Berita  

Pembuat Konten Video ‘Pria Menikahi Kambing’ di Gresik Jadi Tersangka Penodaan Agama

pembuat-konten-video-‘pria-menikahi-kambing’-di-gresik-jadi-tersangka-penodaan-agama

Kabar pernikahan manusia dan kambing yang diadakan di Desa Klampok, Gresik, Jawa Timur, pada 5 Juni 2022, berkembang menjadi problem hukum serius. Sang mempelai pria yang bernama Saiful Arif (44) punya kronologi versinya sendiri mengapa sampai terlibat “pernikahan” yang ternyata konten untuk video lucu-lucuan di YouTube tersebut.

Pada malam sebelum Hari H pernikahan, ia mengaku tiba-tiba dijemput seseorang untuk datang ke sebuah tempat bernama Pesanggrahan Kramat Ki Ageng. Sampai di sana rupanya sudah ada sahabatnya, Arif Syaifullah, yang sedang merintis karier sebagai YouTuber.


Oleh Arif, doi di-briefing agar besok berakting menikahi seekor kambing betina untuk konten YouTube. Jika ditanyai maksud pernikahan ini, Saiful mengaku sudah disuruh siap-siap menjawab bahwa tujuannya menjaga alam semesta.

Pernikahan itu betulan digelar esok paginya. Kambing betina yang tak tahu apa-apa itu diberi nama Sri Rahayu bin Bejo. Maharnya uang Rp22 ribu, sedangkan yang menjadi penghulu adalah pria bernama Sutrisna. Acara itu juga beneran direkam dan diunggah ke Youtube. Hasilnya? Viral, dikecam MUI Gresik sebagai penistaan agama, dan dilaporkan ke polisi oleh sejumlah ormas setempat.



Sewaktu dipanggil MUI Gresik pada 9 Juni lalu, Saiful minta maaf dan mengaku dimarahi istrinya gara-gara kawin dengan hewan. “Istri saya langsung marah besar melihat saya kawin dengan domba. Tapi, saya meyakinkan bahwa itu hanya konten , tidak ada tendensi apa-apa,” katanya, dikutip Liputan6.

Saiful dipanggil MUI Gresik untuk bertobat. Selain dianggap melakukan penistaan agama (Islam), pernikahannya dengan kambing divonis sebagai tanda murtad. “Selain meminta maaf kepada masyarakat, para pihak juga harus meminta maaf kepada Allah dengan bertaubat nasuha,” ujar Ketua MUI Gresik K.H. Mansoer Sodiq, dilansir Detik.

Selain Saiful, sahabatnya Arif, penghulu Sutrisna, dan pemilik pesanggrahan lokasi pernikahan Nurhudi Didin Arianto turut dipaksa datang dan bertobat. Pada pertemuan hari itu, keempatnya mengucap syahadat, tanda masuk Islam lagi.

Nurhudi, yang juga pegiat kebatinan dan anggota DPRD Gresik, sebelumnya sudah minta maaf serta menekankan acara tersebut buat konten hiburan doang.

“Di awal sudah saya sampaikan ini hanya hiburan, jangan sampai ada yang menggunakan hal-hal yang bersifat keagamaan apa pun. Namun, dalam prosesnya keplincut [kebablasan]. Sebetulnya ini untuk privasi. sekali lagi kita yang punya tempat, kami meminta maaf,” ujar Nurhudi, dilansir tvOneNews.

Masalahnya minta maaf saja tak cukup, demikian menurut ormas di Gresik. Setidaknya ada empat ormas yang melapor, di antaranya menggunakan KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama, pasal yang pernah menjerat eks gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Akibat laporan tersebut, keempat lelaki tadi ditetapkan sebagai tersangka penodaan agama dan kini mendekam di rutan Polres Gresik. Polisi mengatakan, mempelai Saiful dijerat UU ITE Pasal 44a ayat 2 juncto KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama. Lalu Arif, Sutrisna, dan Nurhudi dijerat KUHP Pasal 156a.

Yang menarik, KUHP Pasal 156a ini sudah lama dicap sebagai pasal problematik. Beleid ini memberi ancaman 5 tahun penjara bagi siapa saja yang di depan umum menyatakan atau melakukan (1) hal yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan agama yang dianut di Indonesia, dan/atau (2) mengajak orang agar tidak menganut agama monoteis.

Menurut Febrian, Prayitno, dan Retnaningrum (2019), rumusan penodaan agama yang kayak gitu tidak limitatif alias tak ada batasannya. Penelitian Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan – LeIP (2019) menyebutnya mengundang multitafsir, yang berakibat penafsiran penegak hukum satu-sama lain kerap tak konsisten. Sementara pengajar hukum pidana Nefa Claudia Meliala dalam artikelnya di Hukum Online menilai ini pasal karet karena tak jelas apa saja kriteria penodaan agama dan siapa yang berhak menilai sesuatu sebagai penodaan agama.

Yang membuatnya makin “seru”, Pasal 156a ternyata asal-usulnya dari UU 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dan menurut UU tersebut dijelaskan bahwa ancaman pidana tidak menjadi opsi pertama dalam menindak kasus penodaan agama.

Urutannya, pertama-tama pelaku diberi peringatan keras dulu (jika pelakunya individu) atau organisasinya dibubarkan serta dinyatakan terlarang (jika pelakunya organisasi). Jika treatment pertama itu gagal dan pelaku masih beraksi, barulah proses hukum dengan pidana maksimal 5 tahun penjara itu dilakukan.

Walau SOP-nya demikian, Meliala menyorot bahwa praktiknya berbeda-beda antar-penegak hukum. Ada kasus yang pelakunya diperingatkan dulu, ada pula yang langsung dihukum. Basuki Tjahaja Purnama dan Meliana, warga Sumatera Utara yang dipenjara karena memprotes volume speaker masjid di dekat rumahnya, termasuk yang langsung dijerat pasal pidana.