Publik perlu semakin waspada memantau lembaga yang terlibat Pemilihan Umum (pemilu) 2024. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai institusi yang tugasnya mengawasi kecurangan selama pencoblosan, terbukti menjadi bagian dari kecurangan itu sendiri.
Kepala Sekretariat Bawaslu Kota Depok diduga kuat mencairkan diam-diam dana hibah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Depok Tahun 2020 untuk kepentingan pribadi. Dibantu oleh bendahara, penyelidikan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok menyebutkan uang hasil korupsi tersebut dipakai pelaku untuk macam-macam urusan duniawi, termasuk untuk hiburan malam alias dugem.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Depok Andi Rio Rahmat menyampaikan dana yang dicuri pelaku adalah bagian dari dana hibah APBD sebesar Rp15 miliar untuk Bawaslu Depok, demi mendukung pengawasan pelaksanaan Pilkada Kota Depok 2020. Pelaku dilaporkan mencairkan dana dengan kisaran Rp100-300 juta beberapa kali, tanpa mengikuti prosedur pencairan resmi hingga totalnya mencapai Rp1,1 miliar.
“Tak tanggung-tanggung dana yang transfer oknum tersebut bernilai Rp1,1 miliar tanpa sepengetahuan jajaran pimpinan Bawaslu Kota Depok. Selanjutnya, uang rakyat tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi serta untuk kegiatan hiburan malam,” ujar Andi melalui keterangan tertulis, pada 5 September 2022, dilansir Kompas. Pihaknya juga sedang menyelidiki keterlibatan pihak eksternal Bawaslu. “Memang banyak tangan turut terlibat. Kasus ini cukup rumit tapi kami akan berusaha membongkar.”
Sejak kasus ini diumumkan ke publik, Kejari dan Bawaslu belum membuka nama ataupun inisial pelaku. Melansir dari situs resmi Bawaslu Depok, diketahui ada 11 nama yang menduduki jabatan kepala sekretariat. Bawaslu dan Kejari juga menggarisbawahi, bahwa sampai hari ini dana Rp1,1 miliar yang diambil pelaku belum dikembalikan. Ya iyalah, kalau dikembalikan berarti dia nasabah bank.
Kabar buruknya, ini bukan kasus korupsi pertama yang menjerat anggota Bawaslu di daerah. Pada 2019, anggota Bawaslu Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, bernama Inhu Sovia Warman terbukti menerima suap dari salah calon legislatif dari PPP, Doni Rinaldi, dengan misi menggelembungkan suara.
Kasus terungkap setelah salah satu caleg merasa ada perbedaan suara yang ada di TPS dengan hasil rekapitulasi suara tingkat kecamatan. “Mereka menggelembungkan suara untuk caleg Doni Rinaldi dengan diberikan uang Rp29 juta. Para terdakwa dari Panwascam dan Bawaslu dijadikan bila terdakwa Doni Rinaldi resmi dilantik sebagai anggota dewan, akan diberikan dana Rp5 juta setiap bulannya,” kata Ketua Bawaslu Riau Rusidi Rusdan Lubis kepada Detik. Pengadilan Negeri (PN) Rengat lantas menjatuhkan vonis 4 bulan penjara kepada pelaku.
Pindah ke Garut, Jawa Barat, pada 2018, Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Garut Heri Hasan Basri tertangkap tangan saat hendak menerima suap untuk meloloskan pasangan calon independen Soni Sondani-Usep Nurdin di Pilkada Garut. Heri menerima Rp10 juta dari anggota tim sukses sang paslon. PN Bandung menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan denda Rp50 juta kepada Heri.
“Bawaslu segera menindaklanjuti kasus ini dengan memberhentikan sementara Ketua Panwaslu Garut sambil menunggu penetapan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu,” kata Ketua Bawaslu RI Abhan dalam rilis pers, 2018 silam, dilansir dari Tirto. “Ada pakta integritas yang harus dijaga oleh setiap individu penyelenggara pemilu. Hari ini juga (25 Februari 2018) Bawaslu akan mengirimkan tim ke Kabupaten Garut untuk melakukan supervisi terhadap Panwaslu Kabupaten Garut. Hal ini adalah bentuk respon cepat Bawaslu RI terhadap peristiwa ini.”
Melihat kasus suap ataupun korupsi rentan terjadi pada tubuh lembaga yang tugas utamanya adalah menjaga kualitas demokrasi, Pemilu 2024 terasa mengkhawatirkan.