Mulai 2022, berbagai kabupaten dan kota di Indonesia akan mengalami kekosongan pimpinan. Sebab, para gubernur, bupati, atau walikota itu harus lengser terlebih dulu menghadapi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang digelar 2024.
Terkait sosok yang nanti akan diserahi tanggung jawab menjadi pelaksana tugas, pemerintah pusat ternyata melirik para petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai kandidatnya. Khususnya untuk posisi gubernur.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benni Irwan menjawab pertanyaan awak media secara abu-abu terkait mungkin-tidaknya penjabat Gubernur diampu oleh TNI/Polri. Terjadinya kekosongan pemimpin di 271 daerah pada 2022 dan 2023 memberi kuasa pada pemerintah pusat untuk memilih penjabat pelaksana Gubernur, Walikota, dan Bupati sementara sampai berakhirnya pilkada serentak.
Benni mengaku lembaganya akan fokus memilih penjabat dari jajaran Aparatur Sipil Negara (ASN) dulu, tapi ia juga tak membantah kemungkinan akan memilih perwira seperti yang dilakukan Mendagri sebelumnya Tjahjo Kumolo.
“Kalau kita melihat aturan yang dimaksud adalah pejabat tinggi pratama dan pejabat tinggi madya itu adalah yang dari ASN. Sementara teman-teman TNI dan Polri bukan ASN,” ujar Benni, dilansir dari iNews, Jumat (24/9).
“Kemudian nanti [Kemendagri akan] mempertimbangkan dan memperhatikan hal-hal lain. Seperti kondisi daerah, keberlanjutan penyelenggaran pembangunan untuk bahan pertimbangan. Tentunya ini bisa jadi bahan diskusi. Untuk tahap awal tentu sebagaimana aturan dulu, di dalam aturan memang tidak dilarang juga [memilih penjabat dari unsur TNI/Polri], terbuka kemungkinan itu, meskipun aturan yang utama adalah ASN.”
Sikap pemerintah ini mau tak mau menyegarkan ingatan masyarakat atas penunjukan Mayjen TNI Soedarmo sebagai penjabat Gubernur Aceh pada 2016 dan Irjen Carlo Tewu sebagai penjabat Gubernur Sulawesi Barat di tahun yang sama. Dua tahun berselang, Mantan Kapolda Jawa Barat Komjen M. Iriawan diberi mandat oleh Presiden Joko Widodo sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat saat masa bakti Ahmad Heryawan berakhir.
Sesuai aturan di UU Pilkada, penjabat Gubernur akan diusulkan oleh Mendagri dan ditetapkan oleh Presiden. Sementara, penjabat bupati dan walikota akan diusulkan oleh Gubernur dan dipilih oleh Mendagri.
Mendagri Tito Karnavian menjelaskan pihaknya bakal mengajukan tiga nama calon penjabat Gubernur kepada Jokowi, “Di tingkat provinsi itu Kemendagri mengajukan ke Presiden. Nanti Presiden yang menentukan. [Soal pemilihan bupati dan walikota] saya juga menyampaikan ke Istana,” kata Tito dalam rapat dengan Komisi II DPR RI, 15 Maret 2021.
Sikap pemerintah membuka peluang TNI/Polri menjabat gubernur mendapat respons negatif dari pendapat Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan pada Rabu (22/9) lalu. Djohan mengatakan penjabat gubernur, bupati, dan walikota yang berstatus Plt harus mutlak dari ASN. Pemerintahan Jokowi, menurut Djohan, seakan bermain-main dengan ingatan publik soal praktik Dwifungsi ABRI, pada era Orde Baru.
“Aturan main Undang-undang jelas, kekosongan itu diisi ASN, kalau polisi dan tentara bukan ASN. Nanti orang bisa berpikir ini ada dwifungsi [ABRI] lagi,” kata Djohermansyah kepada CNN Indonesia.
Sedikit penyegaran, selepas Tragedi 1965, elit militer berkuasa penuh di Indonesia. Tentara membuat doktrin bahwa mereka layak berperan di ranah sipil maupun medan perang, karena berbagai “keistimewaan” (yang mereka definisikan sendiri tentunya). Doktrin Dwifungsi itu jadi dalih agar mayoritas pejabat daerah di Indonesia, khususnya gubernur selama era OrBa, adalah jenderal-jenderal yang ditunjuk langsung Jakarta.
Saking kuatnya doktrin tersebut, para jenderal junta Myanmar belajar langsung ke Indonesia soal dwifungsi ABRI. Selepas reformasi, dwifungsi dihapus dari praktik bernegara karena tak sesuai demokrasi. Tapi variasi kebijakan masa lalu itu belakangan dimunculkan lagi oleh Presiden Jokowi.
Selain penolakan atas penjabat dari TNI-Polri, Djohermansyah meminta pemilihan penjabat dari ASN dilakukan secara transparan karena berpotensi jadi lahan bagi-bagi kekuasaan atau pembangunan kekuatan politik menghadapi Pemilu 2024. Ia kemudian menyarankan bahwa lebih baik dilakukan revisi Pasal 201 UU NO.10/2016 tentang Pilkada agar yang memimpin daerah saat ini bisa ditambah satu-dua tahun lagi masa baktinya dibandingkan menunjuk penjabat sementara.