebijaksanaan dari yang punya acara,” jelasnya. “Saya dari nganggur sampai kerja begini ya dari Pokdar.”

WhatsApp Image 2021-04-04 at 9.10.10 PM.jpeg
Anggota pokdarkamtibmas di Grogol, Jaksel, menggelar apel malam sebelum berkeliling memantau prokes pandemi. Foto oleh Rosa Folia/VICE

Untuk lebih memperjelas seperti apa tugas Pokdarkamtibmas, awal April lalu Alex mengajak VICE mengikuti apel malam pada pukul 21.00 WIB di Kantor Polisi Kebayoran Lama. “Apel enggak wajib. Kalau tadi hujan juga saya suruh di wilayah masing-masing aja,” tutur AIPTU Kasim sebagai salah satu pembina Pokdarkamtibmas.

Lewat apel yang berlangsung sekitar 15 menit tersebut, polisi menjelaskan apa saja agenda yang akan mereka lakukan. Malam itu, rupanya mereka akan melakukan patroli bersama untuk menertibkan para pelanggar protokol kesehatan. Salah satu titik yang menjadi target adalah penjual sate taichan yang berderet di area kaki lima Simprug.

Ketika Satpol PP yang dikawal polisi memberikan sanksi kepada para penjual, enam anggota Pokdarkamtibmas yang datang bersama VICE hanya melihat dari jauh. 

“Pokdar ini tugasnya tidak bisa menangani ya, tapi hanya mengamankan dan melaporkan. Seperti itu. Misalnya ada kejadian pencurian. Untuk menjaga supaya pencurinya tidak diamuk massa, itu kita amankan. Kalau ada pos kita masukkan pos, baru kita lapor. Lapor ke polisi dulu melalui HT, kita panggil, mereka datang, udah gitu aja,” kata Alex. 

Tetapi, karena tidak ada kewajiban jam jaga, anggota Pokdarkamtibmas tak terikat pada jadwal tertentu. Misalnya, Gunanto yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang potong ayam. Dia sering membawa HT miliknya saat bekerja karena ingin mengantisipasi seandainya ada hal darurat yang harus dia laporkan kepada polisi. 

Sama halnya dengan Jito yang menjadi seorang satpam di sebuah bank. Sejak bergabung dengan Pokdarkamtibmas, dia kerap menenteng dua HT pada waktu bersamaan. “Kalau ada peristiwa kejahatan, lapor pakai HT pasti langsung diangkat oleh polisi. Bisa memudahkan koordinasi dengan Pokdar sub sektor lainya juga,” ujarnya.

Kasim mengapresiasi kerelaan para anggota organisasi tersebut saat menjalankan peran mereka. Dia juga menyadari ada masyarakat yang menyebut Pokdarkamtibmas sebagai mata-mata polisi, padahal menurutnya, mereka tidak ada bedanya dengan hansip atau pegiat siskamling. 

“Itu salah paham. Pokdar itu adalah sebagai pembantu Polri menghasilkan informasi kalau di wilayahnya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” tandasnya.