Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) kembali menjadi sorotan sejak minggu lalu, terutama di kalangan penggemar mobile game. Penyebabnya adalah pernyataan juru bicara Kominfo Dedy Permadi soal kemungkinan memblokir sejumlah mobile game populer seperti PUBG dan Mobile Legends.
“Kominfo pada prinsipnya akan memproses dan mempertimbangkan semua permohonan pemblokiran yang kami terima sesuai dengan regulasi yang berlaku,” kata Dedy.
Tidak ada asap tanpa ada api. Pernyataan itu disampaikan menanggapi permintaan resmi Sapuan selaku Bupati Mukomuko, Provinsi Bengkulu, agar pemerintah memutus akses permainan online tersebut di wilayahnya. Dalam suratnya kepada Kominfo, dia mengklaim masyarakat mengeluhkan dampak PUBG dan gim sejenisnya khususnya terhadap anak-anak.
“Dampak negatif dari game online begitu besar, baik sisi perkembangan anak, kesehatan maupun pendidikan. Mereka telah menjadi pecandu game online, semestinya segera mendapat perhatian serius dari pemerintah,” tulis Sapuan.
Ia menyebut anak-anak yang kecanduan bermain PUBG, Free Fire dan Mobile Legends “mengalami gangguan penglihatan, obesitas hingga sindrom quervain (rasa sakit dan pembengkakan di ibu jari dan pergelangan tangan)”.
“Dari sisi psikologis, anak lebih individual dan menjadi egois, tidak cukup hanya mengandalkan peran orang tua saja, perhatian pemerintah melalui Kemenkominfo dimohon dapat memblokir semua aplikasi game online tersebut,” lanjutnya.
Dedy mengatakan pihaknya bersikap hati-hati dalam memutuskan pemblokiran karena harus sesuai dengan Peraturan Menteri Kominfo No.5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat yang diubah melalui Peraturan Menteri Kominfo No. 10 Tahun 2021.
Peraturan itu mengatur bahwa pemerintah bisa memutus akses Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) apabila kontennya melanggar undang-undang, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, dan menyediakan akses terhadap informasi atau dokumen elektronik yang dilarang. Permohonan bisa diajukan siapa saja dan dianggap mendesak jika berhubungan dengan terorisme, pornografi anak serta ketertiban umum.
PUBG atau yang juga dikenal dengan PlayerUnknown’s Battleground dikembangkan perusahaan Korea Selatan dan pertama kali dirilis pada 2017 untuk platform PC. Game itu akhirnya bisa dimainkan lewat smartphone setahun kemudian. Menurut survei, per Mei lalu ada 419.000 orang yang mengunduh PUBG. Rekor tertinggi adalah pada Januari 2018 saat ada lebih dari tiga juta orang yang aktif memainkannya.
Salah satu yang sampai sekarang aktif bermain PUBG adalah Relly. Karyawan swasta itu menghabiskan kurang lebih tiga hingga empat jam per hari untuk bermain gim tersebut. “Kalau aku sendiri ya emang dari kecil sukanya game FPS [First Person Shooter]. Menariknya PUBG ya dari sisi grafis dan gameplay lebih bagus dari game mobile FPS lainnya,” kata dia lewat pesan singkat kepada VICE.
Dia mengaku tidak setuju dengan pendapat bahwa PUBG atau permainan online sejenisnya meresahkan masyarakat, apalagi bermuatan pornografi dan terorisme. Dia juga tidak merasakan dampak seperti yang diklaim oleh Bupati Mukomuko.
“So far, enggak ada pengaruh negatif. Aku sama teman main PUBG ya normal aja, enggak ngaruh game ini mah,” tegasnya.
Meski begitu, dia melihat yang perlu mendapatkan pengawasan ekstra adalah anak-anak di bawah umur yang mengunduh dan memainkan PUBG atau Mobile Legends. Mereka kecanduan gim-gim itu lantaran orang tua tidak berperan dalam menerapkan pembatasan. Padahal, dari perusahaan yang mengembangkan telah mengingatkan game mereka lebih cocok dimainkan usia di atas 16 tahun.
Tak cuma Relly yang menggemari PUBG. Beny, pegawai swasta, sempat aktif memainkannya pada 2018 lalu. Karena sudah dewasa, dia bisa mengontrol kapan waktu bermain. Dia juga tidak sepakat jika gim yang disalahkan jika ada anak-anak yang kecanduan atau terdampak secara negatif.
“Menurutku bukan salah dari game-nya, tapi kembali ke individu masing-masing,” kata Beny kepada VICE.
Beberapa aplikasi game online seperti PUBG dan Mobile Legends pernah diblokir oleh pemerintah India pada Juni 2020 lalu. Tetapi, keputusan itu bukan diambil bukan karena keluhan masyarakat atau dampak terhadap anak-anak. India memutus akses kedua permainan paling digemari itu sebab bersitegang dengan Tiongkok. Setelah setahun, masyarakat negara tersebut kembali bisa memainkan keduanya.