Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan penggunaan mata uang kripto (cryptocurrency) seperti bitcoin dan ethereum haram. Fatwa MUI tersebut tidak hanya mengharamkan kripto sebagai mata uang tetapi juga sebagai komoditi atau aset digital.
Salah satu alasannya adalah karena jenis mata uang tersebut tidak memiliki wujud fisik yang bisa diserahkan ke pembeli dan akhirnya menimbulkan ketidakpastian dalam transaksi.
Saya yakin bahwa keputusan ini diambil setelah melalui beberapa kajian yang matang sebagai bentuk perlindungan terhadap pemeluk agama Islam dalam melakukan transaksi.
Namun, dalam tulisan ini, saya ingin mencoba menawarkan dua perspektif yang mungkin bisa mendorong MUI untuk mempertimbangkan ulang keputusannya. Dua perspektif ini erat kaitannya dengan teknologi yang mendasari penggunaan cryptocurrency
Crytocurrency bersifat universal dan relatif aman
Teknologi hadir untuk menjawab tantangan zaman. Mata uang digital diciptakan untuk menjawab kesenjangan nilai tukar mata uang antarnegara saat ini yang dirasa tidak adil. Nilai tukar mata uang sebuah negara bisa sangat rendah di banding dengan negara lain.
Lalu lahirlah cryptocurrency sebagai mata uang tunggal yang dapat digunakan di seluruh dunia. Cryptocurrency diharapkan bisa menjawab tantangan mengenai permasalahan nilai tukar mata uang di masa depan, sehingga dapat memperkecil gap antar nilai mata uang yang ada di dunia.
Terkait masalah keamanan, cryptocurrency lahir dari teknologi blockchain yang sebetulnya sudah mampu meminimalkan celah keamanan dengan menyediakan sistem keamanan yang berlapis .
Sistem itu bisa digambarkan selayaknya seperti fasilitas buku besar untuk pencatatan transaksi, yang menyimpan informasi pengguna secara unik, juga menerapkan sistem penyimpanan terdesentralisasi sehingga tidak ketergantungan lagi terhadap server.
Dampak fatwa pada sektor lain
Penggunaan mata uang digital sudah melebar ke sektor-sektor lain dalam bentuk pemanfaatan smart contracts yaitu sebuah kontrak yang pelaksanaannya berjalan secara otomatis ketika pihak-pihak yang terlibat memenuhi perjanjian yang sudah ditetapkan di dalam sistem.
Mata uang digital juga sudah mulai diterapkan pada sektor perbankan, industri farmasi, dan real estate, serta jaringan listrik.
Hal tersebut dimungkinkan karena teknologi blockchain. Saat ini teknologi blockchain semakin meluas penggunaannya di berbagai sektor kehidupan oleh berbagai macam pelaku pasar dari yang skala bisnisnya kecil hingga yang besar.
Lalu dengan aturan haram ini, apakah artinya penggunaan mata uang digital di sektor lain juga otomatis haram?
Kita perlu melakukan kajian yang lebih jauh dan teliti lagi sehingga para pengguna dapat menikmati teknologi secara nyaman dan juga aman.
Bagi yang telah terlanjur menerapkan/investasi sama-sama mengkaji lebih lanjut untuk memaksimalkan nilai “manfaatnya” daripada “madharatnya” agar semakin jelas.
Butuh kajian mendalam
Islam melihat bahwa mata uang harus memiliki persyaratan tertentu seperti bernilai stabil dan bisa dikaitkan dengan aset lain yang terlihat seperti emas.
Penelitian terbaru yang ingin mengevaluasi kesesuaian cryptocurrency dengan nilai-nilai Islam menunjukkan bahwa masih ada beberapa masalah dalam penggunaan cryptocurrency seperti nilainya yang sangat fluktuatif dan berdampak pada transaksi yang spekulatif yang sebenarnya dilarang dalam Islam.
Penelitian yang menggunakan data dari 23 harga mata uang kripto, memang menyiratkan bahwa umat Islam akan “enggan” menggunakan cryptocurrency sebagai mata uang, atau sebagai alat tukar (transaksi) dan menjadikan penggunaan mata uang digital ini sulit berkembang di negara-negara Islam, seperti Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim.
Meski di sisi lain, negara-negara Barat terus menerus mendorong negara-negara Muslim untuk segera membuat kebijakan umum di sektor keuangan dan aturan-aturan dalam Islam mengenai cryptocurrency yang bisa diterapkan secara global karena disinyalir masih terdapat perbedaan pendapat di berbagai negara-negara Islam.
Beberapa negara Muslim seperti Mesir, Iran, dan Turki melarang dan membatasi penggunaan mata uang digital, sedangkan Uni Emirat Arab sudah melegalkan penggunaannya.
Wisnu Uriawan adalah blockchain researcher di lembaga INSA Lyon – Université de Lyon. Wisnu tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini.
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.