Julianto Eka Putra, terdakwa kasus kekerasan seksual sekaligus pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI), sudah dilaporkan ke Polda Jawa Timur sejak Mei 2021. Ia bahkan sudah ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2021 dan naik pangkat jadi terdakwa pada Februari 2022 atas kasus pelecehan di sekolah.
Namun, pria yang diduga melecehkan setidaknya 15 siswa SMA SPI itu masih menghirup udara bebas selama kasusnya disidangkan secara tertutup. Alasannya, majelis hakim Pengadilan Negeri Malang menganggap terdakwa kooperatif.
Baru pada Senin (11/7), Julianto ditahan dengan cara dijemput paksa oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim di kediamannya di Kota Surabaya. Selanjutnya ia ditahan di Lapas Kelas I Lowokwaru, Kota Malang.
Kepala Kejati Jatim Mia Amiati mengatakan pihaknya berulang kali meminta majelis hakim untuk memberi putusan penahanan kepada pelaku pada April dan Mei lalu, namun ditolak. Majelis hakim baru memberi izin penangkapan setelah Julianto Eka Putra dilaporkan mengintimidasi korban dan keluarga lewat telepon dan WhatsApp.
“Diintimidasi dengan SMS, WhatsApp. Ada keluarga yang dibujuk diberikan fasilitas sehingga orang tuanya mendatangi dan mengatakan anaknya tidak usah datang ke pengadilan dan mencabut semua kesaksiannya,” kata Mia, dilansir CNN Indonesia, Senin (11/7). “Bahkan pada saat persidangan, JPU mengalami kesulitan untuk menghadirkan saksi karena adanya intimidasi dari terdakwa.”
Proses persidangan sendiri sudah bergulir 19 kali. Sidang lanjutan akan dilakukan di PN Malang pada 20 Juli dengan agenda tuntutan. Julianto dijerat UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 81 ayat 2 dengan ancaman penjara 15 tahun.
Sebelumnya, Ketua Komnas Perlindungan Anak sekaligus pendamping para korban, Arist Merdeka Sirait, mengaku kecewa atas masih bebasnya Julianto meski berstatus terdakwa. Arist mendapati keterangan siswa dan alumni SMA SPI yang menyebut pelaku sudah melakukan kejahatannya sejak 2009, mayoritas terjadi di lingkungan sekolah.
Pada sidang Rabu pekan lalu (6/7), Arist sempat bersitegang dengan kuasa hukum terdakwa karena Julianto tak kunjung ditahan. “Seharusnya ketika terdakwa masuk proses persidangan harus diikuti dengan penahanan. Saya kira sangat disayangkan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum bagi para predator kejahatan seksual yang harus dihukum,” kata Arist.
SMA SPI berdiri sejak 2007 di Kota Batu, Jawa Timur. Sekolah ini dikelola Yayasan Selamat Pagi Indonesia. Sekolah tersebut segera mendapatkan tempat di hati masyarakat karena menyediakan pendidikan gratis, termasuk biaya hidup, berbekal bantuan donator. Sekolah menyediakan asrama yang dihuni sekitar 200 orang, hampir setengahnya adalah murid dari luar daerah.
Kasus pelecehan yang dilakukan Julianto dilaporkan Komnas PA ke Polda Jatim pada Mei 2021. Laporan itu langsung dibantah kebenarannya oleh Risnah Amalia, kepala sekolah SMA SPI. Namun, Polda Jatim yang sudah mengantongi barang bukti dari pelapor tetap memanggil Julianto.
“Peserta didik ini berasal dari berbagai daerah, dari keluarga-keluarga miskin yang seyogianya dibantu agar bisa berprestasi dan sebagainya. Tapi, ternyata dieksploitasi secara ekonomi, seksual, dan sebagainya. Ada yang dari Palu, Kalimantan Barat, Kudus, Blitar, Kalimantan Timur, dan sebagainya,” kata Arist pada Mei 2021, dikutip Kompas.
Selain kekerasan seksual, SMA SPI juga dituding melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anak muridnya. Meski pendidikannya bersifat gratis, SMA SPI disebut memberikan beban kerja kepada siswa, misalnya ditugaskan mengelola unit usaha berupa hotel di kompleks sekolah.
Pelecehan dan kekerasan seksual di satuan pendidikan masih menjadi problem akut sistem pendidikan indonesia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 207 anak menjadi korban kekerasan seksual sepanjang 2021, dengan rincian 126 perempuan dan 71 laki-laki. Mayoritas kasus terjadi di satuan pendidikan dengan fasilitas asrama, seperti terjadi di SMA SPI, dan pelaku terbanyak adalah para guru.
KPAI lantas mendesak Kemendikbudristek dan Kementerian Agama untuk membangun sistem perlindungan terhadap peserta didik selama berada di lingkungan satuan pendidikan dengan sistem berlapis. “Terutama pada satuan pendidikan berasrama. Peraturan menteri harus disertai penanganan dan penindakan kepada para pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan,” ujar Komisioner KPAI Retno Listyarti pada Desember 2021.