Pemprov Papua Barat menyatakan telah mencabut 16 izin usaha perkebunan (IUP) dari 24 perusahaan sawit yang tengah dievaluasi. Kabar ini disampaikan dalam rapat koordinasi Sektor Pertambangan Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Aula Gedung PKK Kompleks Pemda Papua Barat, Rabu (13/7) kemarin.
Dalam presentasinya, Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Papua Barat Yacob Fonataba mengumumkan perkembangan tersebut. Para perusahaan yang dicabut IUP-nya dianggap pemda tidak memenuhi syarat legalitas dan melakukan pelanggaran operasional.
Banyak dari perusahaan yang sudah mendapatkan izin konsesi lahan, tidak segera menanami lahannya dengan sawit. Pemda menduga perusahaan hanya memanfaatkan hutan konsesi untuk agenda pembalakan kayu. Ada juga perusahaan yang tidak akan melanjutkan pengajuan hak guna usaha (HGU).
“Kami merekomendasikan agar perusahaan tersebut dicabut izinnya karena secara eksplisit menyatakan tidak akan melanjutkan proses perolehan izin. Di samping itu, ada juga IUP yang sama sekali belum melakukan pembukaan lahan dan penanaman sawit,” kata Yacob dilansir Antaranews.
Kepala Satgas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK Dian Patria mengapresiasi sikap tegas pemda tersebut. “Papua Barat bisa jadi contoh nih, bagaimana melakukan evaluasi izin sawit. Yang mengancam kelestarian hutan Papua, wajib kita tertibkan,” ujar Dian, Jumat (15/7), dilansir Tribunnews.
Daftar perusahaan yang dicabut IUP-nya adalah PT Internusa Jaya Sejahtera, PT Anugerah Sakti Internusa, PT Persada Utama Agromulia, PT Varia Mitra Andalan, PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Cipta Papua Plantation, PT Papua Lestari Abadi (PLA), PT Sorong Agro Sawitindo (SAS), PT Bintuni Sawit Makmur, PT Menara Wasior, PT Rimbun Sawit Papua, PT Anugerah Papua Investindo Utama, PT Mitra Sylva Lestari, PT HCW Papua Plantation, PT Permata Putera Mandiri, dan PT Pusaka Agro Makmur.
Agenda bersih-bersih ini sudah dilakukan pemda Papua Barat sejak Februari 2021. Pada Januari 2022, Presiden Joko Widodo turut meminta agar perusahaan sawit yang tidak kontributif, izinnya dicabut. Pemerintah pusat juga membentuk Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi melalui Keppres 1/2022 dan turut mencabut izin beberapa perusahaan. Pemerintah menyebut, dari 686 ribu hektare luas wilayah konsesi di Papua Barat yang sudah dibagikan ke perusahaan, baru 67 ribu hektare yang ditanami sawit.
Namun, upaya penertiban ini tidak selalu mulus. Beberapa perusahaan melakukan perlawanan dengan cara menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) setempat. Misalnya pada Agustus tahun lalu, PT IKL, PT PLA, dan PT SAS menggugat Bupati Sorong Johny Kamuru ke PTUN Jayapura karena mencabut IUP ketiganya. Bupati Johny mengatakan ketiga perusahaan itu dicabut izinnya sebab tak kunjung mengurus izin HGU perkebunan hingga batas waktu dua tahun yang diberikan.
Gugatan sejenis juga dilancarkan PT Permata Nusa Mandiri (PNM), PT Menara Wasior, dan PT Tunas Agung Sejahtera pada 14 Juni kemarin. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia digugat ketiga perusahaan itu ke PTUN Jakarta karena Keputusan Menteri LHK 1/2022 tertanggal 6 Januari 2022 berkontribusi pada pencabutan izin pelepasan kawasan hutan yang dimiliki ketiganya.
Walau sudah dinilai tegas karena berani mencabut izin, pemerintah masih punya pekerjaan rumah lain: mengawasi pelaksanaan keputusan tersebut. Misalnya, beberapa saat setelah Keputusan Menteri LHK No.1/2022 dirilis, Greenpeace mendapati PT PNM masih melanjutkan aktivitasnya. Analisis citra satelit yang dilakukan organisasi itu sejak awal Januari hingga 12 Februari memperlihatkan aktivitas penggundulan hutan seluas 70 hektare di lahan konsesi PT PNM.
“Setelah dicek di laman resmi KLHK, tidak ada pelaporan pembayaran provinsi sumber daya hutan dan dana reboisasi oleh PT PNM sejak 2019 sampai 7 Maret 2022,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Nico Wamafma dalam rilis resmi 9 Maret. “Terhadap aktivitas pembukaan hutan [PT PNM] sejak Januari 2022, harus diikuti dengan kegiatan penegakan hukum,” tambahnya.
Direktur Program Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini memandang langkah pidana bisa diambil kepada perusahaan sawit yang bandel. “Kalau ditanya apakah ini bisa masuk ke hukum pidana? Ini bisa sekali. Ini sudah masuk ke dalam unsur yang ada dalam UU Kehutanan, dia bisa masuk UU No. 19/2013 [tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan] karena dia tetap melakukan pembukaan lahan tanpa izin. Itu termasuk unsur-unsur pidana,” kata Grita kepada BBC Indonesia.
“Pemerintah perlu memastikan dan memonitor apakah pelaku usahanya sudah betul-betul keluar atau sudah tidak melakukan kegiatan-kegiatan lagi, seperti kasus ini,” tambah Grita.