Berita  

Pasanganku Jadi Nyebelin Sejak Kami Tinggal Bareng, Gimana Cara Menghadapinya?

pasanganku-jadi-nyebelin-sejak-kami-tinggal-bareng,-gimana-cara-menghadapinya?

Rubrik ‘Ask VICE’ diperuntukkan bagi para pembaca yang membutuhkan saran VICE untuk menyelesaikan masalah hidup, dari mengatasi cinta yang bertepuk sebelah tangan hingga menghadapi teman kos yang rese.

Curhatan pembaca: Kehidupan asmara saya bersama pasangan awalnya berjalan sempurna, terutama ketika kami menjalani hubungan jarak jauh selama saya berkuliah di luar negeri beberapa tahun lalu. Sekarang, kami sudah tiga tahun tinggal serumah.


Hidup satu atap keputusan kami berdua, tapi ternyata untuk menjalaninya tidak semudah yang saya bayangkan. Pasangan awalnya menumpang di kontrakan yang saya tinggali bersama teman. Pertemanan kami sontak berubah sejak ada dia. Selain itu, saya dan pasangan memiliki pandangan yang berbeda 180 derajat tentang ruang pribadi.

Saya menganggap rumah sebagai tempat suci yang dikelilingi momen berharga. Saya ingin rumah selalu bersih dan rapi. Lain ceritanya dengan pasangan, yang melihat rumah tak lebih dari sebatas “wadah”, begitu katanya. Di tahun pertama, kami sering berselisih paham gara-gara rumah berantakan.

Kami punya tempat tinggal sendiri sekarang, tapi situasinya tak kunjung membaik. Saya malah merasa lega jika salah satu dari kami tidak ada di rumah. Saya jadi teringat masa-masa saat kami masih LDR-an, ketika kami tak perlu meributkan hal-hal sepele macam mencuci piring atau membuang sampah.

Saya iri melihat teman-teman yang tinggal sendiri, atau tidak perlu berkompromi dengan pasangan. Saya masih mencintai pasangan, tapi kadang saya berharap kami bisa pisah rumah. Salah tidak, ya, kalau saya kepengin tinggal sendiri lagi?

Banyak orang mengatakan, sifat asli pasangan baru akan ketahuan setelah mereka tinggal bersama. Tak jarang orang merasa jengkel dengan pasangannya sejak menjalani hidup seatap, dan penyebabnya kebanyakan karena kebiasaan pasangan yang menurut mereka menyebalkan. Malas beberes rumah atau sering menaruh handuk di kasur hanyalah beberapa contohnya. Bisa juga pasangan cuek terhadap urusan rumah.

Namun, kamu perlu memahami terlebih dahulu mengapa pasangan bertingkah “menyebalkan” di rumah. Karena menurut psikolog klinis Raffaele Simone, cara seseorang memandang rumah dapat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan latar belakang keluarga mereka. “Katakanlah seseorang sering pindah rumah saat masih kecil,” tutur Simone. “Mereka mungkin akan mengaitkan rumah dengan momen sedih ketika harus pindah ke tempat baru. Alhasil, tanpa sadar mereka enggan mengembangkan keterikatan terhadap rumah.”

Perbedaan pola pikir, terutama menyangkut soal rumah, bisa dilihat dari kehidupan mereka sehari-hari. Contohnya, kamu mungkin tak sanggup mengucapkan selamat tinggal pada bangku tua peninggalan kakek. Bagimu, bangku itu mengingatkan kenangan indah bersama kakek. Tapi bagi orang lain, bangkunya dapat memunculkan kembali duka dan kesedihan sejak ditinggal kakek, sehingga mereka berusaha menghindarinya.

Faktor-faktor lain, seperti pandemi COVID-19, juga bisa mengubah pandangan dan perasaan seseorang tentang rumah. Simone berujar, sebagian besar aktivitas kita berlangsung di dalam rumah selama lockdown. Oleh karena itu, ada orang-orang yang menjadi malas di rumah, atau mereka tak lagi melihat rumah sebagai tempat istirahat dan bersantai.

“Beberapa orang mulai membenci rumah akibat terjebak begitu lama selama pandemi,” terangnya. Dari sudut pandangmu, beres-beres rumah mungkin termasuk proses merawat diri sendiri. Akan tetapi, belum tentu pasangan berpikiran sama. Barangkali mereka lebih menikmati hidup di luar rumah, seperti jalan-jalan atau berada di alam bebas. Hal inilah yang kemudian membuat mereka malas mengurus rumah tangga. Pasangan bete ketika harus membersihkan rumah, terutama jika mereka merasa mesti “menahan diri” selama ini.

Meskipun demikian, harus diakui beban rumah tangga dalam hubungan heteroseksual tidak seimbang. Perempuan umumnya bertanggung jawab melayani sebagian besar kebutuhan keluarga di rumah, sedangkan laki-laki yang menjadi pasangannya jarang sekali membantu. Walau menjengkelkan, kita perlu mempertimbangkan kemungkinan pasangan tidak pernah disuruh orang tuanya beres-beres di rumah semasa kecil dulu.

Kamu pun mesti bersabar mengajak dan membimbing pasangan untuk meringankan tugasmu di rumah. Jangan marah-marah atau menyalahkan mereka karena komentar negatif hanya akan memperburuk suasana. “Jadikan momen mengajari pasangan sebagai kesempatan memperkaya pemahaman mereka, bukan malah merendahkannya,” Simone menjelaskan.

Apabila sifat pasangan masih sama seperti dulu, dan kamu merasa pisah rumah menjadi pilihan terbaik, tak ada salahnya mencoba hal itu untuk menyelamatkan hubungan. “Kamu bisa bikin kesepakatan bersama pasangan kalau ingin tetap tinggal bareng, atau mencoba hidup sendiri untuk melihat mana yang terbaik buat kalian berdua.”

Penting bagimu untuk berkepala dingin dan mengajak pasangan ngobrol baik-baik supaya mereka tidak tersinggung ketika kamu mengusulkan pisah rumah. “Berilah kepastian kepada pasangan, keinginan pribadimu untuk tinggal sendiri bukan karena kamu sudah tidak sayang. Bahwa kamu tetap mencintai mereka meski sudah pisah rumah,” Simone melanjutkan. “Orang bisa belajar mandiri ketika mereka memiliki ruang pribadi.”

Terlebih lagi, generasi muda saat ini lebih banyak bergerak dan menjalani hidup secara fleksibel. Pandangan kita soal berbagi hidup dengan pasangan tak lagi sama seperti dulu. “Kita memilih seseorang menjadi pasangan hidup karena kita percaya dengan mereka,” pungkas Simone. “Kepercayaan ini yang bikin hubungan langgeng, meski kita tidak tinggal bareng pasangan.”

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Italy.

Follow Giulia Trincardi di Instagram.