JAKARTA-Ketua Dewan Pers Prof Azyumardi Azra mengingatkan adanya potensi jeda waktu yang cukup lama terkait jadwal Pemilihan Presiden (Pilpres) dan pelantikan presiden.
Jadwal pemilihan pada 14 Februari 2024, sedangkan Presiden terpilih 20 Oktober 2024. Rentang waktu yang cukup panjang ini menimbulkan sejumlah masalah. Presiden Joko Widodo yang sedang menjabat tak ubahnya seperti lame duck alias ‘bebek lumpuh’.
Dia tak bisa lagi mengeluarkan kebijakan yang efektif dan strategis karena sudah ada presiden dan wakil presiden baru, meskipun belum dilantik.
Karenanya ada usulan untuk Pemisahan Jadwal Pilpres dengan Pileg: Tinjauan Strategis”, yang digelar oleh Webinar Moya Institute, Jumat (24/6).
Webinar tersebut menghadirkan narasumber, Prof Azyumardi Azra (Cendekiawan/Ketua Dewan Pers); Fahri Hamzah (Politisi/Tokoh Reformasi) dan Dr Sirojuddin Abbas (Direktur Eksekutif SMRC). Dengan penanggap, Prof Imron Cotan (Pemerhati isu-isu strategis dan global). Mereka juga meminta agar jeda waktu pengumuman dan pelantikan, yang dalam istilah politik disebut periode Bebek Lumpuh atau lame duck, tidak spesifik ke presiden Jokowi dan pemerintahan. Serta berharap bagaimana memisahkan pilpres dan pileg. Atau bahkan membuat konsensus nasional supaya situasi lame duck tidak terjadi. Karena itu, sejumlah kalangan mengusulkan agar jadwal pelaksanaan Pilpres 2024, digelar tidak terlalu lama waktunya dari pelantikan presiden terpilih.
Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra mengatakan harusnya pelaksanaan pileg dan pilpres dipisahkan 3 bulan. Jadi bisa konsolidasi.
Lebih lanjut dia juga mengkritik jeda waktu yang lama antara pengumuman hasil pilpres dengan pelantikan. “Kalau saya pilpres dan pileg dipisahkan. Pileg dulu digelar, baru pilpres. Misalnya, Febuari pileg, Agustus pilpres. Sehingga tidak jadi keanehan, ada masa jeda waktu jabatan yang lama,” jelasnya.
“Jadi kita punya dua presiden, presiden yang masih menjabat, tapi tidak bisa mengambil kebijakan (strategis), karena ada presiden terpilih. Dengan demikian, bukan tidak mungkin dalam waktu 8 bulan ada disorientasi,” imbuhnya.
Ramdansyah Pengamat Pemilu dan Pimpinan Rumah Demokrasi yang diwawancarai terpisah menyampaikan bahwa upaya untuk menghindari lame duck merupakan solusi tepat. Usulan sejumlah pengamat, akademisi dan Guru Besar yang mengisi acara webinar memang dapat mengatasi masalah. Tetapi, Ramdansyah menyayangkan bahwa solusis itu tidak seperti moto Pegadaian, “mengatasi masalah tanpa masalah”, tetapi justru menambah masalah, karena tahapan Pemilu 2024 sudah ditetapkan. Tahapan ini sudah tertuang dalam Peraturan KPU No. 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024.
Ramdansyah menilai bahwa terjadinya bebek lumpuh tidak banyak terjadi di sejumlah negara maju untuk itu dapat juga disiasati di negara kita. Misalkan, dengan tahapan yang ideal seperti harapan para pengamat dalam Webinar Moya Institute. Bahkan, Ramdansyah menambahkan bahwa idealnya Presiden itu dilantik pada akhir tahun seperti di Bulan Desember, sehingga tidak menganggu sejumlah proyek pada tahun anggaran berjalan.
Ramdansyah memberikan catatan tambahan adanya Peraturan Pengganti UU atau Perppu terbatas yang dapat memperbaiki ketidaksingkronan jadwal Pemilu Legislatif/Pilpres dan Pilkada. Karena peraturan perundangan yang digunakan masing-masing berbeda, maka mekanismenya pasti berbeda. Karenanya potensi jadwal yang sudah ditetapkan dapat terganggu.
Perubahan Perppu menjadi keniscayaan, karena terjadi pemekaran Daerah Pemilihan (Dapil) di Papua dalam Pemilu 2024. Karenanya, Ramdansyah mendorong Perppu terbatas pada 3 hal. Pertama, ketidaksinkronan jadwal Pemilu dan Pilkada. Kedua, adanya pemekaran Dapil Papua. Adapun usulan untuk menghindari pemerintahan yang menjadi bebek lumpuh harus menjadi agenda legislatif terpilih agar fenomena bebek lumpuh dan pelantikan pada akhir tahun anggaran bisa menjadi bahasan open legal policy DPR RI mendatang.
Namun Ramdansyah memberikan catatan terkait perppu tersebut agar tetap terkait tahapan Pemilu Serentak 2024 dan tidak melebar ke sejumlah isu substansi lain. Pemekaran Dapil Papua juga harus menjadi bagian utuh dari adanya Perppu.
Pembentuk Undang-Undang Pilkada Nomor 10 tahun 2016, kata dia, belum punya konsep keserentakan pemilu. Demikian pula UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sama sekali mengabaikan potensi keserentakan dengan Pilkada pada tahun 2024. “Diharapkan perppu dapat menyelesaikan potensi chaos (kekacauan) ini,”pungkasnya.