Publik kembali heboh pasca pemberitaan tentang guru sekolah negeri yang diduga memaksa siswi Muslim di Yogyakarta menggunakan jilbab tanpa kehendaknya—bahkan hingga membuat murid tersebut depresi. Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY menonaktifkan kepala sekolah dan tiga guru yang terlibat kejadian tersebut.
Laporan Human Rights Watch tahun 2021 menunjukkan bahwa sejak 1990, ada semakin banyak peraturan nasional maupun daerah yang mengatur standar berpakaian Islami bagi perempuan di lembaga pendidikan—baik untuk siswa, guru, maupun dosen.
Berbagai pihak termasuk Komnas Perempuan mengkritik bahwa peraturan standar berbusana bagi siswi Muslim cenderung bias gender dan misoginis. Tapi, kita tidak bisa memungkiri bahwa standar busana Islami kerap dianggap sebagai simbol kesalehan sosial dan moralitas.
Kontestasi politik di Indonesia, terutama politik Islam, punya andil besar dalam membentuk kebijakan seragam jilbab di sekolah, termasuk membentuk konteks sosial yang mendorong implementasi kebijakan-kebijakan tersebut.
Kebijakan busana ‘khas Muslimah’ saat ini
Satu contoh yang menggambarkan pengaruh kontestasi politik terhadap seragam jilbab adalah implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 tahun 2014. Regulasi inilah yang saat ini mengatur seragam pelajar sekolah dasar dan menengah (SD hingga SMA) secara nasional.
Pasal 1 ayat 4 pada Permendikbud tersebut menjelaskan:
Pakaian seragam khas muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta didik muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model, dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk semua jenis pakaian seragam sekolah.
Saat kita membacanya secara sekilas, nampak tak ada persoalan—tidak ada paksaan bagi siswi Muslim untuk berpakaian seragam ‘khas Muslimah’.
Bahkan, konteks politik dari lahirnya pasal jilbab dalam Permendikbud ini adalah mencegah diskriminasi pelajar Muslim berjilbab di sekolah negeri yang berada di daerah minoritas seperti Bali.
Mendikbud kala itu, Muhammad Nuh, juga mengatakan bahwa regulasi ini dibuat untuk menjamin kebebasan berpakaian siswi Muslim. Permendikbud ini berupaya memberi kesempatan bagi siswi Muslim untuk mengekspresikan keagamaannya tanpa paksaan jika ingin maupun tidak ingin mengenakan busana Islami.
Tetapi, menurut laporan Komnas Perempuan dan Human Rights Watch dalam beberapa tahun terakhir, peraturan tersebut justru dipahami secara berbeda oleh sekolah. Sekolah kerap melihat aturan ini sebagai legitimasi untuk mewajibkan pelajar Muslim yang belum berjilbab.
Mengacu dari Permendikbud tersebut, penyeragaman pakaian sekolah bagi pelajar memang bertujuan untuk “memperkuat jati diri bangsa”. Tujuan lainnya adalah menginternalisasi karakter disiplin dan kepatuhan pelajar pada negara.
Semangat di atas kemudian memberi ruang bagi sekolah untuk merinci aturan dan tata tertib yang disesuaikan dengan konteks daerah—dan otomatis kontestasi politik yang tengah dominan.
Kuatnya pandangan di berbagai daerah bahwa busana Islami merupakan standar moralitas, semakin memicu banyak sekolah untuk mendorong pemakaian jilbab di antara siswi Muslim, seperti yang kita lihat di Yogyakarta, atau bahkan hingga siswi non-Muslim seperti yang terjadi di Padang pada Februari 2021 silam.
Bagaimana kita bisa sampai pada titik ini?
‘Revivalisme’ politik Islam dalam dunia pendidikan
Penggunaan jilbab sebagai representasi identitas keislaman di lembaga pendidikan Indonesia sangat berkaitan dengan dinamika ‘revivalisme’ atau kebangkitan kembali politik Islam di tatanan global, nasional, dan lokal.
Pada tahun 1965 hingga 1985, relasi pemerintah Orde Baru dengan berbagai kelompok Muslim yang tidak harmonis, ditambah kecurigaan terhadap politik Islam, berdampak pada aturan penggunaan jilbab di sekolah. Peraturan seragam sekolah berupa SK 052/C/Kep/D.82 keluaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, misalnya, melarang penggunaan jilbab di TK, SD, SMP, dan SMA negeri.
Siswi yang berjilbab pada kala itu dicurigai, diintimidasi oleh guru dan bahkan militer, serta dikeluarkan dari sekolah jika masih berjilbab.
