Pada Januari 2021, sebuah video viral di media sosial, menunjukkan perdebatan orang tua murid dan guru di Kota Padang, Sumatra Barat. Dalam video tersebut, Elianu Hiamembela mendukung keputusan anak perempuannya di hadapan Zakri Zaini, yang menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMK Negeri 2 Padang.
Pihak sekolah memerintahkan anak Elianu memakai jilbab seperti siswa lainnya yang mengenyam pendidikan di sana. Persoalannya Elianu dan anaknya beragama Kristen. Dia berulang kali menegaskan penolakan jika anaknya diminta berjilbab, sebab peraturan tersebut seharusnya tidak berlaku untuk pelajar nonmuslim.
“Kalau saya [memaksa] memakai jilbab bagi anak saya, saya membohongi identitas anak saya. Di mana hak asasi agama saya? Ini kan sekolah negeri,” tegas Elianu.
Sekolah lantas berpegang pada Instruksi Wali Kota Padang No.451.442 / BINSOS-iii/2005 yang dikeluarkan Fauzi Bahar, ketika dirinya memimpin kota tersebut pada 2005. Setiap tahun, beleid ini diperbarui. Isinya adalah kewajiban bagi murid perempuan beragama Islam yang belajar di sekolah negeri untuk mengenakan jilbab. Pada praktiknya, banyak siswi yang menganut keyakinan lain diminta mengikuti aturan itu untuk menjaga harmoni sosial.
Peristiwa yang menimpa putri Elianu, yang dimediasi dengan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri soal aturan seragam di sekolah negeri, tidak serta merta berakhir. Debat di medsos turut memunculkan pertanyaan lain soal pemaksaan jilbab kepada perempuan-perempuan Muslim, yang dianggap tabu untuk dibahas. Realitasnya, tak sedikit perempuan beragama Islam yang sebenarnya merasa tertekan saat memakai jilbab. Salah satu yang pernah mengalaminya adalah Ifa Hanifah Misbach, seorang psikolog di Kota Bandung, Jawa Barat.
Kepada VICE, Ifa bercerita selama 30 tahun ia merasakan tekanan besar dari lingkungannya untuk berjilbab. Sejak mulai sekolah, keluarga besar senantiasa mengingatkan orang tua dan Ifa agar mengenakan hijab.
“Dari SD, SMP, SMA [rutin diminta berhijab] karena keluargaku kan fanatik banget Islamnya,” tutur Ifa.
Tekanan, beberapa menurutnya sudah masuk kategori bullying itu, sampai membuat Ifa mengadu kepada Tuhan, seperti yang pernah disampaikannya dalam bentuk puisi. “Jadi kayak mempertanyakan keadilan sama Tuhan. Kalau gitu gue minta aja sama Tuhan [buat] jadi anak laki-laki karena ribet banget jadi perempuan,” kata dia.
Bukan hanya orang tua, hampir seluruh anggota keluarga besarnya rutin mencemooh, bahkan menyebutnya durhaka, sebab Ifa tak bersedia memakai jilbab. “Jadi kami tuh sepupunya seratusan something. Nah momen disindirin tuh terjadi di situ, tekanan harus pakai [jilbab] karena ada social pressure. Ketika sepupu-sepupu lain pakai, kok gue enggak. Kan ibuku juga diomongin.”
Ifa mengatakan tekanan dan perundungan yang dialami perempuan Muslim agar memakai jilbab bisa sangat berdampak negatif. Mereka berpotensi menderita body dysmorphic disorder yang merupakan sebuah gangguan mental saat penderita merasa cemas berlebihan terhadap penampilan fisik atau bagian tubuh yang dianggap buruk.
Misalnya, secara umum, seseorang mencemaskan bentuk hidungnya yang ia rasa jelek dan menghabiskan banyak waktu untuk berusaha memperbaikinya. Penderita percaya hidungnya yang tidak sesuai standar kecantikan membuat orang-orang menjauhinya. Depresi karena ini mengakibatkan aktivitas penderita terganggu, bahkan hingga muncul pikiran bunuh diri.
Bukan hanya soal bentuk fisik, body dysmorphic disorder bisa dialami juga oleh perempuan yang dipertanyakan tingkat moralitas serta kepatuhannya kepada agama dan Tuhan. Masalah kain bisa membuat mereka dilabeli sebagai perempuan yang pantas masuk surga atau neraka.
“Nah dalam pemasangan jilbab, si penderita merasa cemas berlebihan bahwa ‘kalau saya enggak pakai jilbab, saya punya kekurangan’,” kata dia. “Jadi, ‘kalau saya enggak pakai jilbab, badan saya badan pendosa’ karena dapat bully-an yang konstan bahwa kalau enggak pakai jilbab itu akan menyebabkan kamu ke neraka, karena kamu tidak menutupi auratmu.”
Perundungan yang bertubi-tubi berisiko melahirkan depresi dan kebencian terhadap diri sendiri. “[Ini] karena dirinya [merasa] tidak mampu memenuhi standar normatif itu, tapi dalam hati berontak,” imbuhnya.
Vania* pernah berada di situasi serupa, meski dia sendiri tidak sampai pada fase membenci tubuh. Tumbuh di keluarga Islam konservatif yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki, dia diwajibkan untuk berjilbab sejak masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Semacam udah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang enggak boleh dipertanyakan. Cuma aku kan dalam hati merasa sedih, kecewa, kok gini banget ya, terus pengin gitu bisa bebas kayak anak-anak lainnya,” ujarnya kepada VICE. Perempuan yang kini bekerja sebagai pegawai swasta itu mengaku batas kesabarannya sudah habis saat kuliah di luar kota.
“Semakin banyak melihat orang, semakin jauh dari kontrol orang tua, jadi semakin merasa kalau aku enggak nyaman pakai jilbab ya kenapa aku kudu pakai? Beberapa kali pulang ke rumah juga mulai berontak, pergi enggak berjilbab,” ungkapnya. Sudah bisa diprediksi bahwa orang tuanya marah besar.
“Dimarahin pagi, siang, sore, malam. Terus dibilang ‘nanti Papa masuk neraka karena kamu enggak mau nurut pakai jilbab’. Awalnya ya takut banget sih. Gimana kalau beneran? Tapi lama-lama enggak percaya kalau Tuhan sekejam itu.”
Keberanian Vania melepas jilbab belum tentu dimiliki oleh perempuan-perempuan Muslim lainnya. Ifa menyebut ada sebanyak 37 pasien yang dia dampingi di Bandung, menderita body dysmorphic disorder setelah dipaksa berjilbab. Bahkan, ada dua orang yang berusaha untuk mengakhiri hidup karena tekanan yang dirasakan begitu berat.
Bagi yang sudah punya keinginan kuat di dalam diri, mereka biasanya akan berhenti berjilbab. Ada juga yang terpaksa berkorban dengan terus memakai jilbab karena merasa tidak punya pilihan lain. “Yang sulit itu ketika punya ibu atau inner circle yang memaksa,” tutur Ifa. “Lebih takut ke tekanan sosial, takut keluarganya diomongin, takut ibunya diomongin. Akhirnya jadi shifting, ‘ya udah gue berjilbab aja daripada ibu gue diomongin, daripada keluarga gue diomongin’.”
Ifa sendiri pilih mengikuti kata hatinya untuk tak lagi berjilbab. Dengan begini, dia bisa merasakan ketenangan sebab bisa jujur kepada Tuhan, meski cibiran dan cemoohan masih berdatangan. “Makanya aku buka [jilbab], muak soalnya. Gue enggak mau gue cari aman, gue enggak diomongin sebagai good girl si sholehah itu, tapi gue munafik sama Tuhan gue,” tegasnya.
Sebagai psikolog sekaligus penyintas tekanan sosial macam itu, Ifa selalu mendorong para perempuan yang merasakan keterpaksaan dan tekanan itu untuk lebih berani mengambil sikap. “Kita tidaklah perlu menjadi apa yang orang lain katakan atas diri kita karena kita tidak boleh membiarkan satu orang pun mencuri martabat kita sebagai manusia. Ketika itu dicuri, kita kehilangan identitas kita.”
*) Nama salah satu narasumber disamarkan karena alasan privasi dan melindungi keamanannya