Lebih dari 18 tahun lalu, industri perfilman Amerika Serikat menayangkan sebuah iklan layanan masyarakat (ILM) dalam rangka memerangi film bajakan. Iklan dibuka oleh slogan hiperbolis, “You Wouldn’t Steal a Car”, guna menumbuhkan rasa bersalah. Pesan yang ingin disampaikan cukup jelas: aksi membajak film sama buruknya dengan mencuri mobil. Akan tetapi, kampanye tersebut justru menjadi bumerang, dan diyakini mendorong maraknya pembajakan.
Pertama kali dilaporkan TorrentFreak, hasil penelitian yang dipublikasikan dalam The Information Society menggunakan sudut pandang ekonomi perilaku untuk mengkaji kegagalan industri film mengakhiri pembajakan.
Pembajakan karya terus merajalela karena para pelaku merasa tidak ada yang salah dengan tindakan mereka. “Teknologi informasi tampaknya mengikis moral para pelanggar, yang menganggap dirinya bukan pencuri,” demikian bunyi studinya. “Contohnya, para pelanggar hak cipta kerap menggunakan label-label lembut (misalnya, ‘berbagi file’, ‘melawan sistem’). Beberapa dari mereka bahkan berdalih tindakannya berbeda dari pencurian pada umumnya, bahwa mereka tidak sepenuhnya merampas hak cipta pemilik.”
Para peneliti dalam studi ini menyampaikan, alih-alih memberantas pelanggaran hak cipta, kampanye anti-pembajakan malah memperburuk masalahnya. Kecenderungan melebih-lebihkan bentuk kejahatan dan kerugian yang dialami industri hiburan merupakan salah satu alasan utama mengapa ILM semacam “You Wouldn’t Steal a Car” gagal mencapai tujuannya.
ILM yang dirilis pada Juli 2004 mengingatkan kita pada iklan-iklan jadul era 90-an, yang dibuat begitu dramatis untuk membangkitkan perasaan tertentu pada penonton. Iklannya dinilai terlalu lebay dan sontak menjadi bahan cercaan. Berbagai parodi pun bermunculan, seperti yang ditampilkan dalam sitkom berbahasa Inggris The IT Crowd.
“Contoh paling mencolok adalah ILM ‘You would not steal a car’ yang ditayangkan di bioskop dan DVD seluruh dunia sepanjang 2000-an,” tulis para peneliti. “Itu membandingkan tindakan mengunduh film dengan berbagai aksi pencurian, dari yang masuk akal (mencuri DVD di toko elektronik) hingga paling absurd (merampok tas, televisi, mobil), yang akhirnya mengurangi isi pesan.”
Penelitian ini juga menyinggung upaya yang memperlakukan dampak pembajakan sebagai sesuatu yang bersifat pribadi—menyoroti berkurangnya penjualan tiket sebagai kerugian yang dirasakan pelaku industri film. Memang benar, banyak orang terlibat dalam pembuatan film, sedangkan upah yang mereka terima tak sebanding beban kerjanya. Namun, studio film sering kali salah memilih orang untuk menyampaikan pesan tersebut.
Di India, misalnya, banyak iklan anti-pembajakan dibintangi artis terkenal yang kaya raya. “Semua video dibintangi artis terkenal, yang kekayaan bersihnya diperkirakan mencapai 22-400 juta dolar (Rp328 miliar – Rp6 triliun). Videonya ditayangkan di negara yang pendapatan per kapita tahunannya kurang dari $2.000 (Rp29,8 juta),” ungkap peneliti dalam studi. “Ini memberi semacam pembenaran kepada para pembajak karya cipta: mereka hanya merampas milik orang kaya untuk ‘membantu orang miskin’, suatu ‘efek Robin Hood’ yang lebih masuk akal jika berkaitan dengan barang-barang budaya atau olahraga.”
Penelitian selanjutnya mempermasalahkan “social proof lever”, atau tindakan yang mendongkrak bukti sosial. Iklan anti pembajakan biasanya menekankan betapa serius masalahnya, atau menunjukkan karya bajakan beredar luas di masyarakat. “Mengingat individu cenderung menyesuaikan diri pada norma sosial yang ada, pesan semacam ini dapat mendorong orang mengadopsi perilaku tertentu. […] Contohnya seperti memakai sabuk pengaman, berdonasi dan menghemat listrik,” demikian dijelaskan dalam studi.
Para peneliti melihat kampanye anti-pembajakan membuat tindakan ini tampak seperti norma sosial. Orang berpikiran tidak ada yang salah dengan membajak film karena banyak yang melakukan hal serupa. “Pesan-pesan ini dijadikan alasan untuk membajak karya karena ‘semua orang juga melakukannya’.”
Mereka lalu menyarankan dihentikannya penayangan iklan anti film bajakan di bioskop. “Para pembajak biasanya menghapus pesan-pesan ini sebelum menyebarluaskan film bajakan di internet,” tulis peneliti. “Yang menyaksikan iklan ini justru para penonton yang membayar tiket… Sangat keliru jika kita mempertontonkan informasi deskriptif tentang seberapa luas pembajakan kepada penonton yang membayar tiket.”
Aksi pembajakan sulit dihentikan di internet, dan alasan orang membajak karya cipta lebih kompleks daripada yang kita kira. Aksinya juga melonjak tajam selama pandemi, serta di tengah banyaknya layanan streaming. Namun, sulit bagi kita untuk mengetahui seberapa serius masalahnya, terlebih lagi mengingat berbagai studi telah menunjukkan kebanyakan pelaku pembajakan adalah orang-orang yang rajin mengeluarkan uang untuk mengonsumsi konten legal.