Kalian sedang membaca seri Pengakuan VICE, rubrik dalam format sudut pandang orang pertama menceritakan sisi tergelap kehidupan yang pernah mereka alami. Dalam artikel kali ini, kalian membaca pengakuan dari Deni Goler, nama alias seorang pemuda asal Yogyakarta yang pernah terjerat judi slot yang nyaris menghancurkan masa depannya. Kisah Deni dituturkan ulang oleh Ananda Badudu, yang menjadi kontributor bagi VICE Indonesia.
Di usia 21 tahun, saya sudah memiliki sepeda motor, laptop, dan gerobak angkringan untuk usaha, hasil lungsuran orang tua. Saya tadinya yakin bakal mampu hidup mandiri meski masih kuliah. Semua harapan itu musnah setelah saya mengenal judi slot online dari kawan di kampus.
Awalnya saya iseng bermain slot untuk mengisi waktu senggang sembari menunggui bisnis angkringan. Namun, dengan cepat bisnis justru tak saya seriusi. Di kepala saya sepanjang momen kelam itu, yang terjadi selama dua tahun, hanyalah deposit (depo) rekening judi, lagi dan lagi. Saya tak lagi bisa berpikir logis, apalagi memikirkan masa depan.
Semua barang-barang yang saya punya, termasuk gerobak warisan ortu, segera berpindah tangan. Semua sudah dijual dan uang hasil penjualannya saya putar lagi di situs judi. Saya seperti sakau.
Saya ingat betul, uang Rp10 juta yang saya dapat dari hasil jual gerobak angkringan lengkap dengan kursi, terpal, dan karpet ludes cuma seminggu karena saya pakai main di judi slot. Saya kira dengan uang segitu saya bisa menang besar, serta menebus ulang semua modal usaha. Ternyata, saya justru amblas lebih dalam.
Barang pribadi habis, barang pacar pun saya jual. Sepatu converse dan jam tangan G-shock saya jual dengan harga obral. Karena butuh cepat, converse dijual Rp300ribu sementara arloji setengah juta. Dalam sehari, pokoknya harus ada minimal Rp300ribu atau Rp500ribu untuk saya depositkan ke judi slot. Saya sadar kalau sudah kecanduan, tapi seakan tidak memiliki kuasa atas diri. Sehari saja enggak masang, saya uring-uringan, gelisah, dan jadi cepat marah.
Selama mengalami sakau judi itu, rasanya saya enggak pernah tenang. Kerlap-kerlip situs slot online yang warnanya ngejreng itu tak bisa hilang dari kepala. Istilahnya, selain makan, tidur, dan mandi, urusan saya hanya judi. Kegiatan lain saya tinggalkan, termasuk kuliah. Saya pernah terus-terusan mantengin hape untuk main slot dari pagi sampai ketemu pagi lagi. Saya harus punya uang untuk terus deposit, tak peduli bagaimana caranya.
Barang-barang habis, saya tidak punya muka untuk mengaku ke orang tua kalau hidup saya hancur karena judi. Saya mulai pinjam sana-sini. Ngutang ke teman, ngutang juga ke pinjaman online. Kalau ditotal utang saya ke orang-orang terdekat mencapai Rp35 juta, semuanya habis dimakan bandar. Untuk hitungan seorang mahasiswa dropout tanpa pekerjaan pasti, itu adalah utang yang sangat besar.
Barangkali langkah saya berutang ke pinjaman online adalah takdir, sebab inilah yang di kemudian hari membukakan jalan untuk saya keluar dari kecanduan judi online. Tapi sebelum masuk ke bagian itu, saya ceritakan dulu masa-masa saya naik level dari pecandu jadi pekerja bandar di sebuah pulau di lambung Sumatera.
Karena tahu uang saya habis blas dan kebingungan membayar utang ke orang-orang, seorang teman tongkrongan yang juga penjudi menawarkan saya sebuah pekerjaan: gabung dengan bandar dan dapat gaji bulanan.
Saya ikut kawan saya itu ke sebuah ruko yang dari luar tampak sama saja dengan ruko-ruko pada umumnya. Di sana saya dipertemukan dengan seorang leader. Dia tidak menanyakan soal keahlian atau riwayat pekerjaan saya. Mungkin buat dia itu tidak penting. Dia hanya menanyakan satu hal: “Bisa jaga amanah kan?” kata dia. Tentu saya jawab bisa. Hanya bermodalkan jawaban itu saya diterima bekerja. Sungguh absurd.
Saya resmi jadi bandar dengan gaji Rp4,5 juta per bulan. Yang saya dengar dari teman saya itu, kalau bertahan sampai setahun seperti dia, gajinya bisa naik jadi Rp8-10 juta. Dipikir-pikir, gaji di sini peningkatannya jauh lebih cepat daripada pekerjaan-pekerjaan halal.
Di kantor ini saya bekerja memasukkan data jumlah pemain serta jumlah kalah-menang ke dalam sistem. Kantor itu mempekerjakan kira-kira 20 orang yang bertugas dalam dua shift, masing-masing 12 jam. Kami lah yang menjamin layanan administrasi dan customer service situs judi terus on selama 24 jam. Kami yang membalas keluhan para pelanggan. Kalau ada yang tak bisa withdraw (mencairkan uang menang judi), kami yang urus meluruskan sistem yang error.
Di kantor ini pula saya mengerti cara kerja bandar menyedot uang penjudi. Ternyata tidak serepot itu karena sudah ada algoritma yang menganalisis riwayat main setiap pelanggan. Sistem lah yang mengatur pemain baru harus dikasih banyak menang, sebaliknya, pelanggan yang sudah kecanduan bebas untuk dikuras.
Suatu hari kantor kedatangan “bos”. Saya tak tahu persis kaitan mereka dengan kantor tempat saya bekerja, tapi yang pasti mereka datang untuk melihat-lihat dan tempat kami beroperasi. Mereka datang berdua, seorang perempuan dan seorang laki-laki. Salah satunya bukan orang Indonesia, ia berasal dari satu negara tetangga yang letaknya masih tampak mata jika dilihat dari kota di mana saya tinggal.
Saya juga jadi mengerti bagaimana tim pemasaran judi online bekerja untuk memancing pemain-pemain baru. Kantor saya bekerja sama dengan kantor-kantor pinjaman online (Pinjol) ilegal yang tak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dari kantor-kantor Pinjol bodong inilah tim marketing dapat data nomor hape serta profil orang-orang. Dari sana mereka menyusun daftar target pemasaran.
Dari gosip-gosip kantor dan tongkrongan saya dengar orang-orang yang berprestasi di kantor bandar bisa dikirim ke kantor yang lebih besar di luar negeri. Umumnya dikirim ke Vietnam, Thailand, dan Kamboja. Seorang teman, entah benar entah bohong, katanya dapat gaji Rp40-50 juta di Vietnam mengurus situs judi online.
Tapi tak semua seberuntung dia sebab ada juga teman tongkrongan sirkel judi yang ditipu di Thailand. Di sana dia disiksa dan disuruh jadi bandar sabu. Baru bisa pulang setelah orang tuanya mengirim uang tebusan Rp30 juta.
Baru 1,5 bulan bekerja di bandar judi, Tuhan menyelamatkan saya dengan cara tak disangka-sangka. Dikirimlah seorang penagih utang ke rumah dan menemui orang tua saya. Dia mengaku dari Kredivo dan menagih utang Rp3,5 juta yang belum kunjung saya lunasi.
Saya merasa tertangkap basah. Tak ada pilihan lain selain mengaku. Saya jelaskan pada orang tua, bahwa sebenarnya saya bergulat dengan kecanduan judi. Itulah sebabnya banyak barang hilang termasuk angkringan yang mereka wariskan. Saya jelaskan saya punya utang sekian puluh juta gara-gara slot. Mereka syok.
Saya ceritakan juga pada orang tua, kalau sudah dropout dari kampus. Uang kuliah saya pakai judi. Utang saya yang berjuta-juta itu tersebar di beberapa teman, juga di Pinjol akulaku dan adakami.
Mendengar pengakuan dosa saya, orang tua jatuh sakit. Ibu masuk rumah sakit, tak berapa lama kemudian ayah menyusul. Darah tinggi mereka kumat. Ayah sampai dirawat inap seminggu lamanya. Ini benar-benar tamparan Tuhan yang menyadarkan saya untuk bertobat.
Saat menceritakan kisah ini, sudah hampir dua bulan saya benar-benar stop main judi. Saya tak menyangka ternyata saya bisa berhenti. Saat ini saya jadi banyak mendekatkan diri pada Tuhan dan keluarga. Juga pacar yang hingga hari ini masih mau menerima saya walau barang-barangnya sempat saya jual.
Teman-teman saya banyak yang menjauh dan jaga jarak. Tongkrongan judi juga sudah bubar karena pada lelah habis duit gara-gara slot online. Sekarang saya berusaha menata hidup seperti kembali dari nol. Keinginan terbesar saya saat ini adalah mendapat kerja dan melanjutkan kuliah, kalau bisa di teknik industri. Memang benar kata orang, yang terbaik dari judi adalah berhenti. Saya tak menyangka harus merasakan sendiri betapa benarnya pemeo tersebut.
Ananda Badudu adalah musisi sekaligus penulis lepas, bermukim di Jakarta. Dia pernah bekerja sebagai jurnalis untuk TEMPO, VICE, dan berbagai media lain. Follow dia di Instagram.