Tekanan pemerintah ini kemudian menuai resistensi dan advokasi, terutama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DII), dan Muhammadiyah.
Utamanya, gaung Revolusi Iran pada tahun 1979 yang berdampak pada kewajiban penggunaan jilbab bagi perempuan Iran, menjadi titik yang menginspirasi sebagian Muslimah Indonesia.
Jilbab kala itu menjadi simbol anti-Barat, bentuk perlawanan untuk melawan ‘kerusakan moral’, serta resistensi atas dominasi politik, budaya, dan ekonomi Barat. Imaji sebagai bagian dari komunitas Muslim dunia yang memiliki persamaan agama dan nilai, kemudian menjadi dasar gerakan ‘jilbabisasi’ di Indonesia.
Gerakan jilbabisasi di SMP, SMA, dan perguruan tinggi terus berkembang pada tahun 1980-an. Ini tidak terlepas dari gerakan seperti Lembaga Dakwah Masjid Kampus (LDMI) dan PII di Masjid Salman ITB melalui forum studi islam intensif, latihan mujahid dakwah (LMD), dan pelatihan bagi mahasiswa dan pelajar.
Di kampus lain, kehadiran Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) di Indonesia menginspirasi berbagai gerakan politik Islam di masjid kampus seperti Masjid Shalahuddin di UGM, Masjid Raden Fatah di Universitas Brawijaya Malang, Masjid Manarul Ilmi di ITS, Masjid Arif Rahman Hakim di UI, dan Masjid Dzar Al-Gifari di IPB. PII juga mengembangkan strategi dakwah untuk pelajar di berbagai kota melalui Masjid Mujahidin di Bandung, Masjid Al-Azhar Sunda Kelapa, Masjid Syuhada di Yogyakarta, dan lain sebagainya.
Kemudian, selama 1991 hingga 1998, ketegangan antara pemerintah Orde Baru dengan gerakan Muslim mulai membaik. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), misalnya, mendapatkan ruang dalam pemerintahan.
Gerakan masif dari para organisasi Islam berhasil menjembatani kontestasi dengan kelompok sekuler-nasionalis (pemerintah) untuk mengakomodasi penggunaan jilbab di sekolah negeri melalui SK 100/C/Kep/D 1991 tentang seragam sekolah—dan bahkan berujung pada menguatnya implementasi norma-norma keislaman.
Penggunaan jilbab pada era 1990-an semakin marak di sekolah seiring dengan semakin berkembangnya gerakan rohani Islam (Rohis) di sekolah. Penggunaan jilbab pada era ini merupakan simbol transformasi kesalehan, kelahiran kembali (hijrah), dan identitas Muslim.
Akhirnya, memasuki era Reformasi pada 1998, demokratisasi makin memberi ruang pada kebangkitan politik Islam Indonesia dan ekspresi keislaman di ruang publik.
Makna jilbab pada masa pasca Reformasi 1998 pun mengalami pergeseran. Peneliti antropologi agama, Nancy Smith-Hefner, mengemukakan bahwa jilbab bukan hanya sebagai simbol interpretasi keislaman individu, tetapi juga gaya hidup, tren, serta kontrol dalam berinteraksi dengan lawan jenis.
Menyisakan polarisasi?
Dua dekade pasca reformasi hingga sekarang, interpretasi jilbab di lembaga pendidikan masih diwarnai kontestasi. Ini terjadi antara kelompok Islam yang konservatif dan fundamentalis, versus kelompok nasionalis-pluralis dan kelompok Muslim arus utama yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
Fenomena pemaksaan jilbab dan resistensinya menunjukkan kohesi sosial yang mulai memudar, terutama akibat polarisasi masyarakat Indonesia yang makin tajam pasca meluasnya demokratisasi dan kebebasan berpendapat.
Pemerintah, masyarakat sipil yang pro nasionalis-pluralis, sekolah, siswa, orang tua, serta organisasi Muslim lain harus membuka ruang dialog. Harapannya, prasangka mengenai seragam khas Muslimah dapat diurai secara demokratis.
Dunia pendidikan harus mampu membuka akses dan kesempatan untuk mengekspresikan pilihan dan kepentingan berbagai kelompok dan kelas dalam masyarakat—termasuk dalam menginterpretasikan pilihan mereka menggunakan jilbab atau tidak.
Sari Oktafiana adalah kandidat Ph.D sekaligus peneliti di KU Leuven, Belgia. Sari menerima dana dari VLIR UOS untuk melakukan studi doktoral.
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.