Kalau ada satu hal positif dari penolakan permohonan uji materi terkait legalisasi ganja medis oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 20 Juli 2022, maka itu adalah permintaan majelis hakim kepada pemerintah agar segera melakukan riset dan kajian mendalam terkait khasiat mariyuana. Meski di persidangan para pemohon memberi berbagai bukti ilmiah dan saksi ahli dari berbagai negara terkait manfaat mariyuana untuk kesehatan, sembilan hakim anggota di MK merasa tetap kurang teryakinkan bila pemerintah Indonesia belum melakukannya sendiri.
Hasil kajian ini nantinya diharap MK bisa dijadikan bahan para pembuat kebijakan, alias DPR RI, merevisi UU Narkotika. Mendengar putusan ini, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyerukan agar pemerintah dan DPR RI agar segera menindaklanjuti putusan. Koalisi tersebut beranggotakan beberapa perkumpulan publik seperti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Masyarakat, Rumah Cemara, dan Lingkar Ganja Nusantara.
“MK menekankan kata ‘segera’ pada putusannya. Hal ini harus dimaknai [bahwa] tidak boleh lagi ada penundaan dan ketidakpastian dari pemerintah dalam melakukan penelitian narkotika untuk pelayanan kesehatan. Pemerintah juga bisa merujuk penelitian-penelitian lain di luar negeri maupun yang dikeluarkan badan PBB seperti kajian pada 2019 dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD) yang menjadi dasar rekomendasi perubahan golongan dan pemanfaatan ganja untuk pelayanan kesehatan di The Commission on Narcotic Drugs,” demikian sikap koalisi dalam rilis pers yang diterima VICE, beberapa jam setelah putusan MK.
Disamping mengebut penelitian, para pemohon—Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafia Muharyanti—meminta pemerintah memberikan solusi jangka pendek untuk para orang tua dari anak penderita cerebral palsy selama penelitian masih dilakukan. “Sebetulnya solusi untuk penelitian jadi obat kan waktunya enggak sebentar ya, sedangkan orang tua dengan anak-anak berkebutuhan khusus berpacu dengan waktu. Sambil menunggu riset itu, pemerintah punya solusi lain buat kita, jalan keluar untuk kita untuk terapi anak-anak kita.,” ujar Santi.
Terlebih, dari kesaksian ketiga pemohon, obat medis yang ada saat ini dianggap tidak membantu kesehatan para anak penderita. Dwi menekankan hilangnya peran negara pada masalah ini.
“Yang aku rasakan ketika menggunakan ganja [saat Musa terapi di Australia] itu membantu banget. Ini ketika enggak bisa digunakan [di Indonesia], apa dong solusinya? Bagaimana kita bisa membuat anak-anak kita nyaman? Sebagai contoh, kalau di Australia itu alat bantu hidup dibantu 70 persen. Kalau misal beli kursi roda harga Rp100 juta, kita [bayar] Rp30 juta,” ungkap Dwi dalam konferensi pers. Ia mengeluhkan bagaimana di Indonesia, pemerintah bukan hanya tidak menolong, tapi malah menambah susah dengan mempersulit akses kepada salah satu obat yang sejauh ini berhasil membantu anak-anak mereka.
Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara (YSN) Dhira Narayana mendesak hal serupa. Mengingat bola kini berada di tangan pemerintah, YSN meminta pemerintah secepatnya memberikan izin riset untuk Narkotika golongan I karena hasil riset akan menentukan langkah dan kebijakan perundang-undangan yang menaungi penggunaan ganja untuk medis.
“Hasil putusan hari ini memberikan mandat untuk menyegerakan riset merupakan gerak maju dari perjuangan Bu Santi dan anaknya Pika, Bu Dwi dan almarhum anaknya Musa, dan Bu Nofie dengan anaknya Keynan, serta pihak-pihak lainnya di pelosok Indonesia yang membutuhkan ganja medis untuk terapi dan pengobatan.” ujar Dhira kepada VICE.
Kuasa hukum pemohon Erasmus Napitupulu meminta pemerintah untuk serius menjalankan seruan MK. Beberapa saat lalu, Wakil Presiden dan Menteri Kesehatan sudah menyinggung dan mendukung riset, sekarang saatnya memastikan seruan itu tidak hanya jargon saja.
“Kemarin kan mereka [Wapres dan Menkes] sudah ngomongin panjang lebar soal itu. Timeline-nya gimana. Kira-kira habis ini apa. Kalau penelitian itu dilakukan pemerintah atau swasta dan menunjukkan hasil positif, kira-kira setelahnya apa? Kita harus mendesak kapan penelitian dilakukan dan dilaksanakan,” ujar Erasmus saat konferensi pers, Rabu (20/7).
Dalam naskah putusannya, hakim MK memberi catatan tambahan yang tidak serta merta menutup kemungkinan legalisasi ganja di masa mendatang. Salah satu yang diamanatkan hakim MK, adalah perlunya pemerintah bersama DPR RI melakukan revisi terhadap UU Narkotika. Sebab bila tak ada revisi, maka penelitian manfaat medis mariyuana akan selalu terhambat di Tanah Air.
MK mengakui bahwa saat ini muncul banyak desakan dari masyarakat agar mariyuana medis bisa jadi alternatif terapi, setidaknya agar bisa diteliti lebih bebas oleh semua pihak, namun masih ada benturan dengan pasal-pasal UU Narkotika.
“Penelitian yang hasilnya dapat digunakan dalam menentukan kebijakan [mariyuana medis], termasuk dalam hal ini dimungkinkannya perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang, guna mengakomodir kebutuhan dimaksud,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam sidang yang disiarkan akun YouTube MK.
Putusan majelis MK turut memerintahkan pemerintah agar mulai serius meneliti manfaat ganja medis dalam waktu dekat. “Mahkamah perlu menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti putusan a quo, berkenaan dengan pengkajian dan penelitian jenis narkotika golongan I untuk keperluan kesehatan dan atau terapi.”
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sempat berjanji instansinya akan merilis aturan izin riset ganja medis dalam waktu dekat. Dengan adanya izin ini, riset ganja medis bisa dimulai. Nantinya hasil riset yang akan memperlihatkan ada tidaknya potensi legalisasi ganja medis di Indonesia.
“Tahap pertamanya harus ada penelitian, ini bisa dipakai untuk layanan atau produk medis apa. Kalau ini sudah bisa keluar penelitiannya nanti bisa diproduksi, tapi khusus diproduksi untuk layanan medis tersebut,” ujar Budi pada 26 Juni lalu.