Berita  

Pengecatan Ulang Pesawat Kepresidenan Jokowi Saat Pandemi Memicu Kritik

pengecatan-ulang-pesawat-kepresidenan-jokowi-saat-pandemi-memicu-kritik

Pengecatan ulang pesawat Kepresidenan mendapat kritik karena dilakukan ketika Indonesia sedang dalam kondisi buruk akibat pandemi. Keputusan tersebut dianggap tidak sensitif dan hanya sebagai bentuk penghamburan uang saat semestinya bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak.

Kritik itu disampaikan oleh pengamat penerbangan Alvin Lie lewat akun media sosial pribadinya. Dia menyebut pemerintah justru “foya-foya” dengan mengubah warna badan pesawat yang tadinya biru muda menjadi merah dan putih. Menurutnya, biaya yang dikeluarkan untuk pesawat tipe B737-800 antara US$100 ribu hingga US$150 ribu, kurang lebih Rp1,4 miliar sampai Rp2,1 miliar.


Mayoritas netizen setuju dengan pendapat Alvin, yang melihat pengecatan ulang tidak perlu dilakukan pada masa sulit seperti sekarang. Namun, Sekretariat Presiden membantah bahwa langkah itu adalah pemborosan sebab tidak mengambil jatah anggaran penanganan pandemi Covid-19.

“Pengecatan pesawat BBJ 2 (pesawat Kepresidenan) sudah direncanakan sejak tahun 2019 terkait dengan perayaan HUT ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 2020,” kata Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono melalui keterangan pers pada Selasa (3/8).

Karena pada 2019 belum masuk jadwal perawatan rutin, pengecatan ulang akhirnya dilakukan bersamaan dengan perawatan pada 2021 sesuai “interval waktu yang sudah ditetapkan dan harus dipatuhi” berdasarkan rekomendasi pabrik. Heru mengatakan ini membuat waktunya “lebih efisien”. Tujuan mengganti warna pesawat Kepresidenan, kata dia, adalah agar “dapat memberikan kebanggaan bagi bangsa dan negara”. 

Tidak diketahui bagaimana proses pengambilan keputusannya sampai pada kesimpulan bahwa warna cat pesawat yang hanya bisa dinaiki oleh presiden, ibu negara, dan segelintir orang lainnya mampu membuat masyarakat bangga. Tentu saja dengan konteks ketika banyak orang sedang tertatih-tatih menghadapi infeksi virus dan kesulitan ekonomi.

Heru menegaskan dana untuk merawat pesawat sudah masuk dalam APBN. “Selain itu, sebagai upaya untuk pendanaan penanganan Covid, Kementerian Sekretariat Negara juga telah melakukan refocusing anggaran pada APBN 2020 dan APBN 2021 sesuai dengan alokasi yang ditetapkan Menteri Keuangan,” jelasnya. 

Masalah pesawat Kepresidenan selalu menjadi sorotan publik. Indonesia membeli pesawat Boeing 737-800 itu saat masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Harga yang harus dibayar oleh negara kala itu adalah Rp912 miliar. 

Sejumlah pihak berpendapat presiden tidak memerlukan sebuah pesawat khusus untuk melakukan kunjungan. SBY pun mendapatkan somasi dari beberapa lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi APBN Untuk Kesejahteraan Rakyat terkait transparansi anggaran negara. Pembelian pesawat dinilai sebagai Perbuatan Melanggar Hukum (PMH).

“Selain Presiden, Koalisi juga mensomasi pimpinan DPR RI, Ketua, Wakil Ketua beserta seluruh anggota Badan Anggaran DPR RI, Menteri Sekretaris Negara RI, Menteri Keuangan RI, dan pimpinan fraksi DPR RI,” tulis Koalisi seperti dilansir dari situs resmi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).

Pengamat penerbangan Duddy Sudibyo menyarankan alih-alih membeli, sebaiknya pemerintah menyewa pesawat Garuda Indonesia saja karena lebih murah. Negara tidak perlu menggaji pilot, mengeluarkan biaya untuk perawatan dan bahan bakar apabila memakai pilihan tersebut. Dia memperkirakan perawatan pesawat bisa memakan 30 persen dana operasional.

Pada 2014, waktu pesawat yang dipesan tiba di dalam negeri, politisi PDIP Tubagus Hasanuddin mempertanyakan tentang alasan memakai warna biru muda yang dilihatnya mirip dengan warna partai SBY yaitu Demokrat. Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menjawab pemilihan warna lebih berdasarkan pertimbangan keamanan. Presiden, kata dia, tidak ikut campur tangan.

“Mengenai warna, saya kira bukan Presiden yang menentukan,” ujarnya

Warna biru yang mirip dengan langit dinilai membantu menghindarkan pesawat dari ancaman-ancaman tertentu. Kemudian, dia mengatakan penentuan sudah berdasarkan polling oleh para pejabat dengan memilih 14 warna yang disodorkan. Dia tidak merinci pejabat lembaga mana atau berasal dari partai apa yang dilibatkan.

“Saya juga undang beberapa pejabat, mana yang lebih dipilih. Jadi, semacam polling. Lebih dari separuh kemudian memilih warna ini dan arsipnya masih ada untuk pemilihan alternatif itu,” imbuhnya.