Tanaman kratom kini berpotensi jadi pemicu perang dingin antara Badan Narkotika Nasional dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Ketika BNN gerilya mendesak Kementerian Kesehatan menggolongkan obat herbal ini sebagai narkotika golongan 1, setara dengan kokain dan morfin, Pemprov Kalbar justru mengadakan acara seremoni merayakan ekspor perdana kratom yang langsung diterbangkan dari Kota Pontianak.
“Hari ini kami melakukan kegiatan ekspor langsung dari Pontianak menuju Belanda dengan menggunakan maskapai milik pemerintah, Garuda Indonesia, dari Pontianak,” ujar Kabid Pengembangan Perdagangan Luar Negeri, Perlindungan Konsumen, dan Tertib Niaga Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan ESDM Kalbar Eko Darmawansyah, Rabu (29/9), dilaporkan Antara.
Acara ini didukung Gubernur Kalbar Sutarmidji dan kantor bea cukai setempat. Sebanyak 550 kg kratom diangkut dalam pengiriman ini, yang pertama dari total 15,5 ton pesanan kratom dari Belanda. Pengekspornya adalah PT Borneo Titian Jaya. Pemilik perusahaan ini, Isnainil Fahmi, menyatakan dalam acara tersebut rasa terima kasihnya karena Bea Cukai mempermudah proses ekspor kratom.
Sementara Kabid Kepabeanan dan Cukai Kanwil Bea Cukai Kalimantan Bagian Barat Agung Saptono tak menutupi keharuannya pada potensi komersial kratom. “Di pasar luar biasa harganya. Peluang cukup besar,” kata Agung, dikutip Pontianak Post.
Acara itu dijejali berbagai informasi dan harapan tentang masa depan kratom Kalbar di pasar internasional. Otoritas berharap mutu kratom Kalimantan bisa terus ditingkatkan agar harganya bagus. Selepas ekspor perdana ke Belanda ini, juga dipanjatkan harapan agar ekspor juga dapat merambah negara-negara Eropa lainnya.
Yang saat itu tidak dibicarakan tentang tanaman bernama spesies mitragayna speciosa ini adalah kontroversinya. Dikenal sebagai “daun ajaib”, tanaman endemik ini sudah lama dibudidayakan petani Kalbar sebagai komoditas pertanian unggulan selain karet dan kelapa sawit. Bahkan Kabupaten Kapuas Hulu, domisili 112 ribu petani kratom dari total 120 ribu petani kratom Kalbar, menjadikan tanaman ini komoditas ekspor unggulan.
Tapi ini bukan kabar gembira bagi semua pihak. Setidaknya sejak 2018, BNN aktif berupaya agar Kemenkes memasukkan kratom dalam narkotika golongan 1. Sampai sekarang Kemenkes belum mengambil sikap, yang artinya belum ada aturan bahwa kratom terlarang. Situasi menggantung ini bikin BNN (dan polisi) mengambil cara tak bijak: aktif menghentikan praktik produksi dan distribusi kratom tanpa berbekal dasar hukum.
Misalnya, BNN sudah bergerak mengimbau petani agar berhenti menanam kratom. Lalu pada 2019, sebanyak 12 ton daun kratom siap ekspor yang tengah di perjalanan Palangkaraya-Pontianak disita polisi dan diperlakukan seperti narkotika selundupan. Sementara, media memotret tanaman ini sebagai “narkoba baru”.
Walau tak diketahui apakah atas desakan BNN, sejak 2018 Pos Indonesia juga berhenti melayani pengiriman kratom. Kebijakan ini sampai dipertanyakan Serikat Pekerja Pos Indonesia karena nilai pengiriman kratom yang dilayani Pos di Pontianak saja mencapai Rp10 miliar per bulan. Saat itu, tak ada penjelasan dari petinggi Pos tentang keputusan yang sebenarnya merugikan bisnis mereka tersebut.
Dua minggu sebelum acara pelepasan ekspor perdana kratom di Pontianak, Gubernur Kalbar Sutarmidji mengumumkan kepada khalayak bahwa ia akan terus mengadvokasi kratom di hadapan pemerintah pusat. Konteksnya, karena Sutarmidji mendapat kabar bahwa BNN akan memastikan kratom dilarang per 2023. Sebelumnya, pelarangan ini disebut akan mulai berlaku pada 2022.
“Mereka bilang kratom itu zat adiktifnya empat kali dibandingkan ganja, tetapi saya katakan bahwa orang yang mengonsumsi kraton tidak berhalusinasi sedangkan mengonsumsi ganja pasti berhalusinasi, bahkan urine orang yang mengonsumsi kratom belum tentu positif,” kata Sutarmidji di acara Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia di Kubu Raya, (18/9).
Secara pasif agresif, ia bilang bahwa BNN bebas melarang kratom pada 2023 nanti. Tapi… “Bayangkan pohon kratom puluhan juta kalau ditebang, siapa yang mau bertanggung jawab? Betung Karibun dan Danau Sentarum sudah dijadikan paru-paru dunia oleh UNESCO. Di situ banyak kratom, apa tidak gundul itu paru-paru dunia?” ujarnya, dikutip Republika.
Tanaman kratom menjadi andalan petani Kalimantan selain kelapa sawit dan karet. Di pasar Amerika Serikat, harganya US$30 per kilogram. Sebelum menjajaki ekspor ke Eropa, pelanggan kratom Kalbar dari Amerika Serikat. Seorang eksportir kratom di Kubu Raya mengatakan pada 2019, omzet tahunannya hampir US$4 juta dolar.
Peneliti dan pakar adiksi Institute of Mental Health Addiction and Neuroscience Jakarta, Hari Nugroho, mengatakan bahwa BNN hanya ikut-ikutan sikap pemerintah Amerika Serikat ketika mengategorikan kratom sebagai narkotika.
“Saya pribadi, sebagai peneliti dan seterusnya, [efek adiksi kratom] tidak signifikanlah. Memang punya potensi untuk disalahgunakan tapi ya itu kasus-kasusnya lebih jarang ada dibandingkan dengan drug lain seperti metamfetamin atau ganja,” kata Hari kepada Kompas.
Status quo antara agresivitas BNN dan belum adanya sikap Kemenkes membuat petani ketar-ketir. Kepada VICE dua tahun lalu, pengurus Asosiasi Pengusaha Kratom Indonesia, Abdul Hamid, mengatakan tindakan BNN membuat produksi kratom turun karena pengusaha butuh kepastian hukumnya. Ia berharap, tanaman ini tak dilarang.
“Dulu tanaman karet yang memberikan rezeki ke warga. Sekarang kratom yang membuat warga lokal mampu membeli mobil dan motor serta membayar biaya sekolah anak,” Hamid berkata kepada VICE. “Ini adalah pekerjaan terbaik di tempat kami.